Saya: St.S.Tartono. Lahir di Yogyakarta pada 22 November 1941. Selepas
dari SMA B-2 di Semarang (sebelumnya belajar di SR Netral – Yogyakarta, SMP 2 –
Yogyakarta, dan SMP 4 Semarang) saya mengembara kembali ke Yogyakarta, kota
kelahiran saya. (sementara orang tua
tinggal di Semarang). Kendati peluang untuk diterima di Universitas Diponegoro,
Semarang, cukup besar, namun hasrat hati ingin melanjutkan studi di Universitas
Gadjah Mada. Ternyata nasib berkata
lain. Hasrat hati itu kandas. Setelah terkatung-katung barang dua tahun sebagai
pengangguran, nasib membawa saya untuk menempuh studi di Pendidikan Kateketik
“Shanti Wiyata”, Surakarta – dengan ikatan dinas dari Keuskupan Agung Semarang,
sambil menambah bekal ilmu sejarah pada
Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), jurusan Sejarah. Dua
jenis dan jenjang pendidikan yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Apalagi saya cita-citakan. Sungguh benar kata si bijak, ”Rancanganmu bukan
rancangan-Ku; rancangan-Ku bukan rancanganmu”.
St.S.Tartono
Seusai studi katekatik,
saya ditugaskan di Gereja Hati Tak
Bercela Santa Perawan Maria, Kumetiran, Yogyakarta, dengan predikat Katekis
Purna Waktu Keuskupan Agung Semarang. Dengan predikat sebagai Katekis, atau
orang lazim menyebutnya Guru Agama Katolik, saya berkelana mengajar dari satu
sekolah ke sekolah yang lain di kota Yogyakarta, (antara lain: SMEP Negeri, ST
Negeri dan STM Negeri, serta SKKP dan SKKA “Taman Ibu”), serta mengajar dan
mempersiapkan katekumen atau calon baptis di beberapa wilayah (antara lain:
Badran, Bedog, Nusupan, Bener, dan di pusat paroki). Beberapa “pekerjaan” di
bidang pewartaan, liturgi (termasuk membimbing dan mendampingi Putra Altar),
serta bidang komunikasi sosial, seakan turut melekat pada profesi sebagai
katekis yang saya sandang. Bahkan, dengan alasan sebagai tenaga purna waktu,
tugas sebagai Sekretaris Dewan Paroki pun dibebankan pada saya. Lengkap sudah.
Apa boleh buat. Beruntung semua tugas itu dapat saya jalani dan jalankan.
Kendati, tentu saja, harus ada yang saya korbankan: keluarga. Betapa tidak?
Tidak ada satu hari, satu sore, atau
satu malam pun tanpa mengajar atau berapat. Sementara tugas mengasuh dan
mendampingi proses tumbuh kembang dan belajar anak-anak dilaksanakan sepenuhnya
oleh istri saya: M.G.S.Rini.
St.S.Tartono – M.G.S.Rini
25 April 1965
Dari perkawinan dengan
M.G.S. Rini (74) saya dikaruniai tiga orang anak yang membanggakan hati: A.
Rinto Pudyantoto (akuntan senior pada sebuah badan sumber daya mineral dan energi)-menikah
dengan Josephine Damayanti; A. Rina Arumdati (manajer keuangan pada sebuah
perusahaan swasta) – menikah dengan St. David Wasono; dan E. Ita Perwitasari
(wiraswastawan) – menikah dengan St. Haksoko Saptono. Dari mereka saya
memperoleh karunia besar berujud cucu-cucu yang sehat, membanggakan dan
menggembirakan hati: Josephine Zefanya Wening Sekarwangi (sedang menempuh studi
teknik di Jerman), A. Wintang Abikhama (sedang merintis studi ke Jepang),
Rafael (+), B. Davina Kirani Putri (siswa S.D.), M.Citra Amaranggana Larasti
(siswa S.M.A.), dan A. Risang Paramarta Adicitra (siswa S.D.).
Keluarga besar St.S.Tartono – M.G.S.Rini
(St.Haksoko Saptono tidak ikut berfoto karena sedang berdinas)
Dalam rentang waktu
antara tahun 1978-1987 saya mendapat tambahan tugas untuk mengajar siswa-siswa
SMA Negeri 1 (yang lebih dikenal dengan sebutan SMA Teladan, karena Romo J.
Reijnders SJ mengundurkan diri) serta siswi-siswi SMA Stella Duce (karena SMA
Stella Duce kekosongan guru agama Katolik). Pada sela-sela waktu luang saya
mendapat tawaran untuk menulis (selaku reporter) pada Mingguan HIDUP dan,
beberapa waktu kemudian, Union of Catholic Asian News (UCAN) – sebuah kantor
berita Katolik – lingkup Asia - yang berpusat di Hong Kong (kemudian berpindah
ke Bangkok, Thailand).
Bersama Pater Bob, Direktur UCA News
(Wisma Klender, Jakarta, 2007)
Tahun 1985 saya
mengundurkan diri selaku katekis purna waktu KAS, lantas memfokuskan diri
mengajar pada SMA Stella Duce dan SMA Teladan, serta menulis untuk Mingguan HIDUP dan UCAN. Pada tahun
1987, atas kebaikan hati pimpinan pusat
Tarekat Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus, di Belanda, saya ditawari
bea siswa untuk melanjutkan studi di Fakultas Teologi “Wedhabakti”,
Kentungan, Yogyakarta. Agar studi bisa berlangsung mulus saya harus melepaskan
semua tugas yang selama ini saya emban.
Kendati hasil studi
tidak begitu cemerlang (maklum, sudah tua dan berkompetisi dengan
rekan-rekan frater yang masih muda dan pada umumnya brilian), tahun 1992
studi filsafat dan teologi dapat saya selesaikan tepat waktu tanpa aral yang
berarti. Selepas dari Fakultas Teologi “Wedhabakti” saya kembali bergabung
dengan UCAN sebagai reporter purna waktu. Pekerjaan sebagai “kuli disket”
(sebutan baru untuk profesi kewartawanan yang dulu lazim dilafalkan dengan
sebutan “kuli tinta”) ini saya jalani hingga purna, tahun 2014.
Bersama rekan-rekan reporter UCA News se Indonesia
dalam UCA News Meeting
(Jakarta, 2007)
Selaku insan yang setiap
detik-menit-hari, bergulat dengan mesin ketik (kemudian komputer dan internet), saya berhasrat untuk
menuangkan ide, gagasan dan pengalaman saya
selaku jurnalis ke dalam berbagai buku. Namun, karena kesibukan dan
keterbatasan tenaga, hasrat menulis buku itu baru bisa saya realisasikan tahun
2003. Seturut latar belakang pendidikan (kateketik, filsafat, teologi) dan
pekerjaan saya (katekis, jurnalis) pada akhirnya berturut-turut saya berhasil
mempersembahkan “seuntai bakti buat
pertiwi” berujud beberapa buku, antara lain: Mengelola Majalah Gereja (Dioma, Malang – 2003); Menyegarkan Hidup Perkawinan (Yayasan
Pustaka Nusatama – 2003); Menulis di
Media Massa Gampang (Yayasan
Pustaka Nusatama – 2004); Barnabas
Sarikrama (Yayasan Pustaka Nusatama dan Museum Misi Muntilan, Pusat Animasi
Misioner KAS – 2005); Gereja yang
Berharap (Panitia Pemberkatan Gereja St. Yusuf, Condongcatur, Yogyakarta –
2005); Seni Menikmati Sakit (Dioma,
Malang – 2006); Bukan Rumah Siput (Diterbitkan secara pribadi untuk
kalangan terbatas dalam rangka menyambut wisuda doktor anak pertama). Beberapa
naskah yang kini sedang dalam penyelesaian/penyempurnaan, antara lain: Berdoa
dengan Media Tasbih; Bartimeus – Si Buta
anak Timeus; Di atas Bukit Karang Ini; serta Catatan Harian Seorang Perawat.
“Seuntai Bakti buat Pertiwi”
Selain itu, ada dua buah
buku karya saya yang bagi saya terasa
sangat istimewa, yaitu: Pitutur Adi Luhur (Yayasan Pustaka
Nusatama – cetakan pertama 2009; cetakan kedua 2013); dan Nama-Nama Penuh Makna (Lembah Manah – 2013). Hasrat untuk menulis
kedua buku ini bermula dari keprihatinan akan nasib budaya Jawa (termasuk
bahasa Jawa). Tidak sedikit generasi muda Jawa sekarang yang tidak
memahami nilai-nilai etika dan moral
para leluhur mereka yang tertuang dalam unen-unen, bebasan, paribahasan, dsb.
Bahkan tidak jarang banyak dari antara mereka yang – karena ketidaktahuan –
justru mengartikannya secara salah. Malahan, tidak sedikit pula yang
memelesetkannya sehingga artinya menjadi rancu.
Punokawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Personifikasi budaya Jawa
Saya juga sangat prihatin akan keberadaan bahasa Jawa sekarang. Menurut
data yang saya ketahui penutur bahasa Jawa, terutama di kalangan generasi
muda, semakin hari semakin berkurang.
Berdasarkan data ini tidak keliru kiranya kalau kemudian ada sinyalemen bahwa pada suatu masa kelak bahasa Jawa akan punah, hilang dari
khazanah kebahasaan di dunia. (seperti
bahasa Latin, bahasa Sansekerta, dll).
Padahal, bahasa merupakan unsur esensial dari suatu budaya. Bisa
dibayangkan, betapa mengerikannya. Kalau bahasanya punah, lantas bagaimana
dengan budayanya.
Padahal menurut para pakar bahasa,
Bahasa Jawa tergolong sebagai bahasa yang indah atau adi luhung. Bahasa yang
lebih sarat akan nuansa rasa ini sangat kaya akan istilah-istilah yang nyaris
tidak ada yang menyamai. Taruhlah contoh: dalam bahasa Indonesia ada satu kata membawa, untuk mengatakan ihwal kegiatan seseorang
memindahkan suatu benda dari satu tempat/posisi
ke tempat/posisi lain. Dalam bahasa Jawa ada banyak kata sebagai
padanan dari kata membawa antara lain: nggawa, nyangking, ngindhit, nyengkiwing, ngempit, nggotong, nyunggi,
mbopong, nggendhong, mondhong, ngusung,
mikul, dsb. Semua kata yang berbeda-beda itu mempunyai makna satu dan sama, yakni: membawa. Yang membedakannya adalah cara membawa,
atau dengan bagian tubuh mana orang membawa, atau berapa orang yang membawa,
apa yang dibawa.
Keindahan bahasa Jawa juga tampak
manakala dilihat dari segi
tataran pengucapan atau unggah-ungguh. Untuk
kosa kata kamu bahasa Jawa mempunyai beberapa kata, yakni:
kowe, kon (kasar), sampeyan (agak halus), sliramu (lebih agak halus),
panjenengan (halus), nandalem (halus hormat), Sampeyan Dalem (sangat halus dan
sangat hormat). Meski harus dengan jujur diakui bahwa pada zaman modern ini
- sebagaimana juga bahasa Indonesia
- tidak banyak memiliki kosa kata yang
bersifat teknis.
Hasrat hati untuk turut memetri (merawati atau
memelihara) budaya Jawa beserta nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung
di dalamnya mendorong saya untuk turut cawe-cawe (ikut mengambil bagian dan turut berbuat sesuatu kendati cuma kecil
atau ala kadarnya) dengan mencipta dan mengelola blog: Jogjaku_memang_istimewa.blogspot.com ini. Saya berharap blog yang saya
cipta dengan sepenuh hati dan
saya kelola dengan segenap jiwa raga ini mampu memberikan sumbangan berarti
bagi terawatnya budaya (dan bahasa Jawa). Semoga blog ini bisa menjadi pintu
masuk bagi siapa pun yang ingin mengenal ihwal budaya Jawa, khususnya yang
tumbuh, hidup dan berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jogjaku_memang_istimewa.blogspot.com
Saya menyadari, betapa luasnya cakupan topik yang harus tersaji. Padahal,
karena keterbatasan tenaga (maklum usia saya saat ini baru tujuh puluh lima tahun), serta latar belakang pendidikan saya
yang jauh dari segala sesuatu yang berbau kejawaan dan juga dari kejawen,
hal-hal atau topik-topik yang saya suguhkan barangkali dirasa kurang memadai,
baik secara kuantitaif maupun kualitatif.
Namun, berkat intuisi dan keterampilan kejurnalistikan yang saya miliki
dan tekuni lebih dari seperempat abad, saya akan berusaha sekuat tenaga
sehingga blog ini tidak begitu
mengecewakan. Kendati demikian, dengan teramat senang hati saya tetap membuka
hati terhadap berbagai tegur sapa. Segala masukan, segala sumbangsih berupa
kritik maupun saran, saya terima dengan
senang hati. Semoga semuanya bisa menjadikan blog ini semakin apik,
lengkap, sempurna dan bermanfaat bagi semua.
Salam sejahtera. Mugi kawilujengan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira
dening panjenengan lan kula. Semoga
Tuhan yang Mahakasih memberkati kita sekalian. Wasalam mualaikum w.w. Om ..
shanti, shanti, shanti .. om. Namo Buddhaya. Syalom. Berkah Dalem. Sancay.
Rahayu.
St.S.Tartono