Jumat, 26 Januari 2018

Tentang saya



Saya: St.S.Tartono. Lahir di Yogyakarta pada 22 November 1941. Selepas dari SMA B-2 di Semarang (sebelumnya belajar di SR Netral – Yogyakarta, SMP 2 – Yogyakarta, dan SMP 4 Semarang) saya mengembara kembali ke Yogyakarta, kota kelahiran saya.  (sementara orang tua tinggal di Semarang). Kendati peluang untuk diterima di Universitas Diponegoro, Semarang, cukup besar, namun hasrat hati ingin melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada. Ternyata  nasib berkata lain. Hasrat hati itu kandas. Setelah terkatung-katung barang dua tahun sebagai pengangguran, nasib membawa saya untuk menempuh studi di Pendidikan Kateketik “Shanti Wiyata”, Surakarta – dengan ikatan dinas dari Keuskupan Agung Semarang, sambil menambah bekal ilmu sejarah pada  Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), jurusan Sejarah. Dua jenis dan jenjang pendidikan yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Apalagi saya cita-citakan. Sungguh benar kata si bijak, ”Rancanganmu bukan rancangan-Ku; rancangan-Ku bukan rancanganmu”.




St.S.Tartono
            Seusai studi katekatik, saya ditugaskan di Gereja Hati  Tak Bercela Santa Perawan Maria, Kumetiran, Yogyakarta, dengan predikat Katekis Purna Waktu Keuskupan Agung Semarang. Dengan predikat sebagai Katekis, atau orang lazim menyebutnya Guru Agama Katolik, saya berkelana mengajar dari satu sekolah ke sekolah yang lain di kota Yogyakarta, (antara lain: SMEP Negeri, ST Negeri dan STM Negeri, serta SKKP dan SKKA “Taman Ibu”), serta mengajar dan mempersiapkan katekumen atau calon baptis di beberapa wilayah (antara lain: Badran, Bedog, Nusupan, Bener, dan di pusat paroki). Beberapa “pekerjaan” di bidang pewartaan, liturgi (termasuk membimbing dan mendampingi Putra Altar), serta bidang komunikasi sosial, seakan turut melekat pada profesi sebagai katekis yang saya sandang. Bahkan, dengan alasan sebagai tenaga purna waktu, tugas sebagai Sekretaris Dewan Paroki pun dibebankan pada saya. Lengkap sudah. Apa boleh buat. Beruntung semua tugas itu dapat saya jalani dan jalankan. Kendati, tentu saja, harus ada yang saya korbankan: keluarga. Betapa tidak? Tidak ada satu hari, satu sore, atau  satu malam pun tanpa mengajar atau berapat. Sementara tugas mengasuh dan mendampingi proses tumbuh kembang dan belajar anak-anak dilaksanakan sepenuhnya oleh istri saya: M.G.S.Rini.





St.S.Tartono – M.G.S.Rini
25 April 1965


            Dari perkawinan dengan M.G.S. Rini (74) saya dikaruniai tiga orang anak yang membanggakan hati: A. Rinto Pudyantoto (akuntan senior pada sebuah badan sumber daya mineral dan energi)-menikah dengan Josephine Damayanti; A. Rina Arumdati (manajer keuangan pada sebuah perusahaan swasta) – menikah dengan St. David Wasono; dan E. Ita Perwitasari (wiraswastawan) – menikah dengan St. Haksoko Saptono. Dari mereka saya memperoleh karunia besar berujud cucu-cucu yang sehat, membanggakan dan menggembirakan hati: Josephine Zefanya Wening Sekarwangi (sedang menempuh studi teknik di Jerman), A. Wintang Abikhama (sedang merintis studi ke Jepang), Rafael (+), B. Davina Kirani Putri (siswa S.D.), M.Citra Amaranggana Larasti (siswa S.M.A.),  dan A. Risang  Paramarta Adicitra (siswa S.D.).





Keluarga besar St.S.Tartono – M.G.S.Rini
(St.Haksoko Saptono tidak ikut berfoto karena sedang berdinas)

            Dalam rentang waktu antara tahun 1978-1987 saya mendapat tambahan tugas untuk mengajar siswa-siswa SMA Negeri 1 (yang lebih dikenal dengan sebutan SMA Teladan, karena Romo J. Reijnders SJ mengundurkan diri) serta siswi-siswi SMA Stella Duce (karena SMA Stella Duce kekosongan guru agama Katolik). Pada sela-sela waktu luang saya mendapat tawaran untuk menulis (selaku reporter) pada Mingguan HIDUP dan, beberapa waktu kemudian, Union of Catholic Asian News (UCAN) – sebuah kantor berita Katolik – lingkup Asia - yang berpusat di Hong Kong (kemudian berpindah ke Bangkok, Thailand).



Bersama Pater Bob, Direktur UCA News
(Wisma Klender, Jakarta, 2007)


            Tahun 1985 saya mengundurkan diri selaku katekis purna waktu KAS, lantas memfokuskan diri mengajar pada SMA Stella Duce dan SMA Teladan, serta menulis  untuk Mingguan HIDUP dan UCAN. Pada tahun 1987, atas kebaikan hati pimpinan  pusat Tarekat Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus, di Belanda,  saya ditawari  bea siswa untuk melanjutkan studi di Fakultas Teologi “Wedhabakti”, Kentungan, Yogyakarta. Agar studi bisa berlangsung mulus saya harus melepaskan semua tugas yang selama ini saya emban.
            Kendati hasil studi tidak begitu cemerlang (maklum, sudah tua dan berkompetisi  dengan  rekan-rekan frater yang masih muda dan pada umumnya brilian), tahun 1992 studi filsafat dan teologi dapat saya selesaikan tepat waktu tanpa aral yang berarti. Selepas dari Fakultas Teologi “Wedhabakti” saya kembali bergabung dengan UCAN sebagai reporter purna waktu. Pekerjaan sebagai “kuli disket” (sebutan baru untuk profesi kewartawanan yang dulu lazim dilafalkan dengan sebutan “kuli tinta”) ini saya jalani hingga purna, tahun 2014.




Bersama rekan-rekan  reporter UCA News se Indonesia
dalam UCA News Meeting
(Jakarta,  2007)

            Selaku insan yang setiap detik-menit-hari, bergulat dengan mesin ketik (kemudian  komputer dan internet), saya berhasrat untuk menuangkan ide, gagasan dan pengalaman saya  selaku jurnalis ke dalam berbagai buku. Namun, karena kesibukan dan keterbatasan tenaga, hasrat menulis buku itu baru bisa saya realisasikan tahun 2003. Seturut latar belakang pendidikan (kateketik, filsafat, teologi) dan pekerjaan saya (katekis, jurnalis) pada akhirnya berturut-turut saya berhasil mempersembahkan  “seuntai bakti buat pertiwi” berujud beberapa buku, antara lain: Mengelola Majalah Gereja (Dioma, Malang – 2003); Menyegarkan Hidup Perkawinan (Yayasan Pustaka Nusatama – 2003); Menulis di Media Massa Gampang (Yayasan Pustaka Nusatama – 2004); Barnabas Sarikrama (Yayasan Pustaka Nusatama dan Museum Misi Muntilan, Pusat Animasi Misioner KAS – 2005); Gereja yang Berharap (Panitia Pemberkatan Gereja St. Yusuf, Condongcatur, Yogyakarta – 2005); Seni Menikmati Sakit (Dioma, Malang – 2006); Bukan Rumah Siput (Diterbitkan secara pribadi untuk kalangan terbatas dalam rangka menyambut wisuda doktor anak pertama). Beberapa naskah yang kini sedang dalam penyelesaian/penyempurnaan, antara lain: Berdoa dengan Media Tasbih;  Bartimeus – Si Buta anak Timeus; Di atas Bukit Karang Ini; serta Catatan Harian Seorang Perawat.



“Seuntai Bakti buat Pertiwi”

            Selain itu, ada dua buah buku karya saya  yang bagi saya terasa sangat  istimewa, yaitu: Pitutur Adi Luhur (Yayasan Pustaka Nusatama – cetakan pertama 2009; cetakan kedua 2013); dan Nama-Nama Penuh Makna (Lembah Manah – 2013). Hasrat untuk menulis kedua buku ini bermula dari keprihatinan akan nasib budaya Jawa (termasuk bahasa Jawa). Tidak sedikit generasi muda Jawa sekarang yang tidak memahami  nilai-nilai etika dan moral para leluhur mereka yang tertuang dalam unen-unen, bebasan, paribahasan, dsb. Bahkan tidak jarang banyak dari antara mereka yang – karena ketidaktahuan – justru mengartikannya secara salah. Malahan, tidak sedikit pula yang memelesetkannya sehingga artinya menjadi rancu.





Punokawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Personifikasi budaya Jawa


Saya juga sangat prihatin akan keberadaan bahasa Jawa sekarang. Menurut data yang saya ketahui penutur bahasa Jawa, terutama di kalangan generasi muda,  semakin hari semakin berkurang. Berdasarkan data ini tidak keliru kiranya kalau kemudian  ada sinyalemen bahwa pada suatu masa  kelak bahasa Jawa akan punah, hilang dari khazanah kebahasaan  di dunia. (seperti bahasa Latin, bahasa Sansekerta, dll).  Padahal, bahasa merupakan unsur esensial dari suatu budaya. Bisa dibayangkan, betapa mengerikannya. Kalau bahasanya punah, lantas bagaimana dengan budayanya.
Padahal  menurut para pakar bahasa, Bahasa Jawa tergolong sebagai bahasa yang indah atau adi luhung. Bahasa yang lebih sarat akan nuansa rasa ini sangat kaya akan istilah-istilah yang nyaris tidak ada yang menyamai. Taruhlah contoh: dalam bahasa Indonesia ada satu kata membawa, untuk mengatakan ihwal kegiatan seseorang memindahkan suatu benda dari satu tempat/posisi ke tempat/posisi lain.  Dalam bahasa Jawa ada banyak kata sebagai padanan dari kata membawa antara lain: nggawa, nyangking, ngindhit, nyengkiwing, ngempit, nggotong, nyunggi, mbopong, nggendhong, mondhong, ngusung, mikul,  dsb. Semua kata yang berbeda-beda itu mempunyai makna satu dan sama, yakni: membawa. Yang membedakannya adalah cara membawa, atau dengan bagian tubuh mana orang membawa, atau berapa orang yang membawa, apa yang dibawa.
Keindahan bahasa Jawa juga tampak  manakala dilihat dari segi  tataran pengucapan atau unggah-ungguh. Untuk kosa kata kamu bahasa Jawa mempunyai beberapa kata, yakni: kowe, kon (kasar), sampeyan (agak halus), sliramu (lebih agak halus), panjenengan (halus), nandalem (halus hormat), Sampeyan Dalem (sangat halus dan sangat hormat). Meski harus dengan jujur diakui bahwa pada zaman modern ini -  sebagaimana juga bahasa Indonesia -  tidak banyak memiliki kosa kata yang bersifat teknis.
Hasrat hati untuk turut memetri (merawati atau memelihara) budaya Jawa beserta nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya mendorong saya untuk turut cawe-cawe (ikut mengambil bagian dan turut berbuat sesuatu kendati cuma kecil atau ala kadarnya) dengan mencipta dan mengelola  blog: Jogjaku_memang_istimewa.blogspot.com ini. Saya berharap blog yang saya  cipta  dengan sepenuh hati dan saya kelola dengan segenap jiwa raga ini mampu memberikan sumbangan berarti bagi terawatnya budaya (dan bahasa Jawa). Semoga blog ini bisa menjadi pintu masuk bagi siapa pun yang ingin mengenal ihwal budaya Jawa, khususnya yang tumbuh, hidup dan berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta.

 Jogjaku_memang_istimewa.blogspot.com

Saya menyadari, betapa luasnya cakupan topik yang harus tersaji. Padahal, karena keterbatasan tenaga (maklum usia saya saat ini baru tujuh puluh lima tahun), serta latar belakang pendidikan saya yang jauh dari segala sesuatu yang berbau kejawaan dan juga dari kejawen, hal-hal atau topik-topik yang saya suguhkan barangkali dirasa kurang memadai, baik secara kuantitaif maupun kualitatif.  Namun, berkat intuisi dan keterampilan kejurnalistikan yang saya miliki dan tekuni lebih dari seperempat abad, saya akan berusaha sekuat tenaga sehingga  blog ini tidak begitu mengecewakan. Kendati demikian, dengan teramat senang hati saya tetap membuka hati terhadap berbagai tegur sapa. Segala masukan, segala sumbangsih berupa kritik maupun saran, saya terima dengan  senang hati. Semoga semuanya bisa menjadikan blog ini semakin apik, lengkap, sempurna dan bermanfaat bagi semua.
Salam sejahtera. Mugi kawilujengan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira dening panjenengan lan kula.  Semoga Tuhan yang Mahakasih memberkati kita sekalian. Wasalam mualaikum w.w. Om .. shanti, shanti, shanti .. om. Namo Buddhaya. Syalom. Berkah Dalem. Sancay. Rahayu.





           

        St.S.Tartono