Minggu, 15 Maret 2015

Nama - Nama Penuh Makna


Nama, bagi seseorang maupun bagi suatu institusi, sejatinya  bukan sekadar paduan beberapa atau  berbagai huruf, atau untaian bermacam bunyi vokal dan konsonan. Juga, bukan sekadar sebutan agar seseorang bisa diketahui atau bisa dikenali. Lebih dari itu, nama boleh dibilang merupakan ekspresi atau manifestasi diri bagi si pemilik atau si penyandang. Maka, tatkala akan memberikan atau menciptakan nama bagi seseorang atau sebuah institusi atau lembaga tertentu, seharusnyalah kita memilih kata serta menimbang makna yang terkandung dalam setiap kata yang akan kita gunakan  dengan seksama. Bukan asal-asalan. Lantas, bagaimana cara mencipta nama yang baik lagi  bermakna mulia? Bagaimana orang Jawa mencipta nama bagi anak-anak mereka, atau bagi institusi, lembaga atau benda-benda tertentu. Berikut ulasannya, disertai beberapa contoh kata yang bisa dipungut untuk mencipta nama.

Bagaimana orang Jawa memilih atau mencipta nama?

           

            Barangkali tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia – yang menciptakan nama orang dengan cara memungut nama dari alam sekitar, atau menarik analogi dari hal-hal di sekitar hidupnya - demikian pula halnya dengan orang Jawa. Orang Jawa, seperti orang Indian di Amerika, misalnya, juga memungut nama-nama dari dunia flora atau fauna;  dari dunia pertanian atau kelautan; dari dunia  astronomi, astrologi dan  filsafat; dari dunia pedesaan atau kerajaan; dari dunia keseharian atau pemerintahan; dari dunia politik atau ekonomi, dari dunia kejasmanian atau kerohanian, dan sebagainya, atau penggabungan dari berbagai bidang sehingga tercipta sebuah nama yang mengandung makna bagus sebagaimana yang diinginkan.

Demikian, karena dalam keseharian ada orang Jawa yang hidup dalam dunia flora, atau selalu bersentuhan dengan masalah pertanian, mereka memberikan  nama kepada anak mereka dengan nama yang mencerminkan unsur tanah atau tumbuh-tumbuhan, misalnya:  Jurumertani, yang bermakna: orang yang pekerjaannya bertani atau orang yang mahir dalam hal bertani, atau Kismataruna, yang bermakna: pemuda atau orang muda yang pekerjaannya mengolah tanah atau berkenaan dengan tanah.

Kepada anak yang lahir dan dibesarkan di dunia kelautan atau air oleh orang tuanya diberi nama Samodra, artinya samudera, atau Benawa, atau Benawi, artinya bengawan atau sungai besar; atau Tirtawinata yang berarti orang yang pekerjaannya menata atau mengelola air.

Sementara nama-nama, seperti: Doradipangga, yang bermakna pawang gajah, atau Mahesajenar, yang bermakna kerbau kuning, banteng atau lembu/sapi, adalah nama-nama yang biasa diberikan kepada orang-orang yang berkarya di bidang fauna. Meski, bisa saja terjadi, nama Mahesajenar, misalnya, tidak disandang oleh seorang anak yang sehari-hari hidup menggembalakan kerbau, melainkan justru oleh seorang prajurit. Dengan nama itu si prajurit berharap mampu mengidentifikasikan dirinya bagaikan seekor kerbau kuning atau banteng yang kuat, perkasa, tidak takut bahaya, serta ditakuti lawannya. Jadi, sebuah nama yang imajinatif serta bertujuan memompa semangat atau meningkatkan motivasi.

            Orang Jawa juga mempunyai cara yang unik ketika memilih nama untuk anak-anak mereka. Pemilihan itu kadang dihubungkan dunia astronomi atau astrologi, misalnya dengan hari, pasaran, bulan, tahun, atau wuku -  tatkala si anak lahir. Seorang anak yang lahir pada tanggal satu, bulan Januari tahun duaribu satu, misalnya, diberi nama oleh orang tuanya: Sarwaji, artinya serba satu (sarwa=serba,  ji/siji=satu), yakni: tanggal satu, bulan satu, tahun satu. Sementara nama Seklinov ternyata merupakan akronim Selasa Kliwon November. Maksudnya, anak yang lahir pada hari Selasa Kliwon bulan November. Dan, anak yang lahir pada tujuhbelas bulan Mei diberi nama Tulasma, singkatan dari (tanggal) pitulas (17) (bulan) lima (Mei).

            Sementara itu seorang anak laki-laki yang lahir pada hari Jumat diberi nama oleh orang tuanya Sukra.... Kalau anak yang lahir itu laki-laki maka dinamakan Sukrasana;  sukra artinya hari Jumat, sana berarti anak laki-laki atau seorang pria. Bisa jadi si anak diberi nama Sukra Baskara, yang bermakna ’matahari yang terbit pada hari Jumat’. Nama ini dipilih karena si anak lahir pada hari Jumat saat matahari terbit. Harapan orang tuanya, kelak si anak bisa tumbuh dan berkembang menjadi orang yang mampu menjadi sinar matahari bagi orang lain.

  Jika anak itu perempuan bisa saja diberi nama Sukrawati, atau Sukraningsih (anak perempuan yang lahir pada hari Jumat dan diharapkan mempunyai hati yang suci dan penuh kasih). Sementara itu, untuk mengingatkan anaknya yang lahir pada tanggal satu bulan Sura seorang bapak memberikan nama Suraji, akronim dari bulan Sura tanggal siji (=satu). Namun nama Suraji; yang bisa dieja menjadi: sura-aji, juga bisa dimaknai ’bulan Sura yang amat berharga atau mulia’. Maknanya, orang tua  mencita-citakan agar anaknya yang lahir pada bulan Sura itu kelak menjadi orang yang mulia (artinya dihargai, dihormati atau terpandang) dan bahagia. Bisa juga anak itu diberi nama Suradi. Maksudnya,  Sura – Adi; bulan Sura yang luhur.



Berdasarkan pertimbangan hari, tanggal, bulan dan tahun kadang seorang anak yang baru lahir diberi nama oleh orang tuanya dengan nama hari itu sendiri. Maka jadilah nama-nama seperti:  Senen, Rebo,  Kemis atau Setu. Hari Selasa, Jumat dan Minggu, jarang dipakai langsung. Biasanya digunakan dalam bentuk sinonimnya dalam bahasa Jawa Kuno atau Sanskrta, yakni Anggara (=Selasa) dan Aditya/Dite (=Minggu atau Ahad), Sukra (=Jumat).  Nama hari yang digunakan untuk menamai seorang anak kadang juga dipadukan dengan nama pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing), sehingga tercipta nama Anggara Kasih (Anggara=Selasa, Kasih=Kliwon), untuk  anak yang lahir pada hari Selasa Kliwon.

            Untuk menamai seorang anak yang lahir pada hari pasaran tertentu, misalnya Pon,  tidak jarang orang tua si anak memberi nama anaknya berdasarkan hari pasaran ini, sehingga lahirlah nama-nama, seperti: Ponija, Poniman, Ponimin, Poniran – untuk anak laki-laki. Ponirin, seorang pejabat pemerintahan di Suriname keturunan Jawa, sangat boleh jadi lahir pada pasaran Pon. Sementara ayahnya bernama Wagirin atau Tugirin, sehingga oleh ayahnya dia diberi nama Ponirin. Berdasarkan hari pasaran ini untuk anak-anak  perempuan lazim diberi nama: Ponirah, Poniyem, Ponijem, dan sebagainya. Dengan menyimak pola penamaan demikian lantas dengan mudah bisa diduga bahwa nama Waginem, Wagirah, adalah nama anak perempuan yang lahir pada hari pasaran Wage. Sementara anak laki-laki yang lahir pada hari pasaran Wage diberi nama: Wagiman, Wagimin, Wagiya, Wagiyana, dan sebagainya. Kadang, dengan sedikit improvisasi tercipta nama-nama yang ‘agak modern’, seperti: Wagiyanto, Wagiyarsanto; Wagimantara, atau yang ‘agak nyentrik’ seperti: Suwage.  Tidak jarang nama yang dipungut dari nama hari pasaran itu  dikombinasikan dengan nama atau kata lain sehingga tercipta nama, seperti: Wage Rudolf Supratman.

            Seorang anak juga biasa diberi nama dengan memadukan kedua nama orang tuanya. Maka terciptalah nama-nama, seperti: Wagirah, sebab ayahnya bernama Wagiman, sedang ibunya bernama Sukirah. Atau, dari perpaduan itu bisa saja namanya menjadi Sukiman, karena mengambil sepenggal nama ibunya:  Suki- kemudian dipadukan dengan sepenggal nama ayahnya:  man. Berdasarkan pola penamaan dengan model atau gaya perpaduan dua nama ini, maka nama Sukaryanti boleh diduga berasal dari Sukar-man, Sukar-di, Sukar-jo dan sebagainya dengan Har-yanti, Mar-yanti, Dar-yanti, dan sebagainya.

            Suku bangsa Jawa juga dikenal sebagai kelompok etnis yang sangat menghargai alam. Sikap ini terejawantahkan dalam filosofi hidup yang mengutamakan harmoni, yakni harmoni dengan lingkungan/alam, harmoni dengan sesama, dan harmoni dengan Gusti Allah, Tuhan sesembahannya. Penghargaan terhadap alam itu juga tampak dari cara orang Jawa memberikan nama kepada anak-anak mereka.

Seorang  bapak yang sedemikian kagum akan gunung, dengan segala material dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, misalnya, tidak mustahil jika memberi nama anak laki-lakinya  Watugunung (watu = batu; gunung = gunung). Harapannya, semoga anaknya kelak tumbuh dan berkembang menjadi orang yang ‘gagah, tegar, berwibawa, bagaikan gunung, serta keras tekadnya bagaikan batu manakala mempunyai cita-cita’.

            Nama-nama lain seperti: Suharga (su=bagus; harga/arga=gunung à gunung yang bagus/indah);  Suhargana, Hargawiyata, Arga Dumilah, Sapta Arga, Panca Arga, Wukirsari, Ardi, dan sejenisnya bisa diduga berasal dari kalangan pengagum alam atau orang yang dekat atau mencintai alam, khususnya gunung.

            Unsur alam lain yang kerap dipungut untuk dijadikan nama adalah air, api, udara/angin, tanah, serta logam – khususnya emas dan besi. Maka lahirlah nama-nama yang dipungut dari kata tirta, warih, atau perwita, misalnya: Tirtayasa, Tirtasari, Tirtapraja, Tirtadipura, Tirtadiningrat, Warih Handayani, Perwitasari; nama-nama yang terinspirasi dari api, misalnya: Agni Wijayanti; nama yang dipungut dari udara/angin, misalnya: Bayu Arimurti. Dari unsur logam yang kerap dijadikan inspirasi untuk menciptakan nama adalah emas yang dalam susastra Jawa disebut kencana. Maka lahirlah nama-nama seperti: Kencana Wungu; Kencanamurti; Kencanamursita; Puspakencana, dan sebagainya.

            Kedekatan atau kecintaan terhadap alam juga tampak dari nama-nama yang tercipta dengan mengadopsi nama hewan atau tumbuh-tumbuhan, seperti: Kudawaningpati,  Gajah Mada, (H)ayam Wuruk, Lembu Peteng, Mahesa Cempaka, Dara Pethak, Gagak Rimang, Singamaruta, Garudhayaksa, Sarpakenaka, Sardula  Seta, Janur Wenda, dan  sebagainya.

            Cara lain yang biasa digunakan oleh orang Jawa dalam menciptakan nama adalah dengan mempertimbangkan  jabatan atau pekerjaan seseorang. Orang-orang yang bekerja di jajaran pemerintahan, misalnya, pada umumnya memakai nama dengan imbuhan praja. Maka terbentuklah nama-nama seperti: Kartapraja; Prajadiningrat, Prajasuta,  Karta Hadipraja, dan lain-lain.

            Sementara itu pegawai atau perangkat pemerintahan yang bertugas di bidang pajak umumnya memungut kata   tandha..yang bermakna pemungut pajak atau pemungut cukai sehingga tercipta nama-nama, seperti: Tandhawijaya, Tandhaharta, dan lain-lain. Komunitas para pemungut pajak ini disediakan lokasi khusus sebagai tempat tinggal yang disebut ke-tandha-an= Ketandhan. Sedangkan nama dengan kata dasar sastra, misalnya: Padmasusastra, Sastrawardaya, dan lain-lain pada umumnya disandang oleh orang yang bekerja di bidang tulis-menulis, kepengarangan, atau perbukuan.

            Masih banyak nama lain yang diciptakan dari dunia profesi, misalnya: Kismahartaya (menunjukkan orang yang bekerja di bidang pertanahan atau agraria); Cermacarita (orang yang bekerja di bidang seni pedalangan), Natanegara (bidang pemerintahan dalam negeri),  Jaganegara (bidang pertahanan dan keamanan), Yudanegara (bidang/urusan perang), Dwijasubrata (bidang keguruan atau pendidikan), Darmahusada (bidang pengobatan atau kedokteran), Padmabusana (bidang fesyen atau pakaian), Bondhan Sutrisna (bidang tari), dan sebagainya.

            Cara lain yang digunakan untuk menciptakan nama adalah dengan model pengulangan atau duplikasi. Anak sulung yang oleh orang tuanya diberi nama Sukarja akan dijadikan patokan oleh orang tua untuk memberikan  nama pada adik-adiknya. Berdasarkan prinsip duplikasi maka adik-adiknya oleh orang tuanya diberi nama: Sukarno, Sukarni,   Sukardi, Sukarti, Sukarto, Sukaryanto, Sukaryanti, dan seterusnya tergantung jumlah anak. Untuk menghindari nama yang sama dengan anak tetangga – yang umumnya juga menganut prinsip duplikasi, dengan sedikit improvisasi dapat tercipta nama-nama Sukardiningsih, Sukarjaningprang, Sukartiningtyas, dan lain-lain. Kata dasar yang sering dijadikan dasar duplikasi antara lain: Sumar......,Sunar....., Supar......, Sudar......., Suhar......., Sutar......., Suwar......, Sujar........., Supri ......,  dan sebagainya.

            Untuk membingkai agar anak-anak yang lahir dari ayah dan ibu yang sama, saudara sekandung, agar mereka merasa sungguh bersaudara, orang tua biasa memberi nama depan atau nama belakang yang sama pada anak-anak mereka. Karena anak pertama diberi nama Sugeng Raharja, misalnya, maka anak kedua, ketiga, dan seterusnya memakai nama depan Sugeng. Jadilah nama-nama, seperti: Sugeng Widada, Sugeng Basuki, Sugeng Rahina, Sugeng Wiyana,  Sugeng Wijaya, dan sebagainya. Atau, Jaka Merdika, Jaka Sentika, Jaka Suteja, Jaka Tamtama, dan sebagainya. Sementara untuk anak perempuan diberi nama Sri Merdikawati, Sri Rejeki, Sri Rahayu, Sri Wijayanti, dan sebagainya.

            Jika yang disamakan nama belakang, maka terciptalah nama-nama, seperti: Eka Wijaya, Dwi Wijaya, Tri Wijaya, Catur Wijaya, Panca Wijaya, dan seterusnya. Kata-kata eka, dwi, tri, catur dan panca sekalian digunakan untuk menandai urutan kelahiran mereka. Eka berarti anak pertama atau kesatu, dwi berarti anak kedua, tri berarti anak ketiga, catur artinya anak keempat, dan panca berarti anak kelima.

            Nama-nama Jawa juga biasa dibentuk dengan cara memungut kata-kata yang berkenaan dengan  warna, rasa, bau, sehinga terbentuk nama-nama, seperti: Rara Ireng, Rara Amis,  Arum Manis, Arumdalu, Gandakusuma, Sekarwangi,  dan sebaginya. Atau dihubungkan dengan harapan akan keselamatan, kekuatan, ketegaran hati, kesetiaan, kesucian, dan sebagainya sehingga tercipta nama-nama seperti: Slamet, Raharja, Basuki, Wilujeng, Waluya, Sabar, Subur, Narima, Tatag, Teguh, Kuwat, Santosa, Beja, Ayem, Tentrem, Urip, dan lain-lain. Kata-kata yang bermakna bagus ini kemudian dipadukan dengan kata lain sehingga tercipta nama, seperti: Teguh Santosa, Slamet Raharja, Slamet Santosa, Bagus Basuki,  dan sebagainya. Atau, kata-kata ini dipadukan dengan kata lain yang lebih menambah makna, sehingga tercipta nama-nama, seperti: Basuki Abdullah, Basuki Rahmat, Hari Santosa, Teguh Mulyadi, dan sebagainya.

Namun, karena pola-pola tersebut berlaku umum, bisa dipakai oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja – artinya baik orang yang tinggal di kota maupun orang yang tinggal di desa, serta seakan menjadi sangat kaprah, tidak menunjukkan ciri yang khas, maka ada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mencoba menggunakan pola lain. Pola ini justru tidak menganut pola-pola pembentukan nama yang lazim, melainkan ciptaan sendiri yang dinilai otentik. Cara ini kadang tidak mengacu pada makna, melainkan pada ‘pokoknya beda, lain dari yang lain, serta belum  ada yang pernah memakai’.

 Kadang nama itu diciptakan secara spontan dengan cara mengacu pada kondisi atau situasi sesaat dan setempat tatkala seorang bayi dilahirkan. Seorang anak yang dilahirkan tatkala terjadi hujan deras, sementara guntur menggelegar, dinamakan Guntur, atau Guruh, atau Bledheg. Ketika tejadi gempa bumi seorang anak oleh orang tuanya diberi nama Lindu. Bahkan ada anak yang diberi nama Geger ( e dilafalkan seperti e dalam kata lele), sebab dia lahir bertepatan dengan suasana gaduh akibat perang.  Nama-nama seperti: Merdekawati, Revolusiana, Novembriyanto, Ganefowati – dan sejenisnya bisa diduga kuat tercipta berdasarkan pola penamaan demikian.

Pola memberikan nama dengan prinsip ‘berbeda dan belum pernah dipakai’ biasanya juga dipakai di kalangan keraton atau di kalangan seniman. Nama Darajatun, yang disandang oleh Sultan Hamengku Buwana IX tatkala kecil, jelas bukan nama yang lazim. Demikian pula nama Nihil Pakuril (=tidak ada paku rel atau paku relnya hilang) , nama salah seorang anak seniman lukis Joko Pekik. Nama-nama lain, seperti: Tutek, Hariyet, Jemek, Hoyi, Sumengah, Amral, Makdun, Maloka, Menol, Jarot, Jonet, Mustojo, Murtejo, Dayun, dan sebagainya bisa dikategorikan termasuk  dalam kelompok ini. Barangkali nama-nama ini diadopsi dari bahasa Arab atau bahasa manca yang lain, yang tidak ditemukan dalam bahasa Jawa yang bercikal bakal dari bahasa Sanskrta atau Jawa Kawi atau Jawa Kuno. Atau, justru tidak ada di dalam khazanah bahasa mana pun.  Atau, bisa jadi merupakan percampuran dari berbagai tradisi atau bahasa yang pernah ada. Atau justru asal comot dengan menunjukkan ciri yang khas, meski acap kali nama-nama itu justru tidak mempunyai makna.

Belakangan, karena pengaruh budaya Barat, atau berdasarkan latar belakang keyakinan atau agama tertentu yang dianut, cara orang tua Jawa memberikan nama pada anak mereka juga mengalami perubahan. Muncullah nama-nama seperti Rudy Handoko, Johny Sumbogo, Rizki Fikriyanto, Hery Zudianto, Mery Braniwati, Agung Vedhanta, Decembri Natalia, Rosariyanto,  Nur Fitria Dewi, Andre Dewanto, Christian Sugiyono, dan sebagainya.

Seturut bergulirnya zaman nama-nama yang sungguh nJawani (bernuansakan budaya Jawa) seperti: Sarinten, Juminten, Tuminah – kendati nama itu bermakna sungguh amat bagus, yakni: sari intan, zamrut, dan sabar hati -   tidak lagi dipilih oleh orang Jawa untuk memberi nama pada anak-anak mereka. Barangkali karena nama-nama demikian dianggap berbau kedesa-desaan, ndesani, kuno, atau sudah ketinggalan zaman.  Sementara nama-nama Edy, Johny, Fredy, Fery, Ety, Emy, Febriana, Eric, George, dan sebagainya, banyak dipilih orang karena dianggap berbau kebarat-baratan atau dianggap berkonotasi modern. Akan hal ini terpulang kepada masing-masing pribadi. Terserah. Sumangga. Satu hal yang kiranya patut dipertimbangkan, dari mana pun kata pungut yang digunakan untuk membentuk nama, dari Bahasa Latin, Inggris, Arab, Mandarin, Italia, Belanda, dsb., hendaknya kata-kata yang dipungut itu bermakna bagus, atau mengandung filosofi hidup yang baik, sehingga memberikan kepercayaan pada si penyandang nama. Jangan sampai, kelak, si penyandang nama merasa malu, merasa terbebani, merasa minder, gara-gara nama yang disandangnya ternyata bermakna buruk, nista, hina, atau jahat.







Maklumat



            Demi setia pada ejaan Bahasa Jawa yang didasarkan pada Dentawyanjana, yakni urutan-urutan huruf  ha-na-ca-ra-ka,  serta pelafalan menurut kaidah bahasa Jawa, nama-nama yang disuguhkan dalam juga ditulis dengan kaidah ha-na-ca-ra-ka . Sesuai dengan prinsip ini maka nama Suharto, misalnya,  ditulis  Suharta, sebab huruf a dalam ejaan Jawa itu diucapkan a seperti dilafalkan dalam kata enau. Sedang huruf o dalam ejaan ha-na-ca-ra-ka dibaca: o, sebagaimana bunyi o dalam kata toko.

            Sementara dalam praktek keseharian, sesuai pengaruh ejaan bahasa Indonesia, huruf  o dalam kata Suharto dilafalkan o seperti dalam kata kerbau. Berdasarkan kenyataan demikian pemakaian huruf a atau o dalam nama untuk melafalkan bunyi au seperti dalam kata enau, kerbau, dan sebagainya, diseyogyakan kepada kebijaksanaan masing-masing pribadi pencipta atau pemilik nama.

            Kata-kata dasar dipungut dari Bahasa Jawa, baik Jawa modern (yang lazim dipakai sekarang) – baik ngoko (bahasa rendahan) maupun krama (bhasa tingkat tinggi/halus), maupun Bahsa Jawa Kuno, Sansekerta  dan Bahasa Kawi. Namun, demi kemudahan – karena ulasan ini tidak dimaksudkan sebagai pengajaran bahasa, asal-usul bahasa sengaja tidak disebutkan. Ulasan ini lebih ingin menunjukkan arti dari kata-kata dasar yang dipajang, baik yang berarti baik maupun buruk, agar  pembaca yang berkepetingan untuk memungut guna dibentuk menjadi nama, dapat memungutnya dengan benar.

            Dalam Bahasa Jawa dikenal pembedaan bunyi (lafal) huruf da dengan huruf dha. Perbedaan bunyi ini berpengaruh pada perbedaan arti, seperti yang ditunjukkan oleh kata wedi ( yang berarti takut ) dengan wedhi (yang berarti pasir). Atau pada ( yang berarti kaki, atau koma) dengan padha (yang berarti sama). Demikian juga halnya dengan huruf  ta  dan huruf  tha seperti dalam kata titik (yang berarti tanda baca titik) dengan thithik /sethithik (yang berarti sedikit). Pembedaan bunyi demikian tidak dikenal dalam ejaan Bahasa Indonesia.

Maka, pada sebuah nama, pelafalan mana yang dikehendaki oleh ’si pencipta nama’ atau oleh ’si empunya nama’ diserahkan sepenuhnya pada kehendak yang bersangkutan. Nama: Dipoprasto, misalnya, boleh dilafalkan menjadi Dipaprasta atau Dipaprastha. Kebetula lafal ta dan tha dalam nama ini tidak berbeda. Sehingga tidak mengubah arti.    Namun demikian hendaknya tetap diingat bahwa tidak semua kata bisa dilafalkan dengan cara demikian. Nama Waskito, misalnya, seyogyanya dilafalkan  Waskitho , sebab nama  ini dipungut dari kata waskitha (yang bermakna: mempunyai mata batin/rohani yang tajam atau awas secara batin/rohani), sementara kata waskita  dalam Bahasa Jawa tidak ada atau tidak dikenal. Demikian pula, nama Sarwo Edi, hendaknya dilafalkan Sarwa Edi bukan Sarwa Edhi, atau Sarwo Edy, sebab kata Edhi  dan Edy dalam Bahasa Jawa juga tidak ada atau tidak dikenal.

            Dengan kata lain hendaknya senantiasa diusahakan agar pelafalan nama tetap setia pada lafal yang benar sesuai dengan lafal kata dasar yang asli, agar makna nama tidak bergeser/berubah.








A



Abang                        : merah

     karangabang        : terbakar; kebakaran; dibakar

     lemahabang         : tanah merah; lempung

     abang mbranang : merah sekali; merah menyala     



Abdi                           : abdi; hamba; sahaya

     Abdullah              : abdi Allah; hamba Tuhan à Ngabdul

     Abdul Syukur      : abdi Tuhan yang senantiasa bersyukur



Abikara                     : pegawai negeri; pamong praja



Abikusna                  : kehendak baik

     A - Cakrawardaya         

: hati yg berkehendak baik dan tajam bagaikan

  senjata cakra



Abimanyu                 : nama salah seorang anak Harjuna dalam kisah wayang



Abinawa                    : menakjubkan



Abilasa                      : hawa nafsu



Abirama                    : indah; cantik; congkak/loba



Abirupa                     : indah



Abiyasa/Abhiyasa   : latihan; berlatih (à perang)



Abra                           : bersinar; gemerlap; cemerlang

     Abrajaya              : kemenangan yg gemilang



Abu                            : ayah



Acala                          : bukit; gunung



Adhi                           : adik

     Adhimas               : adik laki-laki à Dhimas



Adi                             : indah; molek; nama windu dalam kalender Jawa

     Adibusana            : pakaian yg indah; orang yg pakaiannya indah;

                                      orang yg pandai membuat pakaian yg indah à

  perancang busana yg indah

    Adi Prakasa          : indah dan  kuat

    Adi Sarjana           : sarjana yg baik, intelektual;

  kaum terpelajar yg baik

     Adikusuma

     à Kusuma Adi    : bunga yg indah

     Adi Purnama

     àPurnama Adi   : bulan yg  indah;

  bulan purnama

     Adiwignya           : jenius; pandai sekali

     Adiningsih            : wanita yg berhati baik,  bening dan penuh kasih

     Adinugraheni       : bentuk feminim dr

  Adi Nugraha=anugerah yang indah; à

  Adi-nugraha-henià Adi Nugraheni=

  hadiah berujud pasir (maksudnya pantai) yang  indah

     (H)adiwinata       : tatatan yg indah/molek/baik;

                                      orang yg pandai menata sehingga baik

     Adiwijaya            : kemenangan yg indah/mengesankan

     adigang                 : membangakan kekuatan/kekuasaan

     adigung                 : membanggakan kebesaran/kekayaan

     adiguna                 : membanggakan kepandaian



Adilaga                      : peperangan

     Kusuma(a)dilaga: bunga peperangan; pahlawan

     Mangun(a)dilaga: membangun peperangan à membuat siasat/strategi

  perang; perencana perang (yg hebat)

     Mangkudilaga     : memangku peperangan à ahli strategi perang;

                                      ahli menyelesaikan peperangan à

  pengatur perdamaian



Adimuka                   : pemuka; pemimpin; pembesar



Adipati                      : raja; gelar bangsawan setingkat bupati

    

Adiraga                      : bersolek; berhias diri



Aditya                        : matahari; hari Minggu

     Aditya Wibawa  : matahari yg berwibawa;

Hari Minggu yg berwibawaà hari  yg lebih unggul

                                      daripada hari yg lain



Adiwignya                : pandai sekali



Adnyana                   : pengertian;  akal



Adri                            : gunung

     Jala Adri               : jala-adri Jaladri=air – gunung

      Jaladri                  : air gunung (=mata air gunung);

                                      air yg menggunungà gelombang laut; ombak; lautan

     Adriyana              : orang yg besar/tegap/gagah bagai gunung



Adya                          : indah; molek



Adyaksa                    : jaksa

     Adyaksa Suhartaka

                                    : jaksa dan bendahara



Ageng                        : besar

     Ki Ageng ...           : tetua yg besar/luhur di bidang

  kerohanian/keagamaan dari .... (biasanya disertai nama

  tempat tinggal/asal) à Ki Ageng Pengging = orang

  yg dituakan dan luhur dr  Pengging



Agni                           : api; Dewa Api

     Agni Wijayanti   : api kemenangan; obor kemenangan



Agung                        : besar; raya

     Agung Nugraha   : hadiah/karunia yg besar

     Agung Wijaya     : kemenangan besar; kejayaan

     Agung Sedayu      : Sedayu (nama desa) yg besar/terkenal;

                                      ’Si Agung’ dari desa Sedayu

     Agung Budi Susatya      

: orang yg memiliki budi besar dan tulus hati/setia

     Agung Wibawa   : wibawa yg besar; sangat besar wibawanya



Agus                           : bagus; panggilan untuk anak laki-laki

     Agus Wijaya        : anak laki-laki yg cakap dan berjaya

     Agus Wijayanta  : anak laki-laki yg cakap dan berjaya

 Agus Budi Widada : anak laki-laki yg selamat/sehat

  karena baik budinya



Ajar                            : pendeta; ajar; belajar

Ki (H)ajar..           : sebutan/panggilan takzim untuk guru

  atau pengajar/penasehat

     Nyi Ajar..              : bentuk feminim dari Ki Ajar



Aji                               : harga; nilai; raja; ratu

     Ajisaka *              : saka = tiangà tiang yg berharga à teman/sahabat à

  sahabat yg berhargaà sahabat sejati;

                                      raja/tiang penyangga utama

* nama Ajisaka diperkirakan merupakan nama
sandi/samaran dari Sultan Agung Anyakrakusuma, raja



Catatan:
Contoh kata dan ulasan selengkapnya ihwal mencipta nama selengkapnya dapat dicari dan dibaca dalam buku "Nama-Nama Penuh Makna", terbitan penerbit Lembah Manah. Buku ini diterbitkan terbatas dan tidak tersedia di toko-toko buku. Jika berminat Anda dapat memesan ke: LEMBAH MANAH, Dusun Kersan RT6 No:1, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Tlp.0274.412620; HP:0852 8997 075 (a.n.: Hendro Martono). Email:lembah_manah64@yahoo.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar