Nama, bagi seseorang maupun bagi suatu institusi, sejatinya bukan sekadar paduan beberapa atau berbagai huruf, atau untaian bermacam bunyi vokal dan konsonan. Juga, bukan sekadar sebutan agar seseorang bisa diketahui atau bisa dikenali. Lebih dari itu, nama boleh dibilang merupakan ekspresi atau manifestasi diri bagi si pemilik atau si penyandang. Maka, tatkala akan memberikan atau menciptakan nama bagi seseorang atau sebuah institusi atau lembaga tertentu, seharusnyalah kita memilih kata serta menimbang makna yang terkandung dalam setiap kata yang akan kita gunakan dengan seksama. Bukan asal-asalan. Lantas, bagaimana cara mencipta nama yang baik lagi bermakna mulia? Bagaimana orang Jawa mencipta nama bagi anak-anak mereka, atau bagi institusi, lembaga atau benda-benda tertentu. Berikut ulasannya, disertai beberapa contoh kata yang bisa dipungut untuk mencipta nama.
Bagaimana orang
Jawa memilih atau mencipta nama?
Barangkali
tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia – yang menciptakan nama
orang dengan cara memungut nama dari alam sekitar, atau menarik analogi dari
hal-hal di sekitar hidupnya - demikian pula halnya dengan orang Jawa. Orang
Jawa, seperti orang Indian di Amerika, misalnya, juga memungut nama-nama dari
dunia flora atau fauna; dari dunia
pertanian atau kelautan; dari dunia
astronomi, astrologi dan
filsafat; dari dunia pedesaan atau kerajaan; dari dunia keseharian atau
pemerintahan; dari dunia politik atau ekonomi, dari dunia kejasmanian atau
kerohanian, dan sebagainya, atau penggabungan dari berbagai bidang sehingga
tercipta sebuah nama yang mengandung makna bagus sebagaimana yang diinginkan.
Demikian, karena dalam keseharian
ada orang Jawa yang hidup dalam dunia flora, atau selalu bersentuhan dengan
masalah pertanian, mereka memberikan
nama kepada anak mereka dengan nama yang mencerminkan unsur tanah atau
tumbuh-tumbuhan, misalnya: Jurumertani, yang bermakna: orang yang
pekerjaannya bertani atau orang yang mahir dalam hal bertani, atau Kismataruna,
yang bermakna: pemuda atau orang muda yang pekerjaannya mengolah tanah atau
berkenaan dengan tanah.
Kepada anak yang
lahir dan dibesarkan di dunia kelautan atau air oleh orang tuanya diberi nama Samodra,
artinya samudera, atau Benawa, atau Benawi, artinya bengawan
atau sungai besar; atau Tirtawinata yang berarti orang yang pekerjaannya
menata atau mengelola air.
Sementara
nama-nama, seperti: Doradipangga, yang bermakna pawang gajah, atau Mahesajenar,
yang bermakna kerbau kuning, banteng atau lembu/sapi, adalah nama-nama yang
biasa diberikan kepada orang-orang yang berkarya di bidang fauna. Meski, bisa
saja terjadi, nama Mahesajenar, misalnya, tidak disandang oleh seorang
anak yang sehari-hari hidup menggembalakan kerbau, melainkan justru oleh
seorang prajurit. Dengan nama itu si prajurit berharap mampu
mengidentifikasikan dirinya bagaikan seekor kerbau kuning atau banteng yang
kuat, perkasa, tidak takut bahaya, serta ditakuti lawannya. Jadi, sebuah nama
yang imajinatif serta bertujuan memompa semangat atau meningkatkan motivasi.
Orang
Jawa juga mempunyai cara yang unik ketika memilih nama untuk anak-anak mereka.
Pemilihan itu kadang dihubungkan dunia astronomi atau astrologi, misalnya
dengan hari, pasaran, bulan, tahun, atau wuku - tatkala si anak lahir. Seorang anak yang lahir
pada tanggal satu, bulan Januari tahun duaribu satu, misalnya, diberi nama oleh
orang tuanya: Sarwaji, artinya serba satu (sarwa=serba, ji/siji=satu), yakni: tanggal satu,
bulan satu, tahun satu. Sementara nama Seklinov
ternyata merupakan akronim Selasa
Kliwon November. Maksudnya, anak yang lahir pada hari Selasa Kliwon bulan
November. Dan, anak yang lahir pada tujuhbelas bulan Mei diberi nama Tulasma, singkatan dari (tanggal)
pitulas (17) (bulan) lima (Mei).
Sementara
itu seorang anak laki-laki yang lahir pada hari Jumat diberi nama oleh orang
tuanya Sukra.... Kalau anak yang lahir itu laki-laki maka dinamakan Sukrasana; sukra artinya hari Jumat, sana berarti
anak laki-laki atau seorang pria. Bisa jadi si anak diberi nama Sukra
Baskara, yang bermakna ’matahari yang terbit pada hari Jumat’. Nama ini dipilih karena si anak lahir pada hari Jumat saat matahari terbit.
Harapan orang tuanya, kelak si anak bisa tumbuh dan berkembang menjadi orang
yang mampu menjadi sinar matahari bagi orang lain.
Jika anak itu perempuan bisa saja diberi
nama Sukrawati, atau Sukraningsih (anak perempuan yang lahir pada
hari Jumat dan diharapkan mempunyai hati yang suci dan penuh kasih). Sementara
itu, untuk mengingatkan anaknya yang lahir pada tanggal satu bulan Sura seorang
bapak memberikan nama Suraji, akronim dari bulan Sura tanggal siji
(=satu). Namun nama Suraji; yang bisa dieja menjadi: sura-aji, juga
bisa dimaknai ’bulan Sura yang amat berharga atau mulia’. Maknanya, orang
tua mencita-citakan agar anaknya yang
lahir pada bulan Sura itu kelak menjadi orang yang mulia (artinya
dihargai, dihormati atau terpandang) dan bahagia. Bisa juga anak itu diberi
nama Suradi. Maksudnya, Sura –
Adi; bulan Sura yang luhur.
Berdasarkan pertimbangan hari, tanggal, bulan dan tahun kadang seorang anak
yang baru lahir diberi nama oleh orang tuanya dengan nama hari itu sendiri.
Maka jadilah nama-nama seperti: Senen,
Rebo, Kemis atau Setu. Hari
Selasa, Jumat dan Minggu, jarang dipakai langsung. Biasanya digunakan dalam
bentuk sinonimnya dalam bahasa Jawa Kuno atau Sanskrta, yakni Anggara (=Selasa)
dan Aditya/Dite (=Minggu atau Ahad), Sukra (=Jumat). Nama hari yang digunakan untuk menamai
seorang anak kadang juga dipadukan dengan nama pasaran (Pon, Wage,
Kliwon, Legi, Pahing), sehingga tercipta nama Anggara Kasih (Anggara=Selasa,
Kasih=Kliwon), untuk anak yang
lahir pada hari Selasa Kliwon.
Untuk menamai seorang anak yang lahir pada hari pasaran tertentu, misalnya Pon,
tidak jarang orang tua si anak
memberi nama anaknya berdasarkan hari pasaran ini, sehingga lahirlah nama-nama,
seperti: Ponija, Poniman, Ponimin, Poniran
– untuk anak laki-laki. Ponirin, seorang pejabat pemerintahan di
Suriname keturunan Jawa, sangat boleh jadi lahir pada pasaran Pon. Sementara
ayahnya bernama Wagirin atau Tugirin, sehingga oleh ayahnya dia
diberi nama Ponirin. Berdasarkan hari pasaran ini untuk anak-anak perempuan lazim diberi nama: Ponirah,
Poniyem, Ponijem, dan sebagainya. Dengan menyimak pola
penamaan demikian lantas dengan mudah bisa diduga bahwa nama Waginem,
Wagirah, adalah nama anak perempuan yang lahir pada hari pasaran Wage. Sementara
anak laki-laki yang lahir pada hari pasaran Wage diberi nama: Wagiman,
Wagimin, Wagiya, Wagiyana, dan sebagainya. Kadang, dengan sedikit
improvisasi tercipta nama-nama yang ‘agak modern’, seperti: Wagiyanto,
Wagiyarsanto; Wagimantara, atau yang ‘agak nyentrik’ seperti: Suwage. Tidak jarang nama yang dipungut dari nama
hari pasaran itu dikombinasikan dengan
nama atau kata lain sehingga tercipta nama, seperti: Wage Rudolf Supratman.
Seorang anak juga biasa diberi nama dengan memadukan kedua nama orang
tuanya. Maka terciptalah nama-nama, seperti: Wagirah, sebab
ayahnya bernama Wagiman, sedang ibunya bernama Sukirah.
Atau, dari perpaduan itu bisa saja namanya menjadi Sukiman,
karena mengambil sepenggal nama ibunya:
Suki- kemudian dipadukan dengan sepenggal nama
ayahnya: – man. Berdasarkan
pola penamaan dengan model atau gaya perpaduan dua nama ini, maka nama Sukaryanti
boleh diduga berasal dari Sukar-man, Sukar-di, Sukar-jo
dan sebagainya dengan Har-yanti, Mar-yanti, Dar-yanti,
dan sebagainya.
Suku bangsa Jawa juga dikenal sebagai kelompok etnis yang sangat menghargai
alam. Sikap ini terejawantahkan dalam filosofi hidup yang mengutamakan harmoni,
yakni harmoni dengan lingkungan/alam, harmoni dengan sesama, dan harmoni dengan
Gusti Allah, Tuhan sesembahannya. Penghargaan terhadap alam itu juga tampak
dari cara orang Jawa memberikan nama kepada anak-anak mereka.
Seorang bapak yang sedemikian kagum
akan gunung, dengan segala material dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya,
misalnya, tidak mustahil jika memberi nama anak laki-lakinya Watugunung (watu = batu; gunung
= gunung). Harapannya, semoga anaknya kelak tumbuh dan berkembang menjadi
orang yang ‘gagah, tegar, berwibawa, bagaikan gunung, serta keras tekadnya
bagaikan batu manakala mempunyai cita-cita’.
Nama-nama lain seperti: Suharga
(su=bagus; harga/arga=gunung à gunung yang bagus/indah); Suhargana, Hargawiyata, Arga
Dumilah, Sapta Arga, Panca Arga, Wukirsari, Ardi, dan
sejenisnya bisa diduga berasal dari kalangan pengagum alam atau orang yang
dekat atau mencintai alam, khususnya gunung.
Unsur alam lain yang kerap dipungut
untuk dijadikan nama adalah air, api, udara/angin, tanah, serta logam –
khususnya emas dan besi. Maka lahirlah nama-nama yang dipungut dari kata tirta,
warih, atau perwita, misalnya: Tirtayasa, Tirtasari,
Tirtapraja, Tirtadipura, Tirtadiningrat, Warih
Handayani, Perwitasari; nama-nama yang terinspirasi dari api,
misalnya: Agni Wijayanti; nama yang dipungut dari
udara/angin, misalnya: Bayu Arimurti. Dari unsur logam
yang kerap dijadikan inspirasi untuk menciptakan nama adalah emas yang dalam
susastra Jawa disebut kencana. Maka lahirlah nama-nama seperti: Kencana
Wungu; Kencanamurti; Kencanamursita; Puspakencana, dan
sebagainya.
Kedekatan atau kecintaan terhadap
alam juga tampak dari nama-nama yang tercipta dengan mengadopsi nama hewan atau
tumbuh-tumbuhan, seperti: Kudawaningpati, Gajah Mada, (H)ayam Wuruk, Lembu
Peteng, Mahesa Cempaka, Dara Pethak, Gagak Rimang, Singamaruta,
Garudhayaksa, Sarpakenaka, Sardula Seta, Janur Wenda, dan sebagainya.
Cara lain yang biasa digunakan oleh
orang Jawa dalam menciptakan nama adalah dengan mempertimbangkan jabatan atau pekerjaan seseorang. Orang-orang
yang bekerja di jajaran pemerintahan, misalnya, pada umumnya memakai nama
dengan imbuhan praja. Maka terbentuklah nama-nama seperti: Kartapraja;
Prajadiningrat, Prajasuta,
Karta Hadipraja, dan lain-lain.
Sementara itu pegawai atau perangkat
pemerintahan yang bertugas di bidang pajak umumnya memungut kata tandha..yang bermakna pemungut pajak
atau pemungut cukai sehingga tercipta nama-nama, seperti: Tandhawijaya,
Tandhaharta, dan lain-lain. Komunitas para pemungut pajak ini
disediakan lokasi khusus sebagai tempat tinggal yang disebut ke-tandha-an=
Ketandhan. Sedangkan nama dengan kata dasar sastra, misalnya: Padmasusastra,
Sastrawardaya, dan lain-lain pada umumnya disandang oleh orang yang
bekerja di bidang tulis-menulis, kepengarangan, atau perbukuan.
Masih banyak nama lain yang
diciptakan dari dunia profesi, misalnya: Kismahartaya (menunjukkan
orang yang bekerja di bidang pertanahan atau agraria); Cermacarita
(orang yang bekerja di bidang seni pedalangan), Natanegara (bidang
pemerintahan dalam negeri), Jaganegara
(bidang pertahanan dan keamanan), Yudanegara (bidang/urusan
perang), Dwijasubrata (bidang keguruan atau pendidikan), Darmahusada
(bidang pengobatan atau kedokteran), Padmabusana (bidang
fesyen atau pakaian), Bondhan Sutrisna (bidang tari), dan
sebagainya.
Cara lain yang digunakan untuk
menciptakan nama adalah dengan model pengulangan atau duplikasi. Anak sulung
yang oleh orang tuanya diberi nama Sukarja akan dijadikan
patokan oleh orang tua untuk memberikan
nama pada adik-adiknya. Berdasarkan prinsip duplikasi maka adik-adiknya
oleh orang tuanya diberi nama: Sukarno, Sukarni, Sukardi, Sukarti, Sukarto,
Sukaryanto, Sukaryanti, dan seterusnya tergantung jumlah
anak. Untuk menghindari nama yang sama dengan anak tetangga – yang umumnya juga
menganut prinsip duplikasi, dengan sedikit improvisasi dapat tercipta nama-nama
Sukardiningsih, Sukarjaningprang, Sukartiningtyas,
dan lain-lain. Kata dasar yang sering dijadikan dasar duplikasi antara
lain: Sumar......,Sunar....., Supar......, Sudar......., Suhar.......,
Sutar......., Suwar......, Sujar........., Supri ......, dan sebagainya.
Untuk membingkai agar anak-anak yang
lahir dari ayah dan ibu yang sama, saudara sekandung, agar mereka merasa
sungguh bersaudara, orang tua biasa memberi nama depan atau nama belakang yang
sama pada anak-anak mereka. Karena anak pertama diberi nama Sugeng
Raharja, misalnya, maka anak kedua, ketiga, dan seterusnya memakai nama
depan Sugeng. Jadilah nama-nama, seperti: Sugeng
Widada, Sugeng Basuki, Sugeng Rahina, Sugeng Wiyana, Sugeng Wijaya, dan sebagainya.
Atau, Jaka Merdika, Jaka Sentika, Jaka Suteja, Jaka
Tamtama, dan sebagainya. Sementara untuk anak perempuan diberi nama Sri
Merdikawati, Sri Rejeki, Sri Rahayu, Sri Wijayanti, dan
sebagainya.
Jika yang disamakan nama belakang,
maka terciptalah nama-nama, seperti: Eka Wijaya, Dwi Wijaya,
Tri Wijaya, Catur Wijaya, Panca Wijaya, dan
seterusnya. Kata-kata eka, dwi, tri, catur dan panca sekalian
digunakan untuk menandai urutan kelahiran mereka. Eka berarti anak
pertama atau kesatu, dwi berarti anak kedua, tri berarti anak
ketiga, catur artinya anak keempat, dan panca berarti anak
kelima.
Nama-nama Jawa juga biasa dibentuk
dengan cara memungut kata-kata yang berkenaan dengan warna, rasa, bau, sehinga terbentuk
nama-nama, seperti: Rara Ireng,
Rara Amis, Arum Manis,
Arumdalu, Gandakusuma, Sekarwangi,
dan sebaginya. Atau dihubungkan
dengan harapan akan keselamatan, kekuatan, ketegaran hati, kesetiaan, kesucian,
dan sebagainya sehingga tercipta nama-nama seperti: Slamet, Raharja, Basuki,
Wilujeng, Waluya, Sabar, Subur, Narima, Tatag, Teguh, Kuwat, Santosa, Beja,
Ayem, Tentrem, Urip, dan lain-lain. Kata-kata yang bermakna bagus ini
kemudian dipadukan dengan kata lain sehingga tercipta nama, seperti: Teguh
Santosa, Slamet Raharja, Slamet Santosa, Bagus Basuki, dan sebagainya. Atau, kata-kata ini
dipadukan dengan kata lain yang lebih menambah makna, sehingga tercipta
nama-nama, seperti: Basuki Abdullah, Basuki Rahmat, Hari Santosa, Teguh
Mulyadi, dan sebagainya.
Namun, karena pola-pola tersebut berlaku umum, bisa dipakai oleh siapa
saja, kapan saja, dan di mana saja – artinya baik orang yang tinggal di kota
maupun orang yang tinggal di desa, serta seakan menjadi sangat kaprah, tidak
menunjukkan ciri yang khas, maka ada kelompok tertentu dalam masyarakat yang
mencoba menggunakan pola lain. Pola ini justru tidak menganut pola-pola
pembentukan nama yang lazim, melainkan ciptaan sendiri yang dinilai otentik.
Cara ini kadang tidak mengacu pada makna, melainkan pada ‘pokoknya beda, lain
dari yang lain, serta belum ada yang pernah
memakai’.
Kadang nama itu diciptakan secara spontan dengan cara mengacu pada kondisi
atau situasi sesaat dan setempat tatkala seorang bayi dilahirkan. Seorang anak
yang dilahirkan tatkala terjadi hujan deras, sementara guntur menggelegar,
dinamakan Guntur, atau Guruh, atau Bledheg. Ketika tejadi gempa bumi seorang anak oleh
orang tuanya diberi nama Lindu. Bahkan ada anak yang diberi nama Geger
( e dilafalkan seperti e dalam kata lele), sebab dia lahir
bertepatan dengan suasana gaduh akibat perang.
Nama-nama seperti: Merdekawati, Revolusiana, Novembriyanto,
Ganefowati – dan sejenisnya bisa diduga kuat tercipta berdasarkan pola
penamaan demikian.
Pola memberikan nama dengan prinsip ‘berbeda dan belum pernah dipakai’
biasanya juga dipakai di kalangan keraton atau di kalangan seniman. Nama Darajatun,
yang disandang oleh Sultan Hamengku Buwana IX tatkala kecil, jelas bukan
nama yang lazim. Demikian pula nama Nihil Pakuril (=tidak ada paku rel
atau paku relnya hilang) , nama salah seorang anak seniman lukis Joko
Pekik. Nama-nama lain, seperti: Tutek, Hariyet, Jemek, Hoyi, Sumengah,
Amral, Makdun, Maloka, Menol, Jarot, Jonet, Mustojo, Murtejo, Dayun, dan
sebagainya bisa dikategorikan termasuk
dalam kelompok ini. Barangkali nama-nama ini diadopsi dari bahasa Arab
atau bahasa manca yang lain, yang tidak ditemukan dalam bahasa Jawa yang
bercikal bakal dari bahasa Sanskrta atau Jawa Kawi atau Jawa Kuno. Atau, justru
tidak ada di dalam khazanah bahasa mana pun.
Atau, bisa jadi merupakan percampuran dari berbagai tradisi atau bahasa
yang pernah ada. Atau justru asal comot dengan menunjukkan ciri yang khas,
meski acap kali nama-nama itu justru tidak mempunyai makna.
Belakangan, karena pengaruh budaya Barat, atau berdasarkan latar belakang
keyakinan atau agama tertentu yang dianut, cara orang tua Jawa memberikan nama
pada anak mereka juga mengalami perubahan. Muncullah nama-nama seperti Rudy
Handoko, Johny Sumbogo, Rizki Fikriyanto, Hery Zudianto, Mery Braniwati, Agung
Vedhanta, Decembri Natalia, Rosariyanto,
Nur Fitria Dewi, Andre Dewanto, Christian Sugiyono, dan sebagainya.
Seturut bergulirnya zaman nama-nama yang sungguh nJawani (bernuansakan budaya Jawa) seperti: Sarinten, Juminten, Tuminah – kendati nama itu bermakna sungguh
amat bagus, yakni: sari intan, zamrut, dan sabar hati - tidak lagi dipilih oleh orang Jawa untuk
memberi nama pada anak-anak mereka. Barangkali karena nama-nama demikian dianggap
berbau kedesa-desaan, ndesani, kuno,
atau sudah ketinggalan zaman. Sementara
nama-nama Edy, Johny, Fredy, Fery, Ety, Emy, Febriana, Eric, George, dan sebagainya,
banyak dipilih orang karena dianggap berbau kebarat-baratan atau dianggap
berkonotasi modern. Akan hal ini terpulang kepada masing-masing pribadi. Terserah.
Sumangga. Satu hal yang kiranya patut
dipertimbangkan, dari mana pun kata pungut yang digunakan untuk membentuk nama,
dari Bahasa Latin, Inggris, Arab, Mandarin, Italia, Belanda, dsb., hendaknya
kata-kata yang dipungut itu bermakna bagus, atau mengandung filosofi hidup yang
baik, sehingga memberikan kepercayaan pada si penyandang nama. Jangan sampai,
kelak, si penyandang nama merasa malu, merasa terbebani, merasa minder,
gara-gara nama yang disandangnya ternyata bermakna buruk, nista, hina, atau
jahat.
Maklumat
Demi setia pada ejaan Bahasa Jawa
yang didasarkan pada Dentawyanjana, yakni urutan-urutan huruf ha-na-ca-ra-ka, serta pelafalan menurut kaidah bahasa Jawa,
nama-nama yang disuguhkan dalam juga ditulis dengan kaidah ha-na-ca-ra-ka
. Sesuai dengan prinsip ini maka nama Suharto, misalnya, ditulis
Suharta, sebab huruf a dalam ejaan Jawa itu diucapkan a
seperti dilafalkan dalam kata enau. Sedang huruf o dalam
ejaan ha-na-ca-ra-ka dibaca: o, sebagaimana bunyi o dalam
kata toko.
Sementara dalam praktek keseharian,
sesuai pengaruh ejaan bahasa Indonesia, huruf o dalam kata Suharto dilafalkan o seperti
dalam kata kerbau. Berdasarkan kenyataan demikian pemakaian huruf a atau
o dalam nama untuk melafalkan bunyi au seperti dalam kata enau,
kerbau, dan sebagainya, diseyogyakan kepada kebijaksanaan
masing-masing pribadi pencipta atau pemilik nama.
Kata-kata dasar
dipungut dari Bahasa Jawa, baik Jawa modern (yang lazim dipakai sekarang) –
baik ngoko (bahasa rendahan) maupun krama
(bhasa tingkat tinggi/halus), maupun Bahsa Jawa Kuno, Sansekerta dan Bahasa Kawi. Namun, demi kemudahan –
karena ulasan ini tidak dimaksudkan sebagai pengajaran bahasa, asal-usul bahasa
sengaja tidak disebutkan. Ulasan ini lebih ingin menunjukkan arti dari kata-kata
dasar yang dipajang, baik yang berarti baik maupun buruk, agar pembaca yang berkepetingan untuk memungut
guna dibentuk menjadi nama, dapat memungutnya dengan benar.
Dalam Bahasa Jawa dikenal pembedaan
bunyi (lafal) huruf da dengan huruf dha. Perbedaan bunyi ini berpengaruh
pada perbedaan arti, seperti yang ditunjukkan oleh kata wedi ( yang berarti takut
) dengan wedhi (yang berarti
pasir). Atau pada ( yang berarti kaki, atau koma) dengan padha
(yang berarti sama). Demikian juga halnya dengan huruf ta
dan huruf tha seperti dalam kata titik
(yang berarti tanda baca titik) dengan thithik /sethithik (yang berarti
sedikit). Pembedaan bunyi demikian tidak dikenal dalam ejaan Bahasa Indonesia.
Maka, pada sebuah nama, pelafalan mana yang dikehendaki oleh ’si pencipta
nama’ atau oleh ’si empunya nama’ diserahkan sepenuhnya pada kehendak yang
bersangkutan. Nama: Dipoprasto,
misalnya, boleh dilafalkan menjadi Dipaprasta atau Dipaprastha. Kebetula
lafal ta dan tha dalam nama ini tidak berbeda.
Sehingga tidak mengubah arti. Namun
demikian hendaknya tetap diingat bahwa tidak semua kata bisa dilafalkan dengan
cara demikian. Nama Waskito, misalnya,
seyogyanya dilafalkan Waskitho , sebab nama ini dipungut dari kata waskitha (yang bermakna: mempunyai mata batin/rohani yang tajam atau
awas secara batin/rohani), sementara kata waskita
dalam Bahasa Jawa tidak ada atau
tidak dikenal. Demikian pula, nama Sarwo
Edi, hendaknya dilafalkan Sarwa Edi bukan Sarwa Edhi, atau Sarwo
Edy, sebab kata Edhi dan Edy dalam Bahasa Jawa juga tidak ada
atau tidak dikenal.
Dengan kata lain hendaknya
senantiasa diusahakan agar pelafalan nama tetap setia pada lafal yang benar
sesuai dengan lafal kata dasar yang asli, agar makna nama tidak
bergeser/berubah.
A
Abang : merah
karangabang :
terbakar; kebakaran; dibakar
lemahabang :
tanah merah; lempung
abang mbranang : merah sekali; merah menyala
Abdi : abdi;
hamba; sahaya
Abdullah : abdi Allah; hamba Tuhan à Ngabdul
Abdul Syukur : abdi Tuhan yang senantiasa bersyukur
Abikara : pegawai negeri; pamong praja
Abikusna : kehendak baik
A - Cakrawardaya
: hati yg berkehendak baik dan tajam
bagaikan
senjata cakra
Abimanyu :
nama salah seorang anak Harjuna dalam kisah wayang
Abinawa :
menakjubkan
Abilasa : hawa nafsu
Abirama : indah; cantik;
congkak/loba
Abirupa : indah
Abiyasa/Abhiyasa : latihan; berlatih (à perang)
Abra : bersinar;
gemerlap; cemerlang
Abrajaya :
kemenangan yg gemilang
Abu : ayah
Acala : bukit; gunung
Adhi : adik
Adhimas : adik laki-laki à Dhimas
Adi :
indah; molek; nama windu dalam kalender Jawa
Adibusana : pakaian yg indah; orang yg pakaiannya indah;
orang yg pandai membuat pakaian yg indah à
perancang busana
yg indah
Adi Prakasa : indah dan kuat
Adi Sarjana : sarjana yg baik, intelektual;
kaum terpelajar yg
baik
Adikusuma
à Kusuma Adi : bunga yg indah
Adi Purnama
àPurnama Adi : bulan yg indah;
bulan purnama
Adiwignya : jenius; pandai
sekali
Adiningsih : wanita yg berhati baik, bening
dan penuh kasih
Adinugraheni : bentuk feminim dr
Adi Nugraha=anugerah
yang indah; à
Adi-nugraha-henià Adi Nugraheni=
hadiah berujud pasir (maksudnya pantai) yang indah
(H)adiwinata :
tatatan yg indah/molek/baik;
orang yg pandai menata sehingga baik
Adiwijaya :
kemenangan yg indah/mengesankan
adigang : membangakan kekuatan/kekuasaan
adigung : membanggakan kebesaran/kekayaan
adiguna : membanggakan kepandaian
Adilaga : peperangan
Kusuma(a)dilaga: bunga peperangan;
pahlawan
Mangun(a)dilaga: membangun
peperangan à membuat siasat/strategi
perang; perencana
perang (yg hebat)
Mangkudilaga : memangku peperangan à ahli strategi perang;
ahli
menyelesaikan peperangan à
pengatur
perdamaian
Adimuka : pemuka; pemimpin; pembesar
Adipati : raja; gelar bangsawan
setingkat bupati
Adiraga : bersolek; berhias diri
Aditya : matahari; hari Minggu
Aditya Wibawa : matahari yg berwibawa;
Hari Minggu yg berwibawaà hari yg lebih unggul
daripada hari yg lain
Adiwignya : pandai sekali
Adnyana : pengertian; akal
Adri : gunung
Jala Adri : jala-adri Jaladri=air – gunung
Jaladri : air gunung (=mata air gunung);
air yg
menggunungà gelombang laut; ombak; lautan
Adriyana : orang yg besar/tegap/gagah bagai gunung
Adya : indah; molek
Adyaksa : jaksa
Adyaksa Suhartaka
: jaksa dan bendahara
Ageng : besar
Ki Ageng ... : tetua yg besar/luhur di bidang
kerohanian/keagamaan dari .... (biasanya disertai nama
tempat
tinggal/asal) à Ki Ageng Pengging = orang
yg dituakan dan luhur dr Pengging
Agni : api; Dewa Api
Agni Wijayanti : api kemenangan; obor kemenangan
Agung : besar; raya
Agung Nugraha : hadiah/karunia yg besar
Agung Wijaya : kemenangan besar; kejayaan
Agung Sedayu : Sedayu (nama desa) yg besar/terkenal;
’Si Agung’ dari desa
Sedayu
Agung Budi Susatya
: orang yg memiliki budi besar dan tulus hati/setia
Agung Wibawa : wibawa yg besar; sangat besar wibawanya
Agus : bagus; panggilan untuk anak laki-laki
Agus Wijaya : anak laki-laki yg cakap dan berjaya
Agus Wijayanta : anak
laki-laki yg cakap dan berjaya
Agus Budi Widada : anak
laki-laki yg selamat/sehat
karena baik
budinya
Ajar : pendeta; ajar; belajar
Ki (H)ajar.. : sebutan/panggilan takzim untuk guru
atau pengajar/penasehat
Nyi Ajar.. : bentuk feminim dari Ki Ajar
Aji : harga; nilai; raja; ratu
Ajisaka * : saka = tiangà tiang yg berharga à teman/sahabat à
sahabat yg
berhargaà sahabat sejati;
raja/tiang penyangga utama
* nama Ajisaka diperkirakan merupakan nama
sandi/samaran dari Sultan Agung Anyakrakusuma, raja
Catatan:
Contoh kata dan ulasan selengkapnya ihwal mencipta nama selengkapnya dapat dicari dan dibaca dalam buku "Nama-Nama Penuh Makna", terbitan penerbit Lembah Manah. Buku ini diterbitkan terbatas dan tidak tersedia di toko-toko buku. Jika berminat Anda dapat memesan ke: LEMBAH MANAH, Dusun Kersan RT6 No:1, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Tlp.0274.412620; HP:0852 8997 075 (a.n.: Hendro Martono). Email:lembah_manah64@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar