Yogyakarta
Memang Istimewa
Memang Istimewa
*
Mengenal Yogyakarta
Lebih
Jauh
Lewat
Nama-Nama Jalan dan Tempat
*
Foto-foto dan ilustrasi dikerjakan oleh:
Bingkai Fotografi
( Fotografer: Yohanes Sigit Dwi Saputro; Nikolaus Wijanarko)
<>
Prawacana
(prolog)
Hari
Selasa, 10 Oktober 2012, bagi warga Yogyakarta menjadi hari yang istimewa,
bahkan teramat istimewa. Betapa tidak? Pada hari itu berlangsung sebuah
peristiwa besar yang bakal turut mewarnai sejarah, bukan saja bagi warga Yogyakarta, melainkan juga
bagi segenap bangsa Indonesia. Pada hari itu berlangsung sebuah peristiwa besar,
yakni pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah
peristiwa historis yang memuncaki perjuangan panjang para kawula Ngayogyakarta Hadiningrat - yang tiada henti-hentinya
menyuarakan aspirasi mereka agar
keberadaan Yogyakarta, baik secara de facto maupun de iure, diakui sebagai sebuah
daerah yang memang layak menyandang predikat istimewa.
Tentu
saja bukan hanya istimewa lantaran memperoleh
previlegi politik, yang memungkinkan pengangkatan gubernur dan wakil gubernur
tidak melalui mekanisme pemilihan, tetapi melalui mekanisme penetapan,
melainkan terlebih karena memiliki latar
belakang sejarah serta budaya yang khas, tiada duanya, alias istimewa. Keistimewaan
itu dicita-citakan bisa menjadi sumbangan berharga bagi bangsa
dan negara yang juga tidak kalah istimewanya yakni Indonesia.
Sejatinya
keistimewaan Yogyakarta, sebagai sebuah entitas yang berada di tengah-tengah
entitas-entitas lain sehingga membentuk
sebuah mozaik indah tiada tara: Indoensia, sudah disandang sejak lama.
Sebutan D.I.Y. sebagai akronim dari
Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah melekat pada wilayah “bekas” Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat sejak wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX
ini menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) kala itu bukan hanya terucap secara
lisan melainkan sudah termeteraikan secara literer pada berbagai media
tulis, baik berujud surat pribadi, surat
dinas, maupun media cetak yang bersifat publik.
Lewat kata
“istimewa” yang melekat pada kata Yogyakarta kiranya ingin diungkapkan ihwal
sebuah etnis, budaya, seni, bahasa, sastra, gaya atau filosofi hidup, dan
sebagainya – yang lain daripada yang lain. Maka, kalau kemudian ada pengakuan
secara yuridis formal oleh pemerintah pusat (melalui Undang Undang Keistimewaan
Yogyakarta), sesungguhnya hal itu adalah sebuah penegasan akan apa yang
senyatanya selama ini telah hidup di
tengah-tengah warga atau masyarakat Yogyakarta. Jadi, pengakuan itu sejatinya
tidak terlalu istimewa, sebab Yogyakarta sejak semula memang sudah istimewa.
Artikel ini
terinspirasi oleh fakta-fakta historis-sosiologis semacam itu. Karenanya suguhan
yang ditampilkan jauh dari alasan-alasan atau muatan-muatan politis, melainkan semata-mata
karena pertimbangan kultural. Lewat suguhan yang ditampilkan secara literer dan
visual diharapkan pembaca dapat menarik benang merah yang menghubungkan masa
kini dengan masa lampau sembari merasakan serta menikmati keistimewaan
Yogyakarta. Sehingga, pada akhirnya, dapat berucap takjub: Sungguh! Yogyakarta Memang Istimewa.
Purwa Wacana
(pendahuluan)
Ada sebuah lirik
tembang tradisional Jawa yang hingga pada tahun enampuluhan cukup akrab di
telinga orang-orang Yogya, serta kerap dinyanyikan. Lirik tembang dalam irama
Pocung itu selengkapnya berbunyi:
Bapak Pocung, pasar Mlathi kidul Dhenggung
Kricak lor negara, pasar gedhe
loring loji
Menggok ngetan kesasar neng
Gondamanan
(terjemahan
bebas)
Bapak Pocung,
pasar Mlati terletak di sebelah selatan Denggung
Kricak berada di
sebelah utara kota,
Pasar besar
(pasar pusat) ada di sebelah utara gedung besar
Berbelok ke arah
timur tersesat (maksudnya sampai) di (jalan/kawasan) Gondamanan.
Lewat
lirik ini si penggubah tembang, dengan gaya santai dan menyenangkan, berniat mengajak orang untuk menelusuri
sudut-sudut kota atau wilayah Yogyakarta. Kalau tembang itu diajarkan kepada
seorang anak si penggubah seakan ingin memaparkan sebuah gambar imajiner ihwal
sebuah wilayah di Yogyakarta. Jika kemudian gambar imajiner itu digoreskan
dengan sebuah grip (alat tulis tempo
dulu yang berfungsi sebagai pensil), atau pensil, atau ballpoint – pada sebuah sabak (media untuk media
untuk menulis tempo dulu), atau pada selembar kertas, maka jadilah sebuah peta atau
denah. Jadi, lewat tembang itu si penggubah (yang kemudian diwakili oleh si penembang)
ingin mengajarkan ilmu bumi atau
geografi sederhana ihwal sejengkal wilayah di Yogyakarta yang seyogyanya
diketahui oleh para belia dan penduduk Yogyakarta pada umumnya.
tokoh, melainkan
Jelas kiranya
tembang yang berisi pelajaran tentang peta wilayah Yogyakarta itu tidak bakal
dimengerti atau tidak berarti bagi anak muda atau penduduk kota lain. Bagi
orang Jakarta, misalnya, tembang itu akan terasa asing, kecuali kalau dia
berasal dari Yogyakarta, atau pernah tinggal cukup lama di Yogyakarta sehingga sungguh
mengenal seluk-beluk atau liku-liku wilayah Yogyakarta.
Tidak terlalu
keliru kiranya kalau tembang berirama Pocung - salah sebuah produk
budaya/seni Jawa - ini dikatakan sebagai
salah satu hal yang membuat Yogyakarta menjadi istimewa. Bukan lantaran irama
tembangnya hebat, atau liriknya sedemikian dalam sehingga menyentuh sanubari,
melainkan semata karena kandungan isinya sungguh mengena, sungguh khas, sungguh
istimewa, manakala diterapkan bagi Yogyakarta. Hal demikian kiranya juga
berlaku bagi tembang-tembang berirama lain. Bahkan juga tembang modern berirama
kroncong bertajuk ‘Putri Mataram’ yang bertutur ihwal sosok ideal wanita
Yogyakarta berdasar kaidah-kaidah etika Jawa.
Keistimewaan
semacam itu tersebar dalam segala seluk beluk hidup warga Yogyakarta.
Keistimewaan semacam itu merasuk ke dalam berbagai aspek hidup orang Yogya atau
warga Yogyakarta antara lain dalam: filosofi, ajaran moral, tata krama atau
etiket, budaya, seni, bahasa, atau apa pun – terutama yang bercirikan
tradisional, atau mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Maka, tidak
mengherankan kalau dalam hal bahasa atau dalam hal bertutur kata, misalnya,
orang Yogya mempunyai dialek serta khazanah kata yang khas atau berbeda dengan
orang dari daerah lain. Orang Yogya, misalnya, memiliki kosa kata khas je (yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun) untuk
memberikan tekanan, atau aksen, atau nuansa bahasa yang khas; sementara orang
Sala (yang secara salah kaprah dilafalkan menjadi Solo) memiliki kosa kata khas
no, yang senada dengan je, sebagaimana orang Madura mempunyai kosa
kata senada yakni taiye.
Dalam hal busana
tradisional warga Yogyakarta mempunyai model atau gaya yang khas, alias
istimewa. Surjan, beskap, blangkon, corak
batik, keris – adalah sebagian dari busana
pria yang khas, yang berbeda dengan busana
dari daerah lain, bahkan dengan gaya Surakarta atau Sala, meski sesama kerajaan
Jawa yang mempunyai akar sejarah yang sama. Kekhasan itu juga bisa dikatakan
sebagai sebuah keistimewaan, sebab bukan hanya gaya, atau model, atau
pernik-perniknya yang khas, melainkan
juga filosofi yang melatarbelakangi gaya atau model itu. Di dunia fesyen orang
mengenal kekhasan batik Yogyakarta yang didominasi oleh corak latar putih (berlatarbelakangkan warna
putih), yang berbeda dengan batik Surakarta, batik Pekalongan, batik Lasem,
batik Banyumasan, atau batik Madura, dan
sebagainya.
Demikian juga
halnya di bidang seni. Di bidang seni tari, seni pewayangan, seni karawitan, misalnya,
orang Yogyakarta mempunyai gaya yang juga khas. Maka tidak mengherankan kalau
kemudian dikenal ada seni tari, seni pewayangan atau pedalangan, atau seni
karawitan gaya Yogyakarta – yang khas alias istimewa – yang berbeda dengan gaya
Surakarta. Kalau toh kedua daerah ini sama-sama memiliki seni panggung berujud wayang wong (wayang yang dimainkan oleh
orang, bukan orang-orangan yang terbuat dari kulit), tetap saja berbeda. Di
Yogyakarta wayang wong ini disebut langendriyan dan langen mandra wanara, dengan tampilan yang lebih menekankan dialog
dengan tembang atau dengan nada dan lirik yang puitis (semacam opera), sementara di Surakarta lebih dikenal wayang wong dengan tampilan bergaya
teatrikal modern dengan dialog-dialog yang lugas.
Keistimewaan lain
dari Yogyakarta, yang tersebar di seluruh sudut-sudut kota atau wilayah adalah nama-nama tempat (jalan,
kampung, daerah, lembaga, gedung, dll) dengan nama yang khas. Kekhasan itu
tercermin dari cara penamaan yang juga
khas. Dahulu, orang Yogya tidak memberi nama jalan atau daerah secara simbolik
sebagai kenangan, atau penghormatan, terhadap seseorang
langsung menunjuk pada seorang tokoh, atau sekelompok orang, atau fungsi/karya suatu kelompok masyarakat. Caranya, dengan memberikan imbuhan berupa
akhiran: an di belakang nama
tokoh, pekerjaan, atau sekelompok orang tersebut. Maka jadilah nama, misalnya, Gondakusuman (dari kata Gondakusuma
+ akhiran an à Gondakusuma-an à Gondakusuman) untuk
menamai suatu wilayah yang ditinggali oleh seorang bangsawan bernama
Gondakusuma beserta kerabat dan para abdi yang bekerja padanya, dan orang-orang
lain yang ngindhung atau magersari di tanah milik si bangsawan.
Atau, jadilah
nama Tukangan, (tukang
+ an à Tukangan) karena wilayah itu dihuni
atau menjadi wilayah konsentrasi para tukang. Atas inisiatif dan kebijakan raja
(Sultan) para tukang diberi tempat khusus agar mereka mudah dicari, atau agar
terjadi interaksi yang saling memberdayakan di antara mereka. Sementara itu,
kendati juga termasuk tukang, namun karena pekerjaaannya lebih spesifik,
misalnya tukang emas, ditempatkan di suatu areal tersendiri yang disebut Kemasan. (Catatan: kemasan juga bisa berarti hal ihwal seputar emas). Atau, jlagra, tukang yang bekerja membuat
peralatan dari batu, antara lain nisan, dikumpulkan di suatu lokasi yang
disebut Jlagran (Jlagra + an à Jlagran).. Sementara itu, kawasan yang dihuni
oleh mayoritas etnis Cina dinamakan Pecinan
(Pe-cina + an à Pecinan)..
Penamaan dengan
cara demikian rasanya sungguh enak, serta mengena karena mengandung nilai
historis dan sosiologis yang mendalam, serta mampu memberikan nuansa tersendiri
bagi keistimewaan Yogyakarta. Nama-nama
itu lantas terasa hidup, fungsional, serta membumi. Nama-nama itu khas dari
daerah setempat, bukan barang asing yang diusung dari luar lantas ditempelkan
sehingga terkesan imitasi.
Sesungguhnya, nama
Bidara Cina untuk menamai suatu
kawasan tertentu di Jakarta yang dihuni
oleh sekelompok etnis Tionghoa, misalnya, rasanya lebih pas, lebih kena , bagi
warga setempat, daripada apabila kawasan itu, dinamakan Jalan Diponegoro. Meski
harus diakui Pangeran Diponegoro adalah nama sosok atau figur pahlawan besar. Namun
nama Bidara
Cina, terasa lebih bermakna karena mempunyai relasi historis-sosiologis
yang kental dengan warga penghuninya.
Demikian pula halnya
dengan nama Gandhekan, di Yogyakarta,
jauh lebih pas untuk menyebut kawasan atau kampung yang dahulu dihuni oleh
utusan raja yang dalam budaya Jawa disebut gandhek/gandhik,
daripada kalau kawasan atau kampung itu dinamakan Kampung Kartini, misalnya.
Nama yang disebut terakhir ini akan terasa hambar sebab tidak ada ikatan
historis – sosiologis dengan warga kampung yang bersangkutan. Meski mereka sangat
mengagumi R.A. Kartini, sosok pahlawan nasional di bidang emansipasi itu.
Kala itu penamaan
suatu tempat, kampung atau jalan,
biasanya juga dihubungkan dengan suatu harapan, cita-cita atau tujuan yang
ingin dicapai bersama. Nama Ngayogyakarta
Hadiningrat (yang sekarang lazim dilafalkan menjadi Yogyakarta) mengandung
cita-cita semoga kerajaan atau wilayah yang dibangun oleh bangsawan yang luhur
(Hadiningrat) itu pantas (Nga- yogya) menjadi daerah yang ramai (karta) - dalam arti makmur dan sejahtera.
Sementara itu stadion utama (kala itu) dinamakan Kridhasana (diindonesiakan menjadi Kridosono) sebab merupakan
tempat (sana, sasana) bagi berlatih (kridha). Jalan yang menuju ke tempat
berlatih dinamakan Margakridhangga artinya
jalan menuju atau ke arah tempat berlatih. (Catatan: nama jalan ini sekarang
berubah menjadi Jalan Achmad Jazuli).
Menilik data-data
historis-sosiologis seperti di atas, maka sejatinya mempertahankan nama Gandhekan, Beskalan, Pajeksan, dan/atau
nama-nama jalan atau wilayah lain tempo doeloe di Yogyakarta yang khas itu,
adalah sebuah tindakan yang arif. Dan, kalau dimungkinkan, mengembalikan
nama-nama baru ke nama-nama asli/semula, adalah sungguh tepat dan terpuji. Sesungguhnya
tindakan inilah yang layak disebut
sebagai kearifan lokal yang searif-arifnya. Dengan demikian Yogyakarta menjadi
sungguh-sungguh khas, berbeda dengan kota mana pun, alias istimewa.
Nama-nama itu, yang
mencirikan Yogyakarta sehingga menjadi khas atau istimewa seakan bisa bertutur
ihwal sebuah wangsa dan masa yang sungguh mempunyai kaitan historis yang kental
Karenanya, bagi yang berminat dengan sungguh mencermatinya, kekhasan atau keistimewaan demikian pada
gilirannya akan bisa menjadi sarana pembelajaran akan masa silam yang menjadi
alas bagi masa kini dan masa depan. Dengan perkataan lain generasi kini dan
mendatang bisa tidak kehilangan akar budayanya. Kalau bangsa Jepang bangga
dengan nama-nama Hirosima, Nagasaki, dan sebagainya; serta bangsa Amerika, demi
rasa hormat terhadap bangsa pribumi, tetap memakai nama-nama seperti Minesota,
Utah, Iowa, Oklahoma – dan sebagainya, yang dipungut dari budaya Indian, adalah sudah
pada tempatnya kalau warga Yogyakarta juga bangga dengan nama-nama lokal seperti
Klitren, Beskalan, Ketandhan, Bausasran,
Bintaran, Gondamanan, dan sebagainya. Nama-nama lokal itu sejatinya sungguh
berakar pada sejarah serta tata kehidupan masyarakat yang konkret, dan
karenanya sungguh tidak kalah bermakna dengan nama-nama baru yang pada umumnya
diciptakan dengan pertimbangan-pertimbangan politis sesaat atas dasar kebijakan
rezim yang berkuasa.
Dilatarbelakangi
oleh semangat mencintai serta bangga atas budaya lokal semacam itulah mengapa artikel ini dihadirkan. Bagi para kalangan tua semoga bisa menjadi semacam sarana
bernostalgia. Sementara, bagi kalangan muda, mudah-mudahan bisa menjadi sarana
pembelajaran akan sejarah masa silam serta bisa memetik nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Untuk tujuan-tujuan itu tulisan ini sengaja ditampilkan
tidak semata dalam wujud literer – yang pada umumnya terkesan berat atau
melelahkan, namun dipadu dengan suguhan visual yang memadai, sehingga terkesan
menghibur. Semoga bermanfaat.
Catatan:
1. Bapak Pocung = kata ini sebenarnya tidak bisa diterjemahkan. Kata ini biasa digunakan untuk menggantikan sebuah istilah, atau untuk menggantikan subyek yang dipersoalkan, atau dirahasiakan untuk ditebak, atau untuk dijelaskan. Kira-kira sepadan dengan kata ‘anu’
2. loji = sebutan untuk menyebut bangunan besar berdinding tembok, yang bagus, yang umumnya
ditinggali oleh orang Belanda atau bangsawan. Sementara rumah-rumah penduduk pada waktu itu
pada umumnya berdinding gedheg (anyman bambu) atau papan, atau ‘kotangan’ (setengag tembok setengah papan/gedheg). Di dalam tembang ini kata ‘loji’ digunakan untuk menyebut Benteng Vredeberg, tempat tinggal para prajurit Belanda. Benteng ini terletak di sebelah Timur Laut perempatan jalan Titik Nol Kota Yogyakarta (sampai sekarang benteng ini masih ada). Dari perempatan ini jika berjalan ke arah timur orang akan sampai di jalan atau wilayah yang disebut Gondamanan (sekarang: Jl. Brigjen Katamso).
3. Desa Mlati dan Desa Denggung, yang terletak di utara kota Yogyakarta, sampai sekarang masih ada Kata ‘negara’ , dulu, oleh orang-orang yang tinggal di desa, biasa digunakan untuk menyebut kota atau kraton, atau pusat kerajaan. Kata ‘negara’ biasa dilawankan dengan kata ‘desa’, sehingga muncul istilah ‘wong negara’ atau ‘orang kota’ – yang berkonotasi: baik, maju, modern, dsb dengan istilah ‘wong desa’ – ‘orang desa’ - yang berkonotasi: buruk, ketinggalan, dan kuno.
Kraton
Yogyakarta
Tatkala
membicarakan ihwal Kota Yogyakarta kita tidak bisa membicarakannya tanpa
menyebut atau membicarakan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang lazim
disebut Kraton Yogyakarta. Sebab, bukan
hanya karena kata Yogyakarta berasal dari nama kerajaan ini, melainkan terlebih
karena kraton merupakan jiwa atau roh dari segenap hal yang dihidupi oleh rakyat
Yogyakarta. Kraton Yogyakarta merupakan sebuah titik pangkal, mata air, atau benih bagi lahirnya sebuah
kota, sebuah propinsi, atau sebuah entitas yang bernama Yogyakarta.
Kraton
bukan sekadar tempat tinggal raja dan keluarganya, serta pusat pemerintahan
(dahulu), melainkan adalah jantung serta
nafas kehidupan bagi segenap kawula
Ngayogyakarta Hadiningrat – yang mengakui raja bukan hanya selaku kepala pemerintahan,
melainkan terlebih sebagai payung (songsong
agung) bagi segenap rakyat yang diyakini mampu memberikan perlindungan
(dari tindak ketidakadilan) serta keteduhan hati (dari berbagai keresahan dan ketidakpastian
hidup), serta sebagai panutan.
Kraton
adalah pusat budaya – yang mengejawantah dalam bentuk berbagai seni, antara
lain seni tari, seni musik (tembang, karawitan, dll), seni panggung (wayang
kulit, wayang orang, dll), bahasa, dan lain-lain. Kraton juga menjadi kiblat
dalam banyak hal, baik yang bersifat material - seperti busana atau fesyen, makanan
atau kuliner, arsitektur, dll, maupun yang bersifat spiritual - semisal etika,
nilai-nilai moral, atau tata krama, serta filosofi hidup dan tradisi-tradisi yang
berkenaan dengan daur hidup.
Ungkapan
“Adoh ratu cedhak watu” , yang secara
harfiah berarti: jauh dari raja, dekat dengan batu, misalnya, bermakna sebagai
sebuah pengakuan dengan nada merendah atau rendah hati, bahwa orang yang
tinggal di desa (dekat batu atau dekat gunung) itu memiliki tata krama yang
lebih rendah atau kurang tepat jika dibandingkan dengan orang yang tinggal atau
berada di dekat raja alias di kota atau di dekat pusat nilai-nilai hidup atau
etika. Ungkapan ini juga bisa dimaknai sebagai sebuah pengandaian bahwa orang yang
tinggal dekat raja, atau dekat dengan nilai-nilai budaya, selayaknyalah kalau
mempunyai sikap batin/rohani (antara lain pemikiran, budi pekerti, dll) dan
sikap jasmani (antara lain tata krama, unggah-ungguh,
etiket, dll) yang lebih terpuji dibandingkan dengan orang yang tinggal dekat
batu/gunung alias di desa yang jauh dari nilai-nilai budaya. Intinya, ungkapan
tersebut mau mengatakan bahwa dalam hal nilai, baik secara spiritual maupun
secara material, bagi warga Yogyakarta kraton merupakan kiblat.
Ihwal
tradisi yang berkenaan dengan daur hidup, upacara perkawinan tradisional,
misalnya, mulai dari pernik-pernik perlengkapan atau ubarampe sampai dengan tata laksana upacara yang berlaku di kraton, juga menjadi kiblat
atau pola yang diikuti oleh segenap warga Yogyakarta. Meski, dengan berbagai
macam pertimbangan, dilakukan penyesuaian atau penyederhanaan di sana sini. Berdasarkan
fakta-fakta semacam itulah maka seyogyanya paparan ihwal keistimewaan
Yogyakarta dimulai dari kraton.
Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang dalam perkembangan sejarahnya menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta (dalam keseharian lazim diucapkan Yogyakarta), semula adalah sebuah
kerajaan. Kerajaan ini didirikan sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti (13
Februari 1755) – yang menyepakati untuk memecah kerajaan Mataram menjadi dua,
yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Surakarta) dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan/Sunan
Pakubuwono II, dinobatkan sebagai raja
pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga
Abdulrahman Sayidin Panatagama ingkang Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta
Hadiningrat.
(fotoà repro dari lukisan: Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwana
I,
Hamengkubuwana II, III, IV, V, Vi,
VII, VIII, IX, X. Ã sebisa
mungkin à foto dari
lukisan Hamengkubuwana
Logo: Ha-Ba
Setelah
dinobatkan sebagai raja dengan wilayah kekuasaan meliputi, antara lain:
Bagelen, Bumigede, Kedu, Yogyakarta, Ponjong, Sukawati, Bajanegara, Cirebon,
Grobogan, Kartasura, Kuwu, Madiun, Magetan, Majakerta, Ngawi, Pacitan, Sela, Tulungagung dan Wanasari,
Pangeran Mangkubumi lantas membangun kraton sebagai tempat tinggal raja dan
keluarga, serta pusat pemerintahannya. Dengan
perhitungan yang masak dan cermat, berdasarkan pertimbangan letak dan kontur
tanah, dipilihnya daerah yang strategis
serta aman dari bahaya banjir. Untuk tujuan itu dia melaksanakan babad alas (membuka hutan) yang terletak
di daerah Bering. Alas atau daerah ini terletak di antara dua sungai besar: Winanga dan Code. Dalam tata ruang yang dirancangnya di daerah
bekas alas Bering itu kelak dibangun sebuah pusat perekonomian, sebuah
pasar, yang kemudian – merujuk pada nama asal
daerah itu - diberi nama Beringharja, artinya: (alas) Bering
yang ramai atau yang memberi kesejahteraan atau kemakmuran bagi banyak orang. Sementara
itu keraton (dalam bahasa Jawa juga disebut
kedhaton), sebagai pusat pemerintahan
dan tempat tingggal raja dan keluarganya dibangun sekitar seribu meter di
selatan bekas alas Bering.
Pasar Beringharjo
Tata
ruang yang dirancang oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana
I, juga didasarkan pada filosofi keblat papat lima pancer. Menurut
filosofi ini kraton atau pusat pemerintahan terletak di tengah, sebagai titik
pusat, yang dikelilingi oleh empat penjuru mata angin yang direpresentasikan
oleh gunung (utara, mewakili unsur pertanian), pasar (timur, mewakili unsur perekonomian), laut (selatan,
mewakili unsur perdagangan), serta masjid (barat, mewakili unsur kerohanian).
Filosofi
keblat papat lima pancer juga
diterapkan dalam organisasi pemerintahan. Raja, sebagai pemegang kekuasaan pusat,
dibantu oleh empat orang bupati yang berkedudukan di empat penjuru mata
angin, yakni: utara (Bupati Sleman),
timur (Bupati Wonosari), selatan (Bupati Bantul), serta barat (Bupati Kulon
Progo).
Selain
mendasarkan pada filosofi keblat papat
lima pancer dalam mendesain pusat kerajaannya Pangeran Mangkubumi tidak
sekadar memperhitungkan unsur-unsur matematis dengan memasukkan parameter yang
bersifat fisik-material, seperti: lansekap, kontur, jenis tanah, dan sebagainya,
melainkan juga mempertimbangkan unsur-unsur non fisik-spiritual.
Dalam pemikiran dan penghayatannya sebagai orang Jawa – yang dikenal memiliki
kepekaan batin yang mendalam - kraton bukanlah bangunan yang berdiri sendiri,
terlepas dari hal-hal yang ada di
sekitarnya. Kraton berada di dan oleh hal-hal yang melingkupinya, baik secara
fisik-material maupun secara non fisik-spiritual. Itulah sebabnya Pangeran
Mangkubumi meletakkan kraton yang dibangunnya berada di antara dua unsur alam,
yakni: Gunung Merapi (utara) dan Samudera Hindia (selatan) – yang diyakini
memiliki kekuatan, baik secara
fisik-metarial maupun secara non fisik-spiritual - yang teramat besar. Dengan
menempatkan kraton di antara dua kekuatan besar ini seakan dia berharap agar
kraton mendapatkan tuah atau berkah (ngalap
berkah) dari kekuatan gaib yang dimiliki oleh dua unsur alam ini.
Pemikiran
dan penghayatan ini diaplikasikan dengan cara menempatkan kraton berada
pada satu garis imajiner lurus dengan
kedua unsur alam tersebut. Jika ditarik dengan garis tampak bahwa : Tugu, Pangurakan, Alun-Alun Lor, Pagelaran, Sitinggil (utara),
Kraton Dalam, Sitinggil (selatan), Plengkung Gading, dan Krapyak, berada pada
satu garis lurus. Dan, ujung dari kedua
garis lurus itu adalah Gunung Merapi (utara) serta Samudera Hindia atau Segara Kidul (selatan). Sementara itu Pasar Gedhe Beringharjo,
representasi kegiatan fisik (ekonomi) berada di sebelah timur garis, dan masjid,
representasi kegiatan non fisik (rohani, spiritual) berada di sebelah barat
garis.
(ilustrasi denah kraton yang berada
pada satu garis lurus dengan Gunung
Merapi – Laut Selatan)
- Gunung Merapi,
- Jalan Mangkubumi/Malioboro/Pasar Beringharjo/Titik Nol/Pangurakan/Alun-alun Lor/Pagelaran
- Alun-alun Kidul/Ringin Kurung Kidul/Plengkung Gadhing
- Krapyak
Menurut
kosmologi Jawa jagad (alam) ini terbagi atas tiga bagian, yakni jagad dhuwur (alam atas), jagad
tengah (alam tengah) dan jagad ngisor
(alam bawah). Alam atas dihuni oleh
paraa dewa, alam tengah dihuni oleh
manusia, sedang alam bawah dihuni oleh kekuatan atau roh jahat. Masing-masing
alam terbagi lagi menjadi tiga bagian sehingga jika dijumlah semuanya menjadi
tujuh bagian, tiga bagian atas, satu
bagian tengah dan tiga bagian bawah. Seturut konsep kosmologi Jawa ini Pangeran
Mangkubumi merancang komplek kraton atas
tujuh bagian. Bagian-bagian itu, dimulai dari depan ke belakang, adalah:
1. Alun-alun
Lor, mulai dari Pangurakan/Pamurakan sampai ke Sitingggil
Lor;
2.
Keben atau Kemandhungan Lor;
3.
Sri Manganti –( ketiganya
merepresentasikan jagad dhuwur atau
alam atas);
4.
Kedhaton atau Pusat Kraton –
merepresentasikan jagad tengah/madya atau
alam tengah;
5. Kemagangan;
6.
Kemandhungan Kidul;
7.
Alun-alun Kidul, dari Sitinggil
Kidul sampai ke Plengkung Gadhing – (ke tiga bagian
yang disebut belakangan ini merepresentasikan jagad ngisor atau alam bawah).
(ilustrasi bagian-bagian kraton
berdasarkan kosmologi Jawa)
Selain itu
Pangeran Mangkubumi juga merancang kraton berdasarkan prinsip konsentrik, yakni
dari kraton – sebagai titik pusat
melebar ke luar, sehinggga kraton dan
lingkungannya bagaikan kawasan yang berlapis-lapis. Semua ada lima lapisan. Ke
lima lapisan itu adalah:
1. Lapisan
kelima, lapisan terluar, terdiri dari: Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di
Alun-alun Lor terdapat bangunan, antara lain: Mesjid Gedhe, Pekapalan, Pagelaran dan Pasar Gedhe. Ke empatnya membentuk
satu kesatuan yang lazim disebut Catur Gatra Tunggal (empat bentuk atau empat bangunan yang
menyatu). Sementara itu di Alun-alun Kidul terdapat kandhang gajah. Bangunan
lain yang termasuk lapisan terluar adalah kepatihan (sebagai sekretariat atau sarana birokrasi),
serta beteng (sebagai sarana pertahanan yang mengitari seluruh bagian
kraton). Untuk masuk ke kraton ada sembilan pintu masuk atau gerbang, yakni: Gerbang Pamurakan
(depan), Gerbang Brajanala, Gerbang Srimanganti,
Gerbang Danapradapa, Gerbang Kemagangan, Gerbang Gadhung Mlathi, Gerbang Kemandhungan, Gerbang Gadhing, dan Gerbang Tarub Agung.
Sementara itu
pada benteng yang mengelilingi kraton terdapat lima pintu yang disebut
Plengkung, yaitu:
Plengkung Gadhing/Nirbaya (Selatan),
Plengkung Wijilan/Tarunasura (Timur Laut),
Plengkung Madyasura (Timur), yang juga disebut Plengkung Buntet,
Plengkung Jagabaya (Barat Daya), dan
Plengkung Jagasura (Barat)
2. Lapisan
keempat terdiri atas Sitinggil Lor dan Sitinggil
Kidul.
Di Sitinggil Lor terdapat Bangsal
Witana dan Bangsal Manguntur Tangkil, yang biasa digunakan
sebagai tempat untuk menyelenggarakan upacara kenegaraan. Sedang Sitinggil
Kidul digunakan sebagai tempat untuk melihat latihan para prajurit yang
dilaksanaakan di Alun-alun Kidul.
Masing-masing Sitinggil dikelilingi oleh jalan yang disebut Supit
Urang atau Pamengkang.
3.
Lapisan ketiga berupa Plataran Kemandhungan Lor
dan Plataran
Kemandhungan Kidul. Kawasan ini merupakan area transisi untuk menuju ke
pusat kraton. Di Plataran Kemandhungan Lor terdapat Bangsal Pancaniti – yang
digunakan oleh sultan untuk mengadili perkara khusus yang ditangani raja. Kedua
plataran ini juga berfungsi sebagai area para abdi dalem (abdi raja)
untuk menghadap raja.
4. Lapisan
kedua terdiri atas: Plataran Sri Manganti - dengan Bangsal Sri Manganti,
sebagai ruang tunggu untuk menghadap
raja, dan Bangsal Trajumas. Di lapisan kedua ini juga terdapat Plataran
Kemagangan dengan Bangsal Kemagangan.
5.
Lapisan pusat atau terdalam adalah Kedhaton yang terdiri
atas Tratag, Pendhapa
dan Pringgitan
Dalem
(Ilustrasi
berdasarkan prinsip konsentrik)
Foto-foto:
- Pintu masuk ke pusat kraton; arca di kiri kanan pintu masuk; Tratag; Pendhapa, Pringgitan Dalem;
- Plataran Sri Manganti à Bangsal Sri Manganti; Bangsal Trajumas; Plataran Kemagangan à Bangsal Kemagangan
- Plataran Kemandhungan; Bangsal Pancaniti;
- Sitinggil; Bangsal Witana; Bangsal Manguntur Tangkil; Ã upacara kenegaraan; pemandangaan dilihat dari (jendela/pintu) Sitingggil Kidul (melihat latihan prajurit); Supit Urang/Pamengkang
- Kepatihan; Pekapalan; Masjid Besar; Kandhang Gajah
Salah sebuah bastion yang masih tersisa. Bangunan yang merupakan sepotong tembok benteng yang terletak di barat-laut kraton merupakan satu dari tiga bastion yang masih ada.
Pada benteng Kraton Yogyakarta terdapat lima pintu gerbang yang terletak di timur (gerbang Madyasura), Timur-laut (gerbang Taunasura atau lazim disebut Pelngkung Wijilan), barat (gerbang telah hancur. Pintu gerbang yang terletak di bagian selatan, gerbang Nirbaya, atau yang lazim disebut Plengkung Gading, merupakan satu-satunya pintu gerbang yang masih tersisa.
Nama-Nama nan
Istimewa
Tugu Pal Putih
Bangunan
yang berstatus sebagai monumen ini dibangun sekitar tahun 1755-1756 pada masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwana I, pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Monumen yang berbentuk tiang bulat-panjang (gilig) dengan batu bundar (golong) di atasnya – sehinggga disebut tugu Golong Gilig – berada di
tengah-tengah sebuah perempatan yang menghubungkan keempat tempat penting. Ke
empat tempat yang amat bermakna bagi kraton Yogyakarta itu, menganut filosofi keblat
papat lima pancer, mewakili empat
penjuru mata angin.
Bangunan
tugu yang berujud golong-gilig
mengandung makna sebagai: ‘tekad yang kokoh-teguh-kuat’ rakyat Yogyakarta untuk
membangun-memelihara-mempertahankan wilayahnya. Juga, sebagai lambang
‘menyatunya raja dengan rakyat’ yang lazim diungkapkan dengan semboyan Manungggaling kawula Gusti.
Dari tugu ini dibuatlah
jalan lurus ke utara menuju ke Gunung Merapi lewat bukit Turgo. Gunung
Merapi, dalam filosofi Jawa, dipercaya mempunyai kekuatan besar, baik secara
gaib maupun secara sekular, yang mempengaruhi kehidupan rakyat Yogyakarta.
Gunung Merapi diyakini, baik secara spiritual maupun secara material, menjadi
sumber kehidupan, menjadi berkat, bagi warga Yogyakarta. Karenanya layak
kiranya kalau Gunung Merapi diperlakukan dengan takzim. Untuk itu dipandang
perlu sultan mengangkat seorang juru
kunci. Seorang juru kunci bukan sekadar sebagai karyawan penjaga gunung –
yang bertugas untuk mengingatkan penduduk agar tidak merusak lingkungan,
melainkan terlebih sebagai ‘abdi dalem’ yang
bertugas sebagai pemegang kekuasaan
spiritual. Kepadanya dibebankan tugas memimpin upacara/ritual labuhan yang diselengggarakan oleh raja pada
waktu-waktu tertentu, antara lain hari tingalan
dalem (hari kelahiran raja), atau hari jumenengan
(hari ulang tahun raja naik takhta). Sebagai penghargaan dari raja seorang si
juru kunci diberi pangkat (antara lain bekel,
atau lurah) serta nama khusus yang berkenaan
dengan tugas yang diembannya, yakni: Suraksa
Harga, artinya: penjaga gunung yang baik. Beberapa waktu yang lalu, sebelum
Gunung Merapi meletus pada 27 Mei 2006 jabatan sebagai juru kunci Gunung Merapi
diemban oleh Mbah Marijan.
Ke selatan ada
jalan lurus menuju istana. Jalan lurus
ini berhenti di Alun-Alun Lor dan Pagelaran, kemudian disambung keluar dari
Alun-Alun Kidul luruh menuju ke Segara
Kidul atau Laut Selatan melalui Panggung
Krapyak.
Sebagaimana halnya dengan Gunung
Merapi yang diyakini memiliki kekuatan gaib, demikian pula Laut Selatan. Namun,
sedikit berbeda dengan Gunung Merapi yang lebih banyak dipercaya memberikan
berkat, Laut Selatan justru lebih banyak dipercaya memiliki kekuatan yang
bernuansa buruk atau memberikan malapetaka. Tidak mengherankan kalau di kawasan
-yang secara mitologis dipercaya sebagai kerajaan yang diperintah oleh Kanjeng
Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) –
ditemui banyak larangan atau tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar oleh
mereka yang berkunjung ke sana. Intinya sebenarnya sama, yakni Laut Selatan
juga harus diperlakukan dengan takzim, namun bukan dengan anjuran melainkan
dengan larangan-larangan, sehingga segi magis atau kegaiban semakin kuat. Untuk
itu Sultan juga mengangkat seorang abdi
dalem yang bertindak sebagai juru kunci. Dia juga diberi pangkat dan nama
yang setara dengan abdi dalem juru
kunci Gunung Merapi yang tugasnya tidak jauh berbeda dengan juru kunci Gunung
Merapi.
Dari perempatan
tugu Golong Gilig ini ada dua jalan
lagi, yang satu ke arah timur, yang satunya lagi ke arah barat. Ke arah timur
jalan dari perempataan tugu Golong Gilig
itu lurus (maksudnya asal tidak beralih jalan) sampai di depan Pagelaran kraton
Surakarta. Sementara, ke barat, jalan
dari perempatan tugu itu menuju ke perbukitan Menoreh, tempat kerajaan Mataram
kuno dahulu berdiri. Lewat keberadaan dua jalan ini sepertinya Pangeran
Mangkubumi ingin menegaskan sekaligus mengakui
asal mula takhta yang didudukinya.
Ke arah timur ada
sepenggal jalan yang bernama Gondalayu,
artinya: bau kematian. Tentu saja nama yang bisa membuat orang merinding ini
menimbulkan pertanyaan: apa maksudnya? Selidik punya selidik, ternyata jalan
dari perempatan Tugu ke arah timur menuju ke Kraton Surakarta, selain
dimaksudkan sebagai sarana transportasi dan komunikasi antara kedua kraton,
Yogyakarta dengan Surakarta, juga dirancang sebagai jalan bagi iring-iringan
jenazah manakala ada raja atau kerabat raja Surakarta yang wafat. Iring-iringan
jenazah yang bakal menuju ke komplek makam raja-raja Mataram ini melewati penggalan
jalan di timur tugu. Itulah alasannya mengapa jalan itu dinamakan Gondalayu, bau kematian. Namun, dengan
dalih untuk memberikan penghormatan kepada salah seorang pahlawan bangsa, yang
pernah berkiprah di Yogyakaarta dan sekitarnya, jalan Gondalayu
* sekarang berubah menjadi Jalan Jendral Sudirman.
Karena jarak
dari Surakarta ke Yogyakarta cukup jauh, sekitar 75KM, di tengah perjalanan
iring-iringan jenazah perlu beristirahat sejenak. Ada satu tempat yang dijadikan semacam pangkalan
tetap untuk beritirahat, atau untuk nggantung
laku. Tempat itu, di sebelah barat kota Klaten, ditumbuhi oleh sebuah pohon
bendha yang besar. Di tempat inilah iring-iringan jenazah beristirahat
sejenak untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke Imagiri lewat Yogyakarta. Tempat pohon bendha yang digunakan untuk nggantung
laku, yang terletak di tepi barat kota Klaten, ini disebut Bendha Gantungan.
Sayang sekali
ujud tugu Golong Gilig yang aslinya
setinggi 25 meter itu sekarang tidak lagi bisa disaksikan. Pada 10 Juni 1867 gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan
sekitarnya merobohkan tugu yang bersejarah ini, serta meratakannya dengan
tanah. Untuk waktu yang cukup lama
perempatan bekas tugu dibiarkan kosong. Pada zaman pemerintahan Sultan
Hamengkubuwana VII oleh Pemerintah
Hindia Belanda dibangunlah tugu baru sebagaimana ujudnya sekarang yang diberi
nama De
Witt Paal atau Tugu Pal Putih (karena warnanya yang
serba putih). Sayang sekali, kendati secara arsitektural tetap bergaya Jawa,
serta mengandung nilai-nilai atau filosofi Jawa – dengan simbol-simbol yang
melekat padanya, tugu baru setinggi 15 meter ini bukan lagi hasil karya cipta
warga Yogyakarta, melainkan karya orang Belanda. Perancangnya seorang Belanda
bernama JWSW van Brussel, pegawai pada Opzichter van Waterstaat (sekarang Dinas
Pekerjaan Umum/DPU). Tidak mengherankan kalau pada bagian prasasti justru
tercantum beberapa nama orang Belanda yang turut terlibat dalam renovasi tugu yang berbentuk persegi ini. Bahkan ada simbol yang yang oleh
sementara orang dianggap kontroversial yakni: bintang Daud. Simbol ini diduga
muncul karena pada zaman itu tengah berkembang sebuah gerakan ‘Mason Merdeka’ –
yang memberi angin bagi tumbuhnya kesadaran akan kebebasan. Kecuali Sultan
Hamengku Buwono VIII, beberapa tokoh lain seperti: RAS Soemitro Kolopaking
Poerbonegoro, Paku Alam VIII, RMAA Tjokroadikoesoemo, dr Radjiman
Wedyodiningrat, serta beberapa pengurus Boedi Oetomo - konon terbilang sebagai pengikut gerakan ini.
Terlepas dari
semua anggapan kotroversial itu bagaimana pun tugu baru, Tugu Pal Putih, yang menggantikan tugu Golong Gilig yang telah
sirna itu - sekarang sudah menjadi salah satu ikon yang kuat bagi kota
Yogyakarta. Keberadaannya cukup fenomenal. Bahkan bagi orang-orang tertentu,
orang luar yang pernah tinggal di Yogyakarta, keberadaan Tugu ini menggoreskan kenangan emosional yang cukup mendalam. Bagi mereka dan
masyarakat Yogyakarta pada umumnya berlaku kaidah: Yogyakarta tanpa Tugu,
ibarat sayur tanpa garam. Hambar!
Tugu, sebagaimana ujudnya sekarang, merupakan hasil renovasi atas tugu serupa buatan Belanda.
Renovasi terakhir dilaksanakan pada 18 Desember 2012.
Renovasi terakhir dilaksanakan pada 18 Desember 2012.
- Tugu Golong Gilig (skets)
- Tugu Pal Putih (asli buatan Belanda)
Margautama
Margautama. Marga berarti jalan; utama artinya uatama, bisa berarti secara harfiah: "jalan utama", mainstreet, yakni jalan besar yang memiliki cabang jalan-jalan kecil. Atau, jalan yang paling besar dibandingkan dengan jalan-jalan lain di suatu daerah/kota. Namun juga bisa berarti secara filosofis sebagai "jalan keutamaan". Maknanya, jalan yang diharapkan mampu mengingatkan orang, khususnya warga Yogyakarta, agar sepanjang hidup senantiasa berjalan di jalan keutamaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan, serta mengarahkan diri ke keutamaan, agar dengan demikian layak dijuluki sebagai insan utama. Jalan ini membujur ke arah utara-selatan sepanjang sekitar 1000 meter dari Tugu Pal Putih sampai palang kereta api yang lazim disebut teteg sepur. Jalan ini sempat berubah nama menjadi Jalan Pangeran Mangkubumi untuk mengenang pendiri Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Di tepi sebelah timur jalan ini terdapat kantor redaksi Kedaulatan Rakyat - sebuah surat kabar harian yang terbit pada zaman kemerdekaan, serta bekas hotel TUGU - yang pada zaman kolonial dikenal sebagai tempat berkumpulnya kaum elite.
Maliabara
Dari sekian jalan yang ada di Yogyakarta Maliabara (Malioboro) merupakan jalan yang paling terkenal. Nama jalan yang panjangnya hanya sekitar 500 meter membujur dari arah utara ke selatan, dari teteg sepur sampai di perempatan selatan kepatihan, ini bahkan bukan hanya menjadi buah tutur di tataran nasional melainkan juga sampai ke mancanegara. Kalau orang berkunjung ke Yogyakarta rasanya belum merasa sreg di hati kalau belum menjejakkan kaki di Maliabara. Mengapa demikian? Tidak begitu jelas. Barangkali tidak bakal ada orang yang bisa menjelaskannya dengan gamblang dan memuaskan, apalagi penjelasan yang ilmiah akademis. Barangkali, karena Jalan Maliabara menjadi sentra bisnis, terlebih bisnis batik dan kerajinan khas Yogya. Apapun penjelasannya, yang pasti, (jalan) Maliabara harus diakui mempunyai daya magnet yang kuat bagi setiap orang yang datang di Yogyakarta. Itu faktanya.
Apa makna nama Maliabara (Malioboro), dan bagaimana sejarahnya sehinga nama ini bisa menjadi sedemikian melegenda? Ada beberapa pakar bahasa dan sejarah yang mencoba menjawab serta menguraikannya, sehingga muncul beberapa versi.
a. Versi Pertama:
Menurut versi ini Maliabara dipungut dari kata: "Malika Bara". Kata ini adalah aba-aba yang diucapkan oleh seorang komandan kesatuan militer (bregada) yang ditujukan kepada anak buahnya agar mereka bersiap diri atau mengangkat senjata. Kira-kira senada dengan aba-aba pada kesatuan militer zaman sekarang: "Siap.....grak!", atau "Angkat senjata...grak!".
b. Versi kedua:
Menurut pakar bahasa nama Maliabara (Malioboro) berasal dari Bahasa Sansekerta, yang berarti untaian atau rangkaian bunga. Konon dahulu, tatkala keraton menyelenggarakan perhelatan besar (berkenaan dengan upacara perkawinan salah seorang putra raja, atau tatkala diselenggarakan penobatan raja) sepanjang jalan ini dihias dengan rangkaian bunga. Karena satu-satunya jalan yang dihias dengan bunga-bunga yang wangi dan mempesona, tak pelak kalau jalan ini menjadi ajang tumpah ruahnya warga Yogyakarta. Hari-hari perhelatan semacam itu menjadi momen yang sangat dinanti-nanti oleh segenap warga yang amat respek terhadap raja mereka. Tradisi semacam ini rupa-rupanya berlanjut sampai sekarang. Pada hari-hari tertentu seperti: Hari Jadi kota Yogyakarta, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), perkawinan agung kerabat kraton, dan sebagainya, Jalan Maliabara tidak pernah tidak menjadi ajang warga kota untuk melampiaskan antusiasme terhadap kota mereka.
c. Versi ketiga:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata Maliabara (Malioboro) berasal dari nama seorang jenderal Inggris, Marlborough, yang pernah tinggal di Yogyakarta. Namun tidak sedikit yang menyangkal pendapat ini. Sebab, menurut data sejarah, nama Maliabara (Malioboro) konon sudah ada sebelum pengede pasukan Inggris yang berhasil menjebol benteng kraton sebelah timur-laut dan tenggara.
Apa makna nama Maliabara (Malioboro), dan bagaimana sejarahnya sehinga nama ini bisa menjadi sedemikian melegenda? Ada beberapa pakar bahasa dan sejarah yang mencoba menjawab serta menguraikannya, sehingga muncul beberapa versi.
a. Versi Pertama:
Menurut versi ini Maliabara dipungut dari kata: "Malika Bara". Kata ini adalah aba-aba yang diucapkan oleh seorang komandan kesatuan militer (bregada) yang ditujukan kepada anak buahnya agar mereka bersiap diri atau mengangkat senjata. Kira-kira senada dengan aba-aba pada kesatuan militer zaman sekarang: "Siap.....grak!", atau "Angkat senjata...grak!".
b. Versi kedua:
Menurut pakar bahasa nama Maliabara (Malioboro) berasal dari Bahasa Sansekerta, yang berarti untaian atau rangkaian bunga. Konon dahulu, tatkala keraton menyelenggarakan perhelatan besar (berkenaan dengan upacara perkawinan salah seorang putra raja, atau tatkala diselenggarakan penobatan raja) sepanjang jalan ini dihias dengan rangkaian bunga. Karena satu-satunya jalan yang dihias dengan bunga-bunga yang wangi dan mempesona, tak pelak kalau jalan ini menjadi ajang tumpah ruahnya warga Yogyakarta. Hari-hari perhelatan semacam itu menjadi momen yang sangat dinanti-nanti oleh segenap warga yang amat respek terhadap raja mereka. Tradisi semacam ini rupa-rupanya berlanjut sampai sekarang. Pada hari-hari tertentu seperti: Hari Jadi kota Yogyakarta, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), perkawinan agung kerabat kraton, dan sebagainya, Jalan Maliabara tidak pernah tidak menjadi ajang warga kota untuk melampiaskan antusiasme terhadap kota mereka.
c. Versi ketiga:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata Maliabara (Malioboro) berasal dari nama seorang jenderal Inggris, Marlborough, yang pernah tinggal di Yogyakarta. Namun tidak sedikit yang menyangkal pendapat ini. Sebab, menurut data sejarah, nama Maliabara (Malioboro) konon sudah ada sebelum pengede pasukan Inggris yang berhasil menjebol benteng kraton sebelah timur-laut dan tenggara.
Margamulya
Margamulya berarti "jalan mulia". Maknanya, sebuah petuah, nasehat atau ajaran agar dalam menjalani hidup seseorang hendaknya lebih mengutamakan atau mengejar kemuliaan, yakni hidup yang terpuji karena perilaku yang baik. Jalan yang membujur arah utara-selatan, kelanjutan dari Jalan Maliabara ini, dari perempatan selatan kepatihan sampai titik nol kilometer, karena kondisi politik sesaat, pernah diganti namanya menjadi Jalan Ahmad Yani. Beberapa bangunan cagar budaya berada di tepi kanan-kiri jalan ini, antara lain: Pasar Beringharja, gereja kristen GPIB, sebuah menara sirene, sebuah jam listrik kuno zaman kolonial Belanda - yang hingga kini masih berfungsi, benteng Vredeburg, serta Gedung Agung.
Benteng Vrede atau Vredeburg
Dengan dalih demi menjaga keamanan - meski sebenarnya dimaksudkan untuk mengawasi dan memata-matai keraton, pemerintah kolonial Belanda, yang diwakili oleh Nicolaas Harting, meminta Sultang Hamenku Buwana I membangunkan sebuah benteng. Memenuhi permintaan ini pada 1760 Sultan HB I membangun sebuah komplek di sebelah utara, di luar tembok keraton. Semula komplek yang dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dan diperkuat oleh tiang-tiang bambu dan glugu (kayu pohon kelapa). Bangunan-bangunan di dalamnya yang berfungsi sebagai barak militer terbuat dari kayu. bambu dan beratapkan ilalang. Sebagaimana benteng pada umumnya di keempat sisi benteng ini terdapat gardu jaga atau bastion. Gardu-gardu jaga ini diberi nama: Jaya Wisesa, Jaya Purusa, Jaya Prakosaningprang dan Jaya Prayitna.
Pamurakan atau Pangurakan
Dengan dalih demi menjaga keamanan - meski sebenarnya dimaksudkan untuk mengawasi dan memata-matai keraton, pemerintah kolonial Belanda, yang diwakili oleh Nicolaas Harting, meminta Sultang Hamenku Buwana I membangunkan sebuah benteng. Memenuhi permintaan ini pada 1760 Sultan HB I membangun sebuah komplek di sebelah utara, di luar tembok keraton. Semula komplek yang dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dan diperkuat oleh tiang-tiang bambu dan glugu (kayu pohon kelapa). Bangunan-bangunan di dalamnya yang berfungsi sebagai barak militer terbuat dari kayu. bambu dan beratapkan ilalang. Sebagaimana benteng pada umumnya di keempat sisi benteng ini terdapat gardu jaga atau bastion. Gardu-gardu jaga ini diberi nama: Jaya Wisesa, Jaya Purusa, Jaya Prakosaningprang dan Jaya Prayitna.
Pamurakan atau Pangurakan
Pada
zaman kerajaan dahulu lazim ada tradisi berburu. Untuk mempraktekkan kemahiran
memanah dan menombak serta menatar keberanian, para pangeran dan prajurit, pada
waktu-waktu tertentu menyelenggarakan perburuan. Mereka berburu di hutan-hutan
sekitar istana yang umumnya masih cukup lebat serta dihuni oleh banyak binatang
buas.
Setelah
seharian berburu sore harinya mereka pulang. Sampai di ujung jalan yang menuju
ke Alun-Alun Lor, di sekitar pintu gerbang utama, hasil perburuan itu mereka purak
(dipotong-potong untuk dibagikan). Tempat untuk murak (memotong-motong hewan hasil buruan) itu disebut Pamurakan
atau Pangurakan. Tempat
ini, sepenggal jalan mulai dari titik nol ke selatan sampai ujung utara
Alun-Alun Lor, sekarang berganti nama
menjadi Jalan Trikora. Nama Jalan Trikora digunakan untuk mengenang
peristiwa bersejarah yakni saat Bung Karno, presiden pertama RI, berpidato di Alun-Alun Utara Yogyakarta mengumandangkan instruksi bagi seluruh rakyat
Indonesia yang lazim disebut Trikora (Tri Komando Rakyat).
Pamurakan
adalah jalan utama-depan untuk masuk
ke kraton. Di jalan ini terdapat gerbang utama kraton, yakni Gerbang Pamurakan, yang ditandai oleh dua pilar
di kiri kanan jalan. Gerbang utama ini, manakala Pemda Yogyaakarta
menyelenggaarakan Pekan Raya Sekaten, dijadikaan pintu masuk utama ke area pekan raya yang diselenggarakan
setahun sekali di Alun-Alun Lor.
Foto:
-
Gerbang Alun-Alun Lor (dari arah titik nol)
-
tampak kedua pilar kiri-kanan, dll
Stasiun Tugu
Meskipun
bukan yang pertama, stasiun kereta api
Tugu boleh dibilang merupakan satu dari sekian stasiun kereta api
tertua di Indoensia. ( sezaman dengan
stasiun Kelijen dan Tanggung - 10 Agustus 1967; stasiun Lempuyangan - 1872; dan stasiun Solo
Balapan - 1870); Sebagaimana halnya dengan stasiun-stasiun kereta api yang
lain, stasiun yang dioperasikan pertama kali pada 2 Mei 1887, ini dibangun
untuk menunjang kepentingan pemerintah Belanda, yakni demi lancarnya pengiriman
hasil bumi, terutama gula, dari Yogyakarta (dan Jawa Tengah) ke negeri Belanda,
khususnya, dan Eropa, pada umumnya. Terlepas dari motivasi tak terpuji di balik pembangunan stasiun
bergaya kolonial modern
dengan cirri art deco-nya yang kental
ini - yang hanya menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, stasiun kereta
api yang telah berusia sekitar 125 tahun ini sekarang menjadi salah satu bangunan
warisan sejarah kebanggaan warga Yogyakarta. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya
yang panjang stasiun kereta api ini juga memiliki andil yang pantas dicatat
dengan tinta emas. Stasiun kereta api ini pernah menjadi ajang sejarah
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yakni saat menyambut kedatangan kereta api yang mengangkut pemimpin bangsa,
Soekarno dan Hatta, tatkala mereka meninggalkan Jakarta menuju ke ibukota yang
baru yakni Yogyakarta. Karena menjadi ajang peristiwa besar ini satsiun Kereta
api Tugu dijuluki sebagai Stasiun ‘Boyong Praja’.
Bukan
itu saja, stasiun kereta api yang juga mengadopsi arsitektur lokal berupa
bangunan berbentuk joglo pada salah bagiannya, ini juga menorehkan peristiwa
manis dalam sejarah perjuangan bangsa. Peristiwa manis itu terekam dalam lagu nan merdu ‘Sepasang Mata
Bola’ karya Ismail Marzuki yang melegenda. Di stasiun kereta api ini pula
pernah berseliweran gerbong penumpang kayu bertuliskan semboyan heroik ‘Hidup
Ataoe Mati’.
Stasiun
kereta api yang dioperasikan pertama kali oleh Staats
Spoorwegen (SS) ini diberi nama STASIUN TUGU. Jelas, nama ini diadopsi dari
bangunan tugu sebagai monumen Kraton Yogyakarta yang berada tidak jauh dari tempat
stasiun kereta api ini. Dahulu stasiun Tugu mempunyai dua percabangan, yakni ke
Bantul- Palbapang (ke selatan) dan ke Magelang-Parakan (ke utara). Sayang,
seiring perkembangan zaman, ke dua percabangan ini justru tidak berkembang.
Sebaliknya, dengan berbagai pertimbangan ekonomis, ke dua jalur yang pernah
berjasa sebagai sarana transportasi bagi pelajar, karyawan dan pedagang yang
berniat mengadu nasib di kota, terpaksa ditutup karena tidak mampu bersaing
dengan moda transportasi lain yakni sepeda motor dan bus yang semakin mudah
didapat dan semakin banyak jumlahnya. Apa boleh buat kiprah sepoer
troethoek atau sepoer kluthoek – julukan
untuk sarana transportasi rakyat yang populer kala itu - pada sekitar tahun 1960-an harus
berakhir. Dengan ikhlas dia harus pergi untuk selamanya sembari membawa
kenangan istimewa dari para penumpang yang pernah menikmati jasanya. Seiring dengan kepergiannya ungkapan
‘ireng-ireng nek sepur, akeh sing
ngenteni’* pun lenyap sudah. Generasi sekarang juga tidak lagi mengenal
tebak-tebakan yang terekam dalam tembang Pocung: berikut ini:
Bapak Pocung, dudu mega dudu mendhung **
Dawa
kaya ula ancik-ancik wesi miring
Lunga teka si pocung ngumbar suwara.
Namun, untuk
melayani penumpang yang bepergian ke arah barat (Jakarta, dll), serta ke timur
(Surabaya, dll), Stasiun Tugu masih
berperan aktif hingga sekarang. Bahkan boleh dibilang sebagai stasiun kereta
api paling aktif untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan.
Catatan:
(*) terjemahan
bebas:
hitam-hitam lokomotiv,
hitam-hitam lokomotiv,
meskipun
legam tetapi banyak yang menanti.
Ungkapan
ini, dengan nada menghibur, ditujukan kepada seorang gadis yang berkulit hitam manis
agar dia tetap percaya diri. Meskipun kulitnya hitam si penghibur meyakinkan
kepada si gadis bahwa akan tetap banyak jejaka yang menghampirinya, bagaikan
lokomotiv (lokomotiv zaman dulu, yang digerakkan dengan mesin uap, ujudnya hitam legam karena terbuat dari baja tanpa dicat) , meskipun hitam legam, tetap ditunggu oleh banyak orang (calon penumpang).
(**) terjemahan bebas:
Bapak Pocung (maksudnya si anu – benda yang harus ditebak)
bukan awan bukan mendung
Bapak Pocung (maksudnya si anu – benda yang harus ditebak)
bukan awan bukan mendung
Panjang bagai ular, berdiri di atas
besi baja miring
Manakala pergi atau datang (si anu)
selalu bersuara (maksudnya
membunyikan isyarat/tanda)
membunyikan isyarat/tanda)
Jawaban dari tebakan ini adalah: kereta
api, yang dalam bahasa Jawa disebut sepur
(dari Bahasa Belanda spoor)
-
Foto loko yang dimuseumkan;
Stasiun TUGU
Hotel Tugu
-
Hotel tertua (?), nama asli?
-
Sirene
-
Lambang gengsi tinggi kaum elite tempo dulu
Hotel Tugu sebagaimana ujudnya
sekarang.
Hotel Tugu merupakan hotel tua yang turut mengisi sejarah kota Yogyakarta.
Pada zamannya hotel ini tergolong tempat bkumpulnya kaum elite.
Bangunan yang tergolong warisan budaya ini sekarang tidak lagi berfungsi sebagai hotel.
Ciri khas bangunan ini adalah sbuah sirene yang bertengger di salah satu puncak gedung.
Pada zaman perang kemerdekaan sirene ini berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada warga kota manakala ada serangan dari Belanda.
Hotel Tugu merupakan hotel tua yang turut mengisi sejarah kota Yogyakarta.
Pada zamannya hotel ini tergolong tempat bkumpulnya kaum elite.
Bangunan yang tergolong warisan budaya ini sekarang tidak lagi berfungsi sebagai hotel.
Ciri khas bangunan ini adalah sbuah sirene yang bertengger di salah satu puncak gedung.
Pada zaman perang kemerdekaan sirene ini berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada warga kota manakala ada serangan dari Belanda.
Kleringan
Kewek alias
Kerkweg
Sekarang
bernama Jalan Abubakar Ali. Ini nama resmi dan tertulis dalam peta Yogyakarta
sebagai ganti nama Jalan Margakridhangga yang mungkin didengar
terasa amat lokal. Tetapi, bagi penduduk di sekitar jalan ini, terlebih
generasi tua, ada nama lain yang lebih lokal lagi, atau tepatnya lebih membumi,
yakni Kewek. Bagi yang belum mahfum barangkali dikira jalan ini
sebagai area untuk kiprah gadis-gadis yang genit. Sebab kewek dalam bahasa Jawa berarti genit atau seksi.
Bukan
itu. Kewek adalah pelafalan oleh
lidah Jawa dari kata Kerkweg (Belanda)
yang berarti ‘jalan gereja’, karena di ujung jalan ini terdapat sebuah gereja yakni
Gereja Katolik Santo Antonius yang lazim disebut Gereja Kotabaru. Bagi orang
yang tinggal di ‘kota lama’, yakni Malioboro dan sekitarnya, yang akan menuju
ke gereja ini, mereka harus melewati jalan ini serta menyebrangi sebuah
jembatan yang di berada ujung lain jalan ini. Dengan lafal Jawa yang kental
jembatan ini lantas disebut Kreteg Kewek. Maksudnya jembatan di
jalan (ke/menuju) gereja. Pelafalan demikian, kata-kata dari Bahasa Belanda
yang diucapkan oleh lidah awam Jawa sehingga terbentuk kata baru, juga
terjadi terhadap beberapa jalan atau tempat lain di Yogyakarta, misalnya: Kerkop
(dari kata kerk hof yang
berarti komplek pemakanan, untuk menyebut kuburan Belanda yang sebagian telah
dibongkar dan sekarang dijadikan kawasan hiburan Pura Wisata), mBebel
(dari kata , Kleringan, Kemetiran, mBeji, Pathuk, dll.
Foto:
-
Jembatatan di dekat tugu Adi Pura, sebelah selatan
jembatan KA;
-
Bule/ Romo berjalan ke arah G. Kotabaru (?)
-
Lain-lain.
Pathuk
Beji --> dilafalkan: mBeji
Gemblakan
Orang Jawa
mempunyai perbendaharaan kata yang lengkap untuk menyebut profesi atau
pekerjaan seseorang. Tempat tinggal atau kampung yang dihuni oleh sebagian
besar orang yang berprofesi sama, misalnya tukang,
disebut Tukangan. Untuk membentuk
nama tempat tinggal atau kampung mereka tingggal
menambahkan imbuhan (akhiran) an. Serta, menurut kaidah pembentukan kata, kalau perlu,
menambahkan awalan ka/ke atau pa/pe, seturut tata bahasa. Jadilah, misalnya: Patehan
(pa-teh-an), yang berarti tempat tinggal para juru teh alias orang yang tugasnya
membuat minuman teh untuk disajikan kepada raja, kerabat raja serta orang-orang yang bekerja
di lingkungan kraton atau untuk para
tamu dalam suatu helatan kerajaan..
Sementara
itu para gemblak, yakni orang-orang
yang berprofesi sebagai juru atau tukang membuat atau berbisnis barang-barang kerajinan serta perlengkapan rumah
tangga yang berbahan dasar kuningan, tinggal di kampung yang disebut Gemblakan. Kampung ini terletak di sebelah selatan kampung Tukangan. Sekarang nama Gemblakan tidak lagi lazim disebut, sebab sebagian besar penduduk kampung ini tidak lagi berprofesi sebagai gemblak. Satu-satunya yang yang masih
tersisa adalah Firma Gandi, pengusaha yang berisnis alat-alat penimbang yang
bandul penimbangnya terbuat dari kuningan.
Catatan:
Jalan Gemblakan sekarang berganti nama menjadi Jalan Mas
Suharto. Nama ini didedikasikan sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Mas
Suharto - yang dikenal sebagai orang yang berjasa bagi berdirinya sebuah
lembaga yang bergerak di bidang pos dan telekomunikasi.
Pengok
Orang
Jawa, demikian juga Bahasa Jawa, memiliki kelenturan yang luar. Dari benda,
baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, dari suasana hati atau
suasana sekitar, dari warna, dari bunyi, dan lain-lain, bisa terbentuk kata
baru yang diterima oleh banyak orang sebagai sebuah nama yang sahih.
Nama Pengok,
misalnya. Kata ‘pengok’ yang digunakan sebagai nama bagi kawasan yang
terletak di sebelah timur-laut stasiun kereta api Lempuyangan ini – ternyata
tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Jawa
atau Bahusastra Basa Jawa. Selidik punya selidik, konon nama Pengok terbentuk dari kata mbengok yang berarti berteriak.
Di kawasan ini
terdapat sebuah bengkel besar kereta
api. Karyawannya sudah barang tentu banyak sekali. Ratusan, bahkan bisa jadi
ribuan orang. Bengkel besar ini mempunyai sebuah sirene besar yang berperan
sebagai penanda jam kerja, kapan karyawan harus memulai kerja, kapan
beristirahat, dan kapan mereka harus mengakhiri pekerjaan alias pulang. Pada jam-jam itulah sirene besar yang
bersuara keras – sehingga suaranya terdengar di area sekitarnya - dibunyikan. Sedemikian
kerasnya suara sirene itu sampai-sampai
orang di sekitar tempat itu mengatakan bahwa sirene itu sedang ‘berteriak’
alias mbengok. Dari kata mbengok
atau pambengok (alat yang mengeluarkan suara keras) inilah
mengapa kawasan ini dinamakan Pengok.
Namun, tidak
sedikit orang yang tidak sependapat dengan argumen demikian, serta mengatakan
bahwa telaah demikian hanyalah berdasar ilmu othak athik gathuk. Sayangnya, mereka pun tidak bisa menjelaskan dari
mana kata Pengok berasal. Jadi, mana yang benar? Keduanya sama-sama tidak bisa
menyodorkan argumen historis-filosofis untuk mendukung pendapatnya. Faktanya nama Pengok
telah terlanjur melekat dalam hati warga Yogyakarta. Meski sepenggal jalan yang
menuju ke Bengkel Yasa sempat diganti dengan nama Jalan Koesbini, sebagai
penghormatan terhadap Koesbini - seorang pakar musik yang berjasa besar dalam
dunia pendidikan musik di Indonesia, tetap saja sebutan Pengok meluncur dari
mulut-mulut ‘warga pribumi’ Yogyakarta.
Foto:
-
bengkel yasa KA
-
kawasan yang teduh oleh pohon kenari
-
nama Jalan Koesbini
Klitren
Sekitar
dua kilometer di sebelah timur stasiun Tugu terdapat stasiun Lempuyangan.
Stasiun yang lebih tua dibanding dengan stasiun Tugu ini sejak semula memang dirancang
sebagai stasiun barang. Di stasiun inilah barang-barang dari dan ke kota
Yogyakarta dimuat dan dibongkar. Untuk menunjang kegiatan bongkar-muat barang
di sekitar stasiun dibangunlah banyak gudang penyimpanan barang, baik milik
perusahaan kereta api, maupun milik kongsi dagang tertentu. Karena fungsinya yang
demikian ini stasiun Lempuyangan menjadi stasiun yang sibuk. Kegiatan
bongkar-muat barang yang dilakukan bukan
saja membuat stasiun Lempuyangan menjadi ramai, melainkan juga membuka peluang
bagi banyak orang untuk mendapatkan nafkah dengan bekerja sebagai buruh angkut.
Orang
Belanda menyebut para buruh angkut ini koeli
train, maksudnya buruh angkut kereta api. Lama-lama sebutan koeli train ini melekat erat serta
seakan menjadi semacam nama suatu profesi. Barangkali, demi pertimbangan
efisiensi waktu, tenaga dan keuangan, para buruh angkut, para koeli
train , ini umumnya lantas mencari tempat tinggal yang tidak jauh dari
gudang-gudang atau dari stasiun Lempuyangan, tempat mereka bekerja. Kebetulan
di sebelaj timur stasiun Lempuyangan terdapat kampung. Di kampung inilah para
buruh angkut itu berdiam serta membentuk sebuah komunitas, komunitas para koeli train.
Sebutan koeli train lama kelamaan bergeser tidak
hanya digunakan untuk menyebut para buruh angkut, melainkan juga kampung di
mana mereka tinggal. Kampung yang mereka huni dalam lafal sehari-hari disebut
sebagai Kampung Koeli Train. Lagi-lagi,
entah karena tergesa-gesa, atau karena ketidakmampuan mengucapkan kata-kata Belanda
dengan fasih, nama Koeli Train,,,,,,
Koelitrain..., oleh lidah orang Jawa lantas menjadi Klitren.
Foto|
-
buruh angkut barang di gudang/gerbong
-
dll?
Pasar Kembang
Orang
yang dengan seksama menyimak nama jalan ini, khususnya wisatawan, barangkali
akan bertanya-tanya: mana pasar yang menjual
bunga? Sepertinya tidak ada. Lantas mengapa dinamakan Jalan Pasar
Kembang? Pertanyaan bernada penasaran itu memang benar. Di tepi atau kawasan
jalan ini tidak ada pasar bunga. Tetapi, itu sekarang. Dahulu, sampai dengan
tahun 1970-an, di atas tanah yang sekarang menjadi Hotel Batik (? CEK!), memang benar ada pasar. Pasar bunga
alias pasar kembang.
Komoditas utama
yang dijual adalah bunga, baik bunga tabur untuk ziarah, maupun bunga segar
untuk krans dan buket. Sejak tahun 1980-an, demi penataan kawasan, pasar kios-kios
bunga segar direlokasi ke utara Hotel Garuda (sekarang menjadi lahan parlir bus
wisatawan), sementara kios yang berjualan bunga ziarah masih tetap tinggal. Seiring dengan penataan kawasan
berikutnya kios-kios bunga segar pun direlokasi lagi dan dipindahkan ke Jalan
Amad Zajuli, sebelah timur Kali Code,
hingga sekarang. Tidak lama kemudian pasar bunga ziarah pun tergusur, karena
lahan tempat pasar itu berada diminta kembali oleh keluarga pemilik tanah, dan di atasnya
dibangun Hotel Batik Palace (sekarang menjadi Hotel ..... )
Sementara
itu, apa pun yang terjadi, jalan yang terlanjur fenomenal itu tetap menyandang
nama: Jalan Pasar Kembang. Sayang, nama yang punya sejarah panjang
ini, sekarang keraps
diplesetkan menjadi Sarkem, kependekan dari Pa-sarkem-bang, namun
berkonotasi negatif.
Meski bukan menjadi nama resmi
kawasan yang kini bertebaran hotel, losmen dan penginapan ini dahulu juga
sering disebut Balokan. Nama ini
berarti tempat atau areal tumpukan balok
atau gelodongan kayu jati utuh. Kayu jati gelodongan ini ditumpuk di sebelah
selatan statisun Tugu setelah diturunkan dari kereta api. Sayang, nama yang
semestinya netral itu, kareena di areal ini kerap dijadikan sebagai media
traksaksi seks, nama Balokan juga
berkonotasi negatif. Beruntung, seiring dengan penataan dan pemanfaatan Stasiun
Tugu menjadi stasiun penumpang, sehingga penumpukan balok-balok jati tidak lagi
dilakukan di tempat ini, nama Balokan pun
hilang ditelan perubahan zaman.
Foto:
Papan nama Jl. PasarKembang.
Kepatihan Danurejan
Menganut
pola konsentrik kepatihan berada pada lingkaran terluar. Berdasarkan pola ini
agaknya Pangeran Mangkubumi berniat menempatkan kepatihan (tempat tinggal
patih, bukan wilayah yang dikepalai oleh patih) sebagai sebuah sekretariat atau
sebagai prasarana birokrasi dan
administrasi. Sepertinya Pangeran Mangkubumi ingin memisahkan segala urusan
kerajaan/kenegaraan dengan urusan yang bersifat privat atau keluarga.
Patih atau pepatih dalem terakhir yang
diangkat oleh Sultan Hamengkubuwana ... adalah .... Danureja. Itulah sebabnya kediaman dan kawasan tempat
tingggalnya dinamakan Kepatihan Danurejan. Kawasan ini
sekarang menjadi Kecamatan Danurejan, sedang komplek tempat tinggalnya
dijadikan Komplek Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kendati sudah
tidak ada lagi jabatan patih, atau komplek
ini sudah tidak ditinggali oleh seorang patih,
namun kawasan yang terletak di tepi Jalan Malioboro ini sampai sekarang masih
menyandang sebutan kepatihan, bukan
gubernuran. Padahal sehari-hari Sultan Hamengku Buwono X, sebagai Gubernur
Propinsi Daerah Istimaewa Yogyakarta, berkantor di sini.
Pintu gerbang komplek kepatihan (tempat tinggal patih, wakil raja). Sekarang menjadi pusat pemerintahan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bangsal kepatihan
Gandhekan
Dalam
mengurus banyal hal ihwal kerajaannya seorang raja tidak harus melakukannya
sendiri. Banyak pejabat kerajaan yang menjadi kepanjangan tangannya. Demikian
juga dalam hal menyampaikan sesuatu hal atau barang kepada raja lain atau rekan
sekerja dari kerajaan lain. Demikian pula halnya dengan sultan. Untuk hal-hal
demikian sultan bisa mengutus seseorang yang memang memangku jabatan sebagai
duta, sebagai utusan raja atau sebagai gandhek. Dia pasti bukan sembarang orang
yang asal mau dan bisa diutus, melainkan seorang yang sungguh mumpuni (ahli dan menguasasi benar)
dalam hal bahasa, tutur kata, serta tata krama. Sebab apa yang dia laksanakan
adalah membawakan diri dari oraang yang mengutusnya, yakni seorang raja.
Sebagaimana
halnya abdi dalem yang mendapatkan tempat
tinggal khusus, seorang gandhek juga
mendapatkan tempat tinggal khusus, semacam ‘rumah dinas’. Karena jabatananya
itu tempat tinggal dan kawasan tinggalnya dinamakan Gandhekan, artinya tempat tinggal utusan raja. Di Yogyakarta,
karena pernah ada dua orang gandhek, maka
ada dua kampung yang menyandang nama Gandhekan,
yakni Gandhekan Lor dan Gandhekan Kidul.
Foto:
Rumah gandhek (?)
Pajeksan
Dalam
sistem monarki kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif berada dalam satu tangan yaitu raja (atau apa
pun sebutannya: kaisar, sultan, sunan,
ratu, atau pangeran). Kalau toh ada
orang yang bertugas atau menjabat di
bidang perundang-undangan, atau di bidang peradilan, mereka sekadar sebagai
pemberi bantuan berupa masukan atau nasehat bagi raja agar keputusan yang akan
diambil raja sungguh tepat dan bijaksana.
Di
kraton Yogyakarta ada pengageng yang
memberikan pertimbangan kepada sultan dalam hal membuat dan melaksanakan paugeran
(undang-undang), baik yang berlaku bagi kerabat kraton (khususnya dalam hal
suksesi), maupun yang berlaku bagi segenap kawula
(rakyat).
Di
bidang peradilan ada pejabat yang disebut jeksa.
Sebagaimana halnya pejabat kerajaan lain dia tingggal di kawasan khusus.
Kawasan atau kampung tempat tinggalnya dinamakan Pajeksan.
Foto:
- Rumah bekas jeksa (lacak!)
Beskalan
Beskal? --> Beskalan.
Ketandhan
Kesadaran
bahwa negara hanya bisa hidup atau menjalankan fungsinya dengan baik manakala
didukung oleh warganya lewat pajak yang dibayarkan rupanya sudah ada sejak
zaman kerajaan dulu. Hanya sistem dan ujud pajaknya saja yang berbeda. Setiap
negara mempunyai petugas khusus di bidang ini. Demikian pula halnya dengan
Yogyakarta yang kala itu berstatus sebagai kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di
Yogyakarta pejabat yang bertugas mengurus dan/atau menarik pajak disebut tandha. Tugas
sebagai pengurus atau penarik pajak, sebagai tandha, biasanya bisa diketahui dari nama yang disandangnya,
misalnya: Tandharaharja, (artinya petugas pajak yang makmur atau
sejahtera), Tandhamiharja (petugas
pajak yang berharap bisa selamat atau sejahtera), atau Tandhawinata (artinya petugas penata pajak), Tandhawijaya (petugas pajak
yang sukses atau berhasil menjalankan tugasnya), dan sebagainya. Nama-nama ini umumnya merupakan peparing dalem, maksudnya pemberian dari
sultan pada saat yang bersangkutan diangkat/dilantik sebagai tandha. Nama yang diberikan oleh sultan
itu sebagai semacam pengukuhan agar diketahui umum, sebab tugas yang dijabatnya
berkenaan dengan uang rakyat.
Tempat
tinggal petugas pajak, tandha,
dinamaakan Ketandhan. Kawasan ini sekarang berubah menjadi kawasan pertokoan
emas atau kemasan. (bukan nama, melainkan sebutan yang biasa digunakan dalam
percakapan sehari-hari di antara orang-orang yang sering berhubungan dengan
bisnis emas). Sebutan lain untuk kawasan ini adalah Pecinan, karena sebagian
besar warga yang tinggal di kawasan ini adalah keluarga dari etnis Cina.
Beberapa bangunan berarsitektur khas Cina yang berada di kawasan ini dilindungi
oleh undang-undang dan dinyatakan sebagai cagar budaya.
Gandhekan, Pajeksan,
Ketandhan, Beskalan ,
dahulu boleh dibilang sebagai kawasan
elit karena berada dekat dengan pusat pemerintahan kerajaan, yaitu Kepatihan
Danurejan.
Foto:
- Komplek pertokoan emas di
Ketandhan.
- Kegiatan orang yang bertransaksi
emas di komplek ini.
- Rumah bekas tandha (lacak!);
- Rumah Cina yang dilindungi sebagai
cagar budaya.
Kumetiran/Kemetiran
Badran
Jlagran à jlagra= pengrajin
barang-barang dari batu
Beringharjo
Beringharjo. Artinya alas (hutan) atau kawasan (yang bernama)
Bering, yang dicita-citakan menjadi
sejahtera atau membuat orang di sekitarnya menjadi sejahtera, menjadi harjo atau rejo. Harapan itu ternyata
sungguh terlaksana. Kawasan bekas hutan
itu benar-benar tumbuh menjadi kawasan
atau bahkan pusat bisnis bagi warga Yogyakarta dengan sebutan Pasar
Gedhe Beringharjo. Kendati bermunculan pasar-pasar modern berlebel mal atau
super market kawasan bisnis yang dikategorikan pasar tradisional ini hingga
kini tetap memancarkan pamornya. Banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, yang tetap menjadikan pasar Beringharjo sebagai salah satu titik
tujuan wisatanya. Agaknya, nuansa ketradisonalan pasar yang dibangun pada
...... oleh arsitek ................. tidak bakal bisa ditemui di mana pun,
apalagi di pasar-pasar modern. Aroma filosofis-sosiologis-kulturalnya yang terasa
kental, antara lain dengan terjadinya komunikasi yang humanis di antara pembeli
dan penjual - membuat orang merasa
tidak mudah untuk melupakannya. Meski
harus berjubel tetap
saja orang dengan senang hati mau datang ke Beringharjo.
Pasar Beringharjo.
Gedung Agung
Gedung Agung
Titik Nol Kilometer
Tempat
istimewa, atau fenomenal lain di Yogyakarta, adalah titik temu empat jalan
utama di Yogyakarta, yakni: Jalan Kyai Ahmad Dahlan (dulu Ngabeyan), Jalan
Trikora (dulu Pamurakan), Jalan Pangeran Senopati (dulu Setjadiningratan), dan
Jalan Margamulya. Di tengah-tengah perempatan jalan ini terdapat titik imajiner yang lazim disebut Titik
Nol Kilometer. Dari titik inilah jarak tempat/kota dari Yogyakarta
diukur.
Titik
Nol Kilometer menjadi istimewa
bukan saja karena dikelilingi oleh bangunan-bangunan bersejarah – yang tentu
saja istimewa, seperti: gedung kuno Bank Indonesia, gedung kuno Kantor Pos,
gedung kuno Bank BNI, Monumen Serangan Oemoem Satoe Maret, serta Benteng Vrede
(Vredeburg), melainkan karena tempat
ini sedemikian strategis sehingga kerap sekali digunakan untuk menggelar
demonstrasi atau helatan
seni (misalnya: performance art) oleh pihak mana pun. Sepertinya tradisi pepe yang dahulu dilakukaan di
tengah-tengah Alun-Alun Lor telah bermetamorfose menjadi demo berpanas-panas
(yang juga berarti pepe) di tengah-tengah perempatan jalan.
Substansinya sama, yakni agar apa
yang diekspresikan bisa dilihat – bukan saja oleh raja, atau pejabat kraton,
tetapi oleh segenap warga masyarakat
Yogyakarta - bahkan oleh seluruh warga dunia, sebab ulah para demonstran ini
pasti tidak luput dari liputan para awak media.
Sebelum tampak dalam ujudnya
sekarang Titik Nol Kilometer pernah
berujud bunderan dengan air mancur. Karenanya dahulu orang menyebut kawasan
ini dengan nama Bunderan atau Air Mancur. Demi
pertimbangan agar arus kendaraan yang melewati perempatan besar ini bisa
berjalan lancar bunderan yang pernah
melegenda itu dibongkar. Jadilah Titik
Nol Kilometer dalam ujudnya seperti sekarang.
Foto:
-
Orang berdiri tegak tetat di titik nol membawa bendera
Merah Putih (diperagakan oleh model);
-
Demonstrasi di titik nol
-
Atau kegiatan lain (?)
Alun-Alun Lor
Secara
garis besar susunan (lay out atau tata
letak) rumah orang Jawa umumnya terdiri atas: halaman depan (plataran) dengan regol (pintu gerbang), ruang tamu (pendhapa), ruang induk (dalem),
ruang belakang (pengkeran), dan
halaman belakang (kebonan).
Variasinya bermacam-macam tergantung tingkat sosial-ekonomi yang bersangkutan. Pada
umumnya semakin tinggi tingkat sosial-ekonomi seseorang semakin besar dan
lengkap pula rumahnya.
Alun-Alun
Lor, adalah plataran atau halaman
depan kraton atau rumah raja. Tempat
ini, sebagaimana plataran pada
umumnya, berfungsi sebagai ajang berbagai kegiatan yang berkenaan dengan agenda
atau kalender kegiatan kraton, antara lain: Grebeg,
baik Grebeg Mulud atau Sekaten, maupun Grebeg Kurban; serta kegiatan lain bernuansa keagamaan atau
tardisional yang bersifat publik. Seturut perkembangan jaman tanah lapang
seluas sekitar 4 sampai 6 hektar ini biasa digunakan untuk ajang berolah raga,
upacara kenegaraan, maupun kegiatan promosi atau pameran.
Ada
hal yang menarik ihwal plataran kraton yang disebut Alun-Alun
Lor ini. Selain sebagai pra sarana bagi raja untuk menyebarluaskan titah
ternyata tempat ini juga bisa digunakan oleh kawula (rakyat) untuk menyampaikan aspirasinya kepada raja dengan pepe. Tradisi yang boleh dibilang merupakan benih
demokrasi ini dilakukan dengan cara duduk bersila berpanas-panas di tengah alun-alun. Dengan cara demikian
orang yang melakukan pepe berharap dilihat oleh abdi dalem kemudian disampaikan kepada raja. Lantas, tatkala sang
raja menghampirinya, dia dapat menyampaikan ihwal tuntutan atau aspirasinya. Terlepas
apakah raja berkenan mengabulkan aspirasinya atau tidak, pepe agaknya bisa dibilang
sebagai model demonstrasi damai a la Yogyakarta, yang intinya tidak jauh
berbeda dengan orasi. Sebuah orasi sunyi, sesuai karakter orang Jawa yang ora seneng rame (tidak suka ramai –
dalam arti tidak suka bertengkar)..
Foto:
Orang berpakaian tradisional Jawa –
sedang pepe di tengah-tengah alun-alun (back ground: pagelaran)
Jalan Ibu Ruswa
Dari
Gerbang ....... (sebelah timur Alun-Alun Lor) ke arah timur, terdapat nama
jalan yang ‘tidak lazim’. Dikatakan ‘tidak lazim’, pertama, karena ruas jalan
ini kira-kira hanya sepanjang seratus
meter. Kedua, menggunakan nama seorang ibu/wanita yang tidak populer atau tidak tercatat dalam sejarah nasional,
sebagaimana pahlawan wanita pada umumnya. Namun, bagi sultan, dan warga yang tingggal di sekitar jalan ini, nama Ibu
Ruswa
sangat berarti. Dia adalah seorang ibu yang merelakan rumahnya dijadikan dapur
umum bagi para gerilyawan. Andil besar yang tak tercatat dalam sejarah
Indonesia ini patut kiranya dihargai. Untuk
mengenang dan mematerikan jasa besar
Ibu Ruswa itulah sultan Hamengku Buwana .... berkenan mengabadikannya
menjadi nama jalan yang terletak tidak jauh dari rumahnya yang terletak di kawasan Yudanegaran.
Foto:
-
Papan nama jalan
-
Foto Ibu Ruswa (telusuri
lewat keluarga/tetangga, kalau mungkin)
Wijilan
Tidak jauh dari Jalan Ibu Ruswa terdapat bangunan
kokoh berbentuk lorong yang melengkung. Karena bentuknya yang melengkung itulah
maka bangunan kokoh ini disebut plengkung. Plengkung merupakan
pintu keluar-masuk dari dan ke dalam beteng.
Karena terletak
di Jalan Wijilan, maka plengkung ini
dinamakan Plengkung Wijilan, yang
berarti: bangunan melengkung untuk keluar. Wijil,
dari kata Mijil, berarti keluar.
Dikatakan sebagai ‘pintu keluar’, agaknya karena Sultan kerap menggunakan plengkung ini tatkala keluar dari
kraton. Barangkali demi efisiensi, karena jalannya lebih memintas, atau karena
harus keluar dengan cara sesidheman (sembunyi-sembunyi
demi keamanan).
Plengkung Wijilan dahulu dijaga
oleh prajurit-prajurit muda yang gagah berani. Itulah sebabnya bangunan yang
dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwana I, yang relatif masih utuh ini juga
dinamakan Plengkung Tarunasura. Kawasan yang - dahulu barangkali dikenal sebagai daerah
sangar, karena dijaga prajurit-prajurit yang tegap – bagai korps ‘baret merah’,
sekarang berubah menjadi kawasan kuliner khas Yogyakarta, gudheg, yang nyaman dan memesona.
Plengkung Wijilan
Sana Budaya
Di
sebelah barat Pamurakan (Jalan Trikora) terdapat sebuah museum. Museum yang
didirikan pada tahun ..... oleh ......
ini , sesuai namanya: Sana Budaya, artinya:
tempat (benda) budaya, dimaksudkan lebih sebagai tempat menyimpan benda-benda
budaya khas Yogyakarta yang bernilai
tinggi. Dari benda-benda budaya yang tersimpan di museum ini orang bisa
melacak sebagian masa silam Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Foto:
Museum Sana Budaya (dari luar,
detil-detil dalam, etc)
Gerjen (?)
Ringin Kurung
Alun-Alun
Lor dikelilingi oleh tanaman keras
sebagai peneduh berupa pohon beringin. Sementara itu di tengah-tengah
alun-alun ada dua pohon beringin yang diistimewakan. Pohon beringin, yang
berada di kiri-kanan jalan yang membelah alun-alun ini dipagari tembok, karenanya
disebut Ringin Kurung, ini
dipersonifikasikan sebagai Kyai .................(sebelah barat) dan Kyai
...........(sebelah timur). Ringin Kurung,
pohon yang besar dan rindang yang mampu memberikan kesejukan/kenyamanan
bagi yang berteduh di bawahnya, dalam filosofi Jawa dimaksudkan sebagai simbol kewibawaan
raja yang mampu memberikan pengayoman
kepada rakyatnya.
Foto:
Kedua pohon beringin yang berada di
tengah-tengah alun-alun
Pekapalan
Di
tepi alun-alun, di sela-sela pohon-pohon beringin peneduh, terdapat beberapa
bangunan. Beberapa di antaranya berbentuk perahu/kapal. Itulah sebabnya deretan
bangunan ini dinamakan Pekapalan. Bangunan-bangunan
ini dimaksudkan sebagai ..................
Foto:
Rumah berbentuk kapal
Mesjid Gedhe
Orang
Jawa, sesuai ajaran dan teladan para leluhurnya, umumnya bertipe sebagai
makhluk yang lebih mengedepankan kehidupan rohani atau spiritual. Filosofi
hidup serta tindak-tanduk, tingkah
laku sehari-hari yang direpresentasikan antara lain dalam wujud tutur kata,
atau dalam seni, senantiasa diwarnai oleh sikap kerohanian yang tinggi.
Sebutan-sebutan yang biasa dikenakan
terhadap Tuhan, seperti: Kang Akarya Jagad, Purwaning Dumadi, Sing
Gawe Urip, menunjukkan betapa
dalamnya pengakuan terhadap Dat Yang Mahatinggi itu. Pengakuan itu juga
terungkap dalam ungkapan-ungkapan, antara lain: manungsa mono mung wayang saupamane, sadrema nglakoni; urip mung mampir
ngombe; narima ing pandum; Gusti ora sare; dan sebagainya.
Raja,
sebagai panutan dalam hal hidup kerohanian, memandang perlu untuk menempatkan
diri sebagai ‘yang terdepan, sebagai pemuka, atau sebagai pemimpin dalam hidup
keagamaan’. Setidaknya peran dalam keagamaannya sangat besar. Kraton pun
menjadi kiblat bagi berbagai upacara keagamaan. Apa yang dibuat oleh kraton,
dibuat juga oleh rakyat. Tentu saja dengan penyesuaian di sana-sini seturut
kemampuan masing-masing.
Seturut
zaman, tatkala Agama Hindu, Buddha dan
kepercayaan lokal dihidupi oleh rakyat suatu kerajaan, kraton pun tidak luput
dari peran sebagai wadah bagi semua tradisi keagamaan, atau lebih tepat tradisi
kerohanian yang ada. Tidak mengherankan kalau tradisi-tradisi itu bersimbiose
sedemikian rupa sehingga tidak lagi jelas batas antara tradisi keagamaan yang
satu dengan yang lain. Tradisi-tardisi kerohanian itu bahkan sebagian besar
telah bermetanorfosa menjadi tradisi-tardisi budaya. Praktek yang berlangsung
sedemikian mulus dari waktu ke waktu ini pada akhirnya membentuk warga
Yogyakarta menjadi insan-insan yang toleran.
Kraton boleh dibilang menjadi pendorong, serta turut menjadi pelaku yang aktif.
Tatkala
Agama Islam berhasil masuk ke dalam kraton, serta mampu menempatkan diri
sebagai ‘semacam agama resmi’ kraton, tidak dengan serta merta bisa meniadakan tradisi-tradisi
budaya yang sebelumnya telah
berabad-abad hidup subur di kalangan
kraton dan di dalam masyarakat itu. Maka, bisa dimengerti kalau raja kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, meski bergelar Sayyidin
Panatagama Kalifatullah Tanah Jawi, tidak memberlakukan adagium (Latin)......................................................
(Agama negara mengikuti agama yang dipeluk rajanya). Sultan tetap teguh
bertindak selaku pengayom bagi semua warga/rakyatnya, apa pun agama atau
kepercayaan mereka.
Untuk
menegaskan gelar selaku pemuka agama itu maka diangunlah sebuah masjid besar di
kawasan kraton yang lazim disebut Mesjid
Gedhe, atau Masjid Agung. Masjid
Agung dibangun di sebelah kiri (barat) kraton, sementara Pasar Gedhe, diletakkan di sebelah kanan (timur) kraton. Posisi demikian mengandaikan bahwa
secara filosofis raja/sultan dalam mengemban amanatnya sebagai pemimpin negara,
hendaknya memperhatikan kebutuhan rohani
dan jasmani rakyatnya secara seimbang.
Foto:
Masjid Agung + plus pernik-perniknya
Kauman
Di
belakang Mesjid Gedhe (Masjid Besar) terdapat sebuah kampung atau
kawasan yang dinamakan Kauman. Kampng atau kawasan ini
disediakan bagi kaum dan keluarganya, yakni abdi dalem kraton yang bertugas
memimpin ibadat yang diselenggarakan di Mesjid Gedhe.
Foto:
-
Kaum/Imam masjid sekarang
-
Pintu gang Kampung Kauman.
Pagelaran
Secara
harfiah Pagelaran berarti: tempat
untuk menggelar (tikar) – agar bisa digunakan untuk menyelenggarakan pertemuan
(hajatan, slametan, rapat, temu warga, temu trah/keluarga, pertunjukan
kesenian, dll) yang dihadiri oleh banyak
orang untuk membicarakan hal-hal yang penting dan bersifat publik/umum agar
bisa diketahui atau dinikmati oleh banyak orang (seluruh warga atau angggota
keluarga).
Sebagai
bangunan yang terdepan dari komplek kraton yang langsung bersentuhan dengan alun-alun, bagian lain dari komplek
kraton yang bersifat publik, pagelaran dimaksudkan untuk
tujuan-tujuan itu. Di tempat ini - pada hari-hari tertentu, antara lain tingalan
dalem (hari ulang tahun raja), atau jumenengan
dalem (hari peringatan penobatan raja), atau hari besar kerajaan lainnya -
diselenggarakan berbagai kegiatan yang bisa dihadiri oleh segenap kawula (rakyat). Kegiatan-kegiatan itu
pada umumnya lebih bersifat seremonial.
Pada
zaman kemerdekaan, sebagai salah satu ujud kesetiaan Sultan pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta
dukungannya untuk turut memajukan pendidikan bangsanya , Pagelaran dan dalem Mangkubumen
dipinjamkan kepada Universitas Gadjah Mada sebagai ajang kegiatan
perkuliahan. Universitas Gadjah Mada,
yang saat itu belum memiliki kampus sendiri, memanfaatkan pagelaran untuk Fakultas Hukum. Sementara itu dalem Mangkubumen untuk Rumah Sakit Akademik dan Fakultas
Kedokteran. Kegiatan ini berlangsung sampai Universitas Gadjah Mada berpindah
ke kampus barunya di Bulaksumur.
Foto:
Pagelaran; plus sudut-sudut yang menarik
Sitinggil
Di belakang
Pagelaran, atau sebelah selatan Pagelaran, terdapat bangunan lain. Bangunan
ini didirikan di atas tanah yang
ditinggikan, karena itu dinamakan Siti Hinggil yang lazim dilafalkan Sitinggil. Berbeda dengan Pagelaran, yang terbuka bagi rakyat pada
umumnya, Sitinggil lebih dimaksudkan
sebagai tempat pertemuan bagi para nara
praja, yakni pejabat-pejabat kerajaan, dengan sultan.
Foto:
-
Sitingggil
-
- Takhta sultan di tengah-tengah
Supit Urang
Supit Urang adalah nama tembok tinggi yang
mengelilingi Sitinggil. Nama Supit Urang digunakan karena bentuk tembok ini melingkar dengan bagian depan yang
terbuka sehinggga membentuk huruf U,
atau seperti udang yang sedang memasang supit-nya untuk melawan musuh.
Foto:
Tembok Supit Urang
Beteng Baluwerti
Kemandhungan
Ada
dua halaman/tempat yang dinamakan Kemandhungan,
yaitu: Kemandhungan Lor (Kemandhungan
Utara) dan Kemandungan Kidul (Kemandungan
Selatan). Kemandhungan, dari kata ke-mandhung-an, berarti:
................... . Kedua halaman/tempat ii fungsinya sama, yakni sebagai sarana transit sebelum orang
memasuki kraton. Kemndhungan Lor berhubungaan
dengan pintu depan, sementara Kemandhungan
Kidul berhubungan dengan pintu belakang. Di kedua halaman ini orang/tamu yang akan
menemui sultan atau kerabatnya menunggu sampai
sultan atau kerabatnya siap menerima mereka.
Foto:
?????????
Bangsal Pancaniti
Bangsal artinya ruang, kamar, atau bangunan. Bangunan ini
umumnya bukan sebagai tempat
tingggal, melainkan untuk beberapa kegiatan khusus, misalnya untuk kegiatan kesenian (tari,
musik, dll), penataran atau pelatihan, atau semacam untuk kantor.
Pancaniti berarti lima teliti atau
lima telaah dalam raangka suatu
pengadilan. Jadi, Bangsal Pancaniti bisa
diartikan: ruang atau kantor untuk meneliti lima perkara, atau lima kali
teliti. Maksudnya perkara yang harus ditelah atau diteliti dengan seksama. Kuasa untuk meneliti yang dilangsungkan di Bangsal Pancaniti merupakan hak
prerogatif sultan. Maka perkara yang diadili terutama adalah perkara yang
teramat penting, misalnya perkara makar terhadap raja. Sementara untuk
perkaraa-perkara lain biasanya dilaksanakan di tempat lain dan ditangani oleh
petugas peradilan, antara lain jeksa (jaksa).
Bangsal Winata
...........................
Keben
Halaman
di belakang Sitinggil, di depan
Gerbang ......... , dinamakan Plataran
Keben. Nama Keben diambil dari nama pohon besar yang tumbuh/ditanam di
halaman tersebut, yakni pohon Keben. Buah
pohon ini, bulat dengan empat buah sirip, menjadi inspirasi bagi model kuluk (topi makhkota) sultan.
Foto:
Pohon Keben (in sight: buah keben)
Topi mahkota sultan.
Kemagangan
Sesuai
namanya, ke-magang-an, tempat ini merupakan kawasan bagi para warga
Yogyakarta yang berminat untuk melamar atau magang
menjadi abdi dalem atau bekerja melayani raja dan keluarganya. Di sini para
magang diterima oleh pejabat kraton yang ditugasi khusus untuk meneliti, menyeleksi serta melatih para
magang sampai mereka dinyatakan lolos dan diangkat menjadi abdi dalem.
Kawasan
ini terdiri dari halaman luas yang disebut Plataran
Kemagangan dan bangunan yang berfungsi sebagai kantor yang dinamakan Bangsal Kemagangan.
Foto:
Bangsal Kemagangan plus halamannya à is sight: abdi dalaam yang ada di bangsal.
Habirandha
Di
sebelah barat Pagelaran terdapat bangunan
yang dihuni para abdi dalem. Para abdi dalem ini bertugas di bidang seni,
khususnya seni pedhalangan, yakni
manajemen dan olah seni wayang, khususnya wayang kulit. Mereka bertanggung
jawab nguri-uri (menjaga dan
memelihara dengan cermat) demi lestarinya seni pedhalangan dengan
menyelenggarakan kursus pedhalangan gaya Yogyakarta di bawah naungan Yayasan Habirandha. Alumni Habirandha umumnya menjadi dhalang
profesional, pambiwara (pembawa acara atau master ceremony berbahasa Jawa).
Tidak sedikit alumni Habirandha yang menjadikan ilmu pedhalangan yang mereka
peroleh sekadar sebagai pemerkaya diri di bidang bahasa atau sastra Jawa.
Musikanan
Bukan
hanya seni karawitan atau musik tradisional
Jawa yang mendapat tempat di kraton Yogyakarta. Musik Barat pun tidak
luput dari perhatian sultan. Abdi dalem kraton yang berminat di bidang seni
musik pentatonik pun mendapat tempat yang layak. Selain diberi kesempatan untuk
memainkan, mengolah serta mengembangkan musik pentatonik, mereka juga diberi
tempat tingggal khusus. Kawasan ini, yang terletak di sebelah timur Pagelaran, dinamakan Musikanan. Konon
kakek Idris Sardi merupakan salah
seorang abdi dalem di bidang seni musik ini. Tidak mengehrankan kalau Idris
Sardi juga punya minat besar di bidang musik pentatonik dan tumbuh menjadi
seorang musisi besar, khususnya sebagai violis yang ulung.
Ratawijayan
Pada
zaman kerajaan kereta yang ditarik kuda
merupakan moda transportasi yang lazim. Moda tranportasi yang tersedia untuk
kalangan umum, dan sehari-hari berlalu-lalang di jalan angkutan penumpang umum – di Yogyakarta – disebut andhong
atau dhokar.
Sultan,
dan juga pejabat kerajaan lainnya, mempunyai sarana transportasi sendiri yang
bersifat pribadi. Meski ujudnya juga kereta yang ditarik kuda tunggangan - yang lebih bagus, baik kualitas maupun
modelnya, kereta tungangan sultan atau
pejabat kerajaan dinamakan kreta atau rata. Kereta-kereta ini biasanya dibuat secara khusus, dengan
desain dan kualitas yang prima, atau
merupakan hadiah dari kerajaan lain sebagai cinderamata.
Karena
sifat pribadinya kereta-kereta itu umumnya diberi nama. Kereta milik sultan Hamengku Buwana ... diberi nama Kyai
................. dan Kyai .................
Ada kereta yang biasa digunakan sehari-hari oleh sultan, manakala sultan
pergi ke kepatihan atau ke suatu tempat lain, layaknya mobil sekarang. Namun ada pula kereta yang hanya
digunakan pada waktu-waktu tertentu untuk upacara yang bersifat
seremonial, misalnya, untuk mengarak
atau kirab pengantin pangeran atau putri kraton.
Sebagaimana
mobil membutuhkan garasi, demikian pula halnya kereta-kereta kerajaan ini. Kereta-kereta
ini dikandangkan di suatu tempat khusus yang diberi nama Ratawijayan. Kereta-kereta
kerajaan ini dijaga dan dirawat oleh abdi dalem yang ditugasi khusus untuk
mengurus secara teknis maupun secara spiritual. Secara teknis para abdi dalem
ini mengurus agar kereta-kereta ini sewaktu-waktu dapat digunakan dengan baik.
Sementara, secara spiritual, setahun
sekali mereka bertugas memandikannya dengan ritual khusus. Ritual memandikan
kereta sudah sejak lama menjadi agenda
tetap kraton. Ritual, yang oleh warga Yogyakarta dipandang sebagai kesempatan untuk ngalap berkah (menadah berkat) itu, kini juga menjadi agenda pariwisata.
Catatan: rata = kereta; wijaya = menang; ....an menyatakan tempat. Ratawijayan = tempat kereta kemanangan
Foto:
-
Kereta-kereta raja
-
: Kyai ....; Kyai
...., Kyai ....
-
Abdi dalem sedang merawat kereta
-
Upacara memandikan kereta
Gamelan
Para abdi dalem yang bertugas di Ratawijayan hanya mengerjakan hal-hal
teknis yang berkenaan dengan kereta. Mereka tidak bertugas untuk mengurus kuda. Ada abdi dalem yang bertugas khusus mengurus kuda dan perlengkapannya.
Para abdi dalem ini disebut gamel. Tugas yang berkenaan dengan kuda
yang mereka lakukan antara lain: memberi makan,
memandikan serta membersihkan bulu, serta – pada waktu-waktu tertentu –
mengganti telapak/sepatu kuda, dan merawat perlengkapan kuda.
Para
abdi dalem gamel, karena tugasnya bersifat taktis, harus senantiasa berada di
tempat, maka mereka ditempatkan di suatu tempat khusus agar senantiasa siaga
manakala ada tugas mendadak. Kawasan tempat tingggal mereka dinamakan Gamelan. Sampai sekarang kawasan itu tetap disebut Kampung
Gamelan, meski penghuninya bukan lagi para abdi dalem gamel.
Catatan:
- Gamelan = tempat tinggal abdi dalem gamel, yang bertugas merawat kuda atau nggamel. Nama kampung Gamelan lazim dilafalkan ngGamelan agar jelas bahwa yang dimaksudkan adalah: tempat/kawasan/kampung para gamel, bukan perangkat musik tradisional Jawa.
- gamelan = seperangkat alat musik tradisional Jawa. Orang yang memainkan alat gamelan atau pemain gamelan disebut pangrawit atau niyaga. Kegiatan memainkan gamelan disebut mangrawit atau ngrawit atau nabuh gamelan, bukan nggamel.
Monumen/patung gamel di mulut kampung Gamelan
Taman Sari
Sompilan
Patehan
Alun-Alun Kidul
Kalau
Alun-Alun Lor lebih dimaksudkan sebagai kawasan untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan kraton yang bersifat publik, Alun-Alun Kidul lebih dimaksudkan sebagai
area untuk berlatih bagi para prajurit kerajaan, seperti: latihan menunggang
kuda, latihan memanah, latihan menombak, latihan perang, serta berbagai
kegiatan untuk meningkatkan kedisiplinan dan kemampuan prajurit.
Sementara
para prajurit berlatih Sultan dan beberapa pejabat kerajaan yang berwenang
menyaksikan ulah keprajuritan ini
dari Sitinggil. Secara diam-diam Sultan dan pejabat kerajaan, melalui
jendela-jendela yang terbuka di Sitinggil,
dapat menilai kemampuan para prajurit – baik secara kelompok maupun
secara individual.
Sekarang,
tatkala status kerajaan sudah tidak ada, prajurit kerajaan pun berubah fungsi.
Mereka tidak lagi sebagai ‘angkatan bersenjata’ atau ‘angkatan perang’, yang
bertugas di bidang pertahanan dan keamanan negara, melainkan lebih sebagai
kesatuan pengawal tradisi serta pelestari budaya Jawa. Tugas mereka adalah tampil sebagai brigade (bregada) dalam upacara-upacara
tradisional, seperti: berdefile saat diselenggarakan upacara seremonial oleh
kraton, mengarak gunungan pada waktu diselenggarakan grebeg, dll.
Alun-Alun
Kidul sekarang tidak lagi sebagai ajang latihan prajurit kraton, melainkan
menjadi area yang bernilai rekreatif dan ekonomis bagi warga sekitarnya.
Sementara itu Sitinggil, yang menyandang nama Gedung ‘Dwi Sata Warsa’ (artinya:
Dua Ratus Tahun, sebagai peringatan dua ratus tahun usia Kraton Yogyakarta),
bukan lagi menjadi ‘tempat pengintai’ untuk menyaksikan dan menilai para
prajurit kerajaan tatkala mereka berlatih, tetapi sebagai ajang pentas seni,
antara lain pagelaran wayang kulit.
Foto:
-
Alun-Alun Kidul;
-
Gedung Dwi Sata Warsa;
-
Kegiatan ekonomis: jualan klithikan, angkringan,
-
becak malam, lomba memasuki sela-sela ringin kurung; dll
Ambarukma
Secara
harfiah Ambarukma berarti emas yang
berbau (harum) atau bau harum emas, atau emas murni. Komplek yang terletak di
pinggir kota, di tepi jalan menuju ke arah Surakarta, ini dimaksudkan sebagai pesanggrahan, tempat tingggal sementara
raja dan keluarganya saat mereka berekreasi menikmati liburan. Kini, komplek
peristirahatan yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwana ...itu tingggal
menyisakan bangunan induk dan pendapa. Sementara sebagian besar bangunan lain
telah dirobohkan dan di atas tanah bekas bangunan telah didirikan bangunan
modern yakni Hotel .................
serta mal Ambarukma Plaza.
Foto:
Pendapa Ambarukma
Ambarketawang
Sayidan
Nama Sayidan,
sebuah kampung di tepi barat jembatan ..... yang melintang di atas Sungai
Code, berkaitan erat dengan kata sayid yang berarti tuan atau orang Arab
keturunan Nabi Muhammad saw. Di kampung ini dahulu memang pernah tinggal sebuah
keluarga Arab. Keluarga ini oleh penduduk setempat dikenal sebagai sayid. Oleh karena itu kampung tempat
mereka tinggal lantas disebut sebagai Sayidan.
- Rumah bekas tempat tinggal
keluarga sayid
Benteng Vrede atau Vredeburg
Prajurit Kraton dan kawasan tinggal mereka.
Tidak
berbeda dengan kerajaan lain di seantero
dunia yang memiliki kesatuan militer atau angkatan perang, Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat juga mempunyai pasukan atau kesatuan militer. Pasukan ini
dimaksudkan untuk menjaga keselamatan raja dan keluarganya, serta untuk menjaga keamanan negara dari serangan
musuh dan memelihara ketertiban umum. Untuk
maksud itu Sultan Hamengku Buwana I membentuk kesatuan-kesatuan militer. Kesatuan
militer yang lazim disebut bregada ini
terdiri dari kesatuan infanteri dan kavaleri. Pada zaman itu kesatuan-kesatuan
yang sudah menggunbakan senjata api (bedhil)
dan meriam (mriyem). Ada 13 kesatuan
(dalam Bahasa Jawa disebut: bregada), yakni: Somaatmaja, Wirabraja, Dhaheng,
Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Jager,
Langenastra, Surakarsa dan Bugis. Pada
zamannya kesatuan-kesatuan militer ini dikenal sebagai angkatan bersenjata yang
kuat. Hal ini tampak dari kemampuan mereka mengimbangi kekuatan angkatan
bersenjata Inggris yang menyerang Yogyakarta di bawah komdando Jenderal
Gillespie, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II dan Sultan
Hamengku Buwana III.
Sayang,
barangkali karena jumlah persenjataan
yang tidak seimbang, pasukan Kraton Yogyakarta itu – kendati sudah memberikan
perlawanan yang heroik, akhirnya harus menyerah kalah kepada Inggris. Peperangan
ini diakhiri dengan perjanjian yang ditandatangani oleh Raffles
dan Sultan Hamengku Buwana III. Dalam perjanjian itu disepakati untuk
mengurangi jumlah personil dan jumlah persenjataan pasukan Yogyakarta. Kraton
Yogyakarta hanya dibenarkan untuk memiliki pasukan yang bertugas sebagai
pengawal sultan serta menjaga kraton. Akibatnya pasukan ini semakin lemah serta
tidak lagi mempunyai kekuatan sebagai penyerang.
Tahun
1942, tatkala Belanda menyerah kalah kepada Jepang, kesatuan-kesatuan militer
Kraton Yogyakarta ini dibubarkan oleh
Jepang. Tahun 1970, tatkala situasi
sudah kondusif, kesatuan-kesatuan prajurit kraton ini dihidupkan kembali.
Namun kesatuan ini tidak lagi bertugas
di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), melainkan di bidang budaya
dengan menjadi penjaga atau pemelihara
adat atau tradisi. Mereka membantu raja dan kerabatnya - selaku pemangku adat -
demi terawat dan lestarinya tradisi atau adat yang berlangsung di lingkungan
keraton yang diwariskan oleh pendahulu dan peletak dasar kerajaan. Adat atau
tradisi itu umumnya berkenaan dengan hajatan-hajatan yang dilaksanakan oleh
raja dan kerabatanya di seputar daur hidup, upacara kerajaan, serta upacara
keagamaan. Barangkali karena pertimbangan-pertimbangan teknis tiga kesatuan,
yakni: Jager, Langenastra dan Somaatmaja belum diaktifkan kembali.
Dengan demikian sampai saat ini Kraton
Yogyakarta tinggal memiliki sepuluh
kesatuan.
Sebagaimaana
halnya kesatuan militer yang tinggal atau ditempatkan di tangsi atau barak, semula
kesatuan-kesaatuan prajurit kraton ini, demi efektivitas tugas, juga
ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu. Hanya saja mereka tidak tingggal di
tangsi atau barak melainkan di suatu kawasan tertentu. Kawasan ini, yang pada
kemudian hari berkembang menjadi
kampung, dinamakan seturut nama kesatuan yang menghuni. Maka lahirlah nama-nama tempat/kampung: Langenastran
(artinya tempat tinggal kesatuan Langenastra),
Mantrijeron,
Surakarsan, Somaaatmajan, Ketanggungan, Patangpuluhan, Wirabrajan, Jagakaryan,
Nyutran, Dhaengan, Jageran, Bugisan, dan Prawirataman.
Berikut nama kesepuluh kampung yang semula menjadi markas
kesatuan-kesatuan kraton tersebut:
Wirabrajan
Kampung Wirabrajan merupakan markas bagi kesatuan prajurit Wirabraja. Kesatuan ini terdairi dari 4 perwira berpangkat Panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 2 orang pembawa duaja atau bendera kesatuan. Komandan pasukan ini berpangkat bupati. Pakaian yang dikenakan: Topi Centhung (berbentuk seperti kepompong), warna merah, destar (ikat kepala) berwarna wulung (ungu), baju dalam lengan panjang berwarna putih, beskap baju luar berwarna merah, lonthong (ikat pinggang dalam) kain bermotif cindhe dominasi warna merah, kamus (ikat pinggang luar) berwarna hitam, sayak (kain penutup dari pinggang sampai di atas lutut) berwarna putih, serta celana Panji (celana yang mempunyai panjang sebatas lutut) berwarna merah, sepatu fantopel warna hitam dengan kaos kaki berwarna putih. Karena prajurit ini berpakaian serba merah , serta memakai topi berbentukcenthung atau lombokan (berbentuk seperti lombok) yang bernama Kudhup Turi, maka kesatuan ini lebih dikenal dengan sebutan Prajurit Lombok Abang. Persenjataannya berupa bedil dan memakai keris dengan kerangka bermotif branggah.
Bendera kesatuan bernama: GULA KLAPA. Bendera ini berujud kain dasar putih, dengan gambar bintang warna merah yang terletak di tengah, serta pada ke empat sudutnya diberi hiasan ‘kukon’ (bentuknya seperti kuku). Kecuali bendera kesatuan prajurit ini juga mempunyai dua duaja, yakni: Kanjeng Kyai Santri dan Kanjeng Kyai Slamet. Ciri lain dari kesatuan ini adalah mars prajurit. Kesatuan ini mempunyai dua mars prajurit, yakni: Mares RETADHEDHALI dan Mares DHAYUNGAN. Mares RETADHADHALI digunakan untuk mengiringi kesatuan ini tatkala mereka berjalan dengan irama lambat serta dengan gaya tertentu, sedangkan Mares DHAYUNGAN, digunakan untuk mengiringi kesatuan ini tatkala mereka berbaris dengan irama cepat.
Pada zaman dahulu, Prajurit Wirabraja selalu berada di garis terdepan dalam setiap pertempuran. Karena pertimbangan tradisi ini pada masa sekarang pun dalam berbagai upacara adat kesatuan atau bregada ini selalu diposisikan di barisan paling depan. Selain ciri-ciri tersebur ciri lain lagi dari kesatuan ini adalah nama-nama diri para prajurit. Setiap anggota kesatuan ini selalu menyandang nama “Braja”. Misalnya: Brajanala, Brajadhenta, Brajawinata, Brajanegara; Brajadipura, Brajawiguna, Brajapuspita, Brajawijaya dan sebagainya.
Dhaengan
Seturut namanya, Kampung Dhaengan adalah markas prajurit Dhaeng. Pasukan Dhaeng yang berasal dari Makasar ini merupakan bentuk nyata kerja sama antara Kerajaan di Sulawesi selatan dengan Kerajaan Mataram. Ciri-ciri prajurit Dhaheng: baju dan celana panjang putih dengan strip merah pada bagian dada dan samping celana, topi berbentuk mancungan berwarna hitam dengan hiasan bulu ayam warna merah putih. Bendera pasukan Dhaeng bernama Bahning Sari, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Jatimulya atau Dhoyok. Perangkat musik Pasukan Dhaheng terdiri dar: tambur, seruling, bende, ketipung, pui-pui dan kecer. Lagu yang didendangkan bernama Ondhal-andhil dan Kenaba. Senjata yang melengkapi prajurit Dhaheng adalah senapan api dan tombak. Ciri lain dari prajurit Dhaeng adalah nama mereka yang khas.. Prajurit Dhaeng selalu memakai kata ‘Niti’ di depan nama mereka, misalnya: Nitidipura, Nitipraja, Nitiwijaya, Nitipura, Nitinagara, dan sebagainya.
Pasukan Dhaeng terdiri atas empat orang perwira berpangkat panji, delapan bintara berpangkat sersan, tujuh puluh dua orang prajurit serta seorang pembawa duaja. Bendera mereka dinamakan BAHMING SARI. Bendera ini berwarna dasar putih, dengan gambar plenthong (bohlamp) berwarna merah yang terletak di tengah.
Seturut namanya, Kampung Dhaengan adalah markas prajurit Dhaeng. Pasukan Dhaeng yang berasal dari Makasar ini merupakan bentuk nyata kerja sama antara Kerajaan di Sulawesi selatan dengan Kerajaan Mataram. Ciri-ciri prajurit Dhaheng: baju dan celana panjang putih dengan strip merah pada bagian dada dan samping celana, topi berbentuk mancungan berwarna hitam dengan hiasan bulu ayam warna merah putih. Bendera pasukan Dhaeng bernama Bahning Sari, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Jatimulya atau Dhoyok. Perangkat musik Pasukan Dhaheng terdiri dar: tambur, seruling, bende, ketipung, pui-pui dan kecer. Lagu yang didendangkan bernama Ondhal-andhil dan Kenaba. Senjata yang melengkapi prajurit Dhaheng adalah senapan api dan tombak. Ciri lain dari prajurit Dhaeng adalah nama mereka yang khas.. Prajurit Dhaeng selalu memakai kata ‘Niti’ di depan nama mereka, misalnya: Nitidipura, Nitipraja, Nitiwijaya, Nitipura, Nitinagara, dan sebagainya.
Pasukan Dhaeng terdiri atas empat orang perwira berpangkat panji, delapan bintara berpangkat sersan, tujuh puluh dua orang prajurit serta seorang pembawa duaja. Bendera mereka dinamakan BAHMING SARI. Bendera ini berwarna dasar putih, dengan gambar plenthong (bohlamp) berwarna merah yang terletak di tengah.
Prajurit Dhaeng
Patangpuluhan
Urutan berikutnya, di belakang Prajurit Dhaheng, terdapat Bregada Prajurit yang bernama Patangpuluh. Seturut namanya bregada atau kesatuan ini semula terdiri dari 40 orang. Pada jaman kejayaan kerajaan dahulu para prajurit ini adalah kesatuan yang dikenal memiliki keberanian dan ketangguhan luar biasa, serta sangat diandalkan di medan pertempuran. Barangkali bisa disejajarkan dengan pasukan khusus semisal Komando Pasukan Khusus (Kopasus) pada jaman sekarang. Dari nama Patangpuluh inilah mengapa markas mereka, yang pada kemudian hari berubah menjadi kampung, dinamakan Kampung Patangpuluhan.
Urutan berikutnya, di belakang Prajurit Dhaheng, terdapat Bregada Prajurit yang bernama Patangpuluh. Seturut namanya bregada atau kesatuan ini semula terdiri dari 40 orang. Pada jaman kejayaan kerajaan dahulu para prajurit ini adalah kesatuan yang dikenal memiliki keberanian dan ketangguhan luar biasa, serta sangat diandalkan di medan pertempuran. Barangkali bisa disejajarkan dengan pasukan khusus semisal Komando Pasukan Khusus (Kopasus) pada jaman sekarang. Dari nama Patangpuluh inilah mengapa markas mereka, yang pada kemudian hari berubah menjadi kampung, dinamakan Kampung Patangpuluhan.
Prajurit
Patangpuluh mengenakan seragam berbentuk sikepan
dengan corak lurik khas Patangpuluh, celana pendek merah. Di luar celana
panjang putih, rompi berwarna merah, sepatu lars hitam serta tutup kepala berbentuk
songkok berwarna hitam. Benderanya bernama Cakragora,
dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Korps musik Bregada Prajurit
Patangpuluh dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling dan terompet
yang melagukan Mars Bulu-bulu dan Gendera. Bregada Prajurit Patangpuluh
dipersenjatai dengan senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajurit dalam
bregada ini selalu disertai dengan kata Hima,
misalnya: Himawan, Himaprawira,
Himadiharja, Himawikrama, dan sebagainya.
Sekarang bregada atau kesatuan Patangpuluh terdiri dari 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, dan 27 orang prajurit serta 1 orang pembawa bendera. Pakaian yang digunakan berujud: topi pacul gowang, destar wulung, sikepan lurik kemiri, rompi merah, lonthong merah, dan kamus berwarna hitam. Celana, atas berwarna merah bawah berwarna putih, beskap hitam. Mereka mengenakan sepatu fantopel berwarna hitam dengan kaos kaki berwarna putih. Senjata yang digunakan adalah bedil (senjata a[i l;aras panjang) serta memakai keris branggah.
Bendera Kesatuan Patangpuluh bernama: CAKRANEGARA. Bendera ini berwarna dasar hitam, dengan gambar bintang warna merah di tengah-tengah. Musik mereka bernama Mares GENDERA, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan lambat dan digayakan, sertra Mares BULU-BULU, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan cepat.
Sekarang bregada atau kesatuan Patangpuluh terdiri dari 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, dan 27 orang prajurit serta 1 orang pembawa bendera. Pakaian yang digunakan berujud: topi pacul gowang, destar wulung, sikepan lurik kemiri, rompi merah, lonthong merah, dan kamus berwarna hitam. Celana, atas berwarna merah bawah berwarna putih, beskap hitam. Mereka mengenakan sepatu fantopel berwarna hitam dengan kaos kaki berwarna putih. Senjata yang digunakan adalah bedil (senjata a[i l;aras panjang) serta memakai keris branggah.
Bendera Kesatuan Patangpuluh bernama: CAKRANEGARA. Bendera ini berwarna dasar hitam, dengan gambar bintang warna merah di tengah-tengah. Musik mereka bernama Mares GENDERA, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan lambat dan digayakan, sertra Mares BULU-BULU, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan cepat.
Prajurit Patangpuluh
Jagakaryan
Jagakaryan merupakan markas atau base camp kesatuan prajurit atau bregada prajurit Jagakarya. Ciri Bregada Prajurit Jagakarya adalah: seragam berbentuk sikepan dan celana bercorak lurik khas Jogokaryo dengan rompi kuning emas, sepatu pantopel hitam dengan kaos kaki biru tua serta topi hitam bersayap. Benderanya bernama Papasan, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Bregada ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling, dan terompet, yang melagukan Tameng Madura dan Slagunder. Bregada Prajurit Jogokaryo dilengkapi dengan senjata berupa senapan api dan tombak. Ciri lainnya, nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata Parto. Misalnta: Partowijaya, Partaraharja, Partadimeja, Partadiningrat, Partawikrama, dan sebagainya.
Kesatuan atau bregada Jagakaraya terdiri dari 4 orang perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 orang pembewa duaja. Seragam mereka terdari atas: topi hitam berbetuk tempelangan, seperti kapal terbalik; destar wulung, rompi berwarna krem, beskap lurik lupat berlapis merah, sayak lurik, lonthong merah, serta kamus hitam. Mereka bercelana panji lurik, berkaos kaki panjang, serta mengenakan sepatu pantopel hitam. Senjata mereka berupa bedhil serta memakai keris brangah. Bendera mereka bernama: PAPASAN. Bendera ini berujud: warna dasar hijau, di tengah terdapat gambar plenthong berwarna merah. Nama musik: Mares SLANGGUNDER, digunakan untuk jalan pelan dengan digayakan, sedangkan Mares TAMENGMADURA untuk mengiringi pasukan tatkala mereka berjalan cepat.
Jagakaryan merupakan markas atau base camp kesatuan prajurit atau bregada prajurit Jagakarya. Ciri Bregada Prajurit Jagakarya adalah: seragam berbentuk sikepan dan celana bercorak lurik khas Jogokaryo dengan rompi kuning emas, sepatu pantopel hitam dengan kaos kaki biru tua serta topi hitam bersayap. Benderanya bernama Papasan, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Bregada ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling, dan terompet, yang melagukan Tameng Madura dan Slagunder. Bregada Prajurit Jogokaryo dilengkapi dengan senjata berupa senapan api dan tombak. Ciri lainnya, nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata Parto. Misalnta: Partowijaya, Partaraharja, Partadimeja, Partadiningrat, Partawikrama, dan sebagainya.
Kesatuan atau bregada Jagakaraya terdiri dari 4 orang perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 orang pembewa duaja. Seragam mereka terdari atas: topi hitam berbetuk tempelangan, seperti kapal terbalik; destar wulung, rompi berwarna krem, beskap lurik lupat berlapis merah, sayak lurik, lonthong merah, serta kamus hitam. Mereka bercelana panji lurik, berkaos kaki panjang, serta mengenakan sepatu pantopel hitam. Senjata mereka berupa bedhil serta memakai keris brangah. Bendera mereka bernama: PAPASAN. Bendera ini berujud: warna dasar hijau, di tengah terdapat gambar plenthong berwarna merah. Nama musik: Mares SLANGGUNDER, digunakan untuk jalan pelan dengan digayakan, sedangkan Mares TAMENGMADURA untuk mengiringi pasukan tatkala mereka berjalan cepat.
Prajurit Jagakarya
Prawirataman
Prawirataman adalah nama kampung yang dahulu merupakan markas kesatuan atau bregada prajurit Prawiratama. Semula kesatuan ini beranggotakan para prajurit yang memiliki kelebihan dibanding prajurit lainnya. Mereka, yang terdiri sekitar seribu orang, semula adalah anggota Laskar Mataram. Pasukan inilah yang membantu Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran melawan Kompeni. Konon laskar ini senantiasa berhasil memenangi setiap pertempuran dengan gemilang. Sebagai penghargaan atas prestasi kemiliteran mereka inilah kesatuan ini dijuluki Prawiratama, sebuah nama yang bermakna ‘perwira yang utama’. Kesatuan atau bregada ini menggunakan seragam berbentuk sikepan berwarna hitam dipadu dengan celana pendek merah di luar celana panjang putih, sepatu lars hitam serta topi hitam berbentuk kerang. Benderanya bernama Geniraga atau Bantheng Ketaton, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Ketika mengikuti upacara kesatuan ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling dan terompet yang mengumandangkan lagu Pandeburg dan Mars Balang. Seenjata utama mereka adalah senapan api. Ciri khas kesatuan ini adalah nama para prajuritnya selalu disertai dengan kata “Prawira”. Misalnya: Prawiradiharja, Prawirawijaya, Prawirakusuma, Prawiradimeja, Prawiratamtama, dan sebagainya.
Kesatuan atau bregada Prawiratama terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 4 bintara berpangkat sersan, 72 orang prajurit dan seorang pembawa duaja. Pakaian yang dikenakan adalah topi hitam berbentuk mete, destar wulung, beskap hitam, baju dalam merah, sayak putih, lonthong merah, kamus hitam, serta celana atas berwarna merah bawah berwarna putih. Mereka mengenakan beskap hitam, kaos kaki hitam. serta sepatu fantopel hitam. Senjata yang dikenakan berupa bedil dan keris branggah.
Prawirataman adalah nama kampung yang dahulu merupakan markas kesatuan atau bregada prajurit Prawiratama. Semula kesatuan ini beranggotakan para prajurit yang memiliki kelebihan dibanding prajurit lainnya. Mereka, yang terdiri sekitar seribu orang, semula adalah anggota Laskar Mataram. Pasukan inilah yang membantu Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran melawan Kompeni. Konon laskar ini senantiasa berhasil memenangi setiap pertempuran dengan gemilang. Sebagai penghargaan atas prestasi kemiliteran mereka inilah kesatuan ini dijuluki Prawiratama, sebuah nama yang bermakna ‘perwira yang utama’. Kesatuan atau bregada ini menggunakan seragam berbentuk sikepan berwarna hitam dipadu dengan celana pendek merah di luar celana panjang putih, sepatu lars hitam serta topi hitam berbentuk kerang. Benderanya bernama Geniraga atau Bantheng Ketaton, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Ketika mengikuti upacara kesatuan ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling dan terompet yang mengumandangkan lagu Pandeburg dan Mars Balang. Seenjata utama mereka adalah senapan api. Ciri khas kesatuan ini adalah nama para prajuritnya selalu disertai dengan kata “Prawira”. Misalnya: Prawiradiharja, Prawirawijaya, Prawirakusuma, Prawiradimeja, Prawiratamtama, dan sebagainya.
Kesatuan atau bregada Prawiratama terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 4 bintara berpangkat sersan, 72 orang prajurit dan seorang pembawa duaja. Pakaian yang dikenakan adalah topi hitam berbentuk mete, destar wulung, beskap hitam, baju dalam merah, sayak putih, lonthong merah, kamus hitam, serta celana atas berwarna merah bawah berwarna putih. Mereka mengenakan beskap hitam, kaos kaki hitam. serta sepatu fantopel hitam. Senjata yang dikenakan berupa bedil dan keris branggah.
Bendera
kesatuan ini bernama GENIRAGA.
Wujudnya: warna dasar hitam dengan gambar plentong warna merah terletak di
tengah-tengah. Musik mereka dinamakan Mares
BALANG. Musik ini digunakan sebagai iringan tatkala pasukan berjalan pelan
dengan digayakan; sedang Mares PANDHEBRUG, digunakan untuk
mengiringi tatkala pasukan berjalan cepat.
Prajurit Prawiratama
Ketanggungan
Kampung Ketanggungan sebagaimana dikenal sekarang semula adalah markas kesatuan prajurit atau bregada Ketanggung. Para prajurit dalam kesatuan atau bregada ini pada jaman dahulu bertanggung jawab atas keamanan di lingkungan keraton. Mereka juga bertugas selaku penuntut perkara (barangkali senada dengan tugas kepolisian zaman sekarang selaku penyidik). Selain itu juga berkewajiban mengawal Sultan pada saat beliau melakukan kunjungan ke luar keraton.
Kampung Ketanggungan sebagaimana dikenal sekarang semula adalah markas kesatuan prajurit atau bregada Ketanggung. Para prajurit dalam kesatuan atau bregada ini pada jaman dahulu bertanggung jawab atas keamanan di lingkungan keraton. Mereka juga bertugas selaku penuntut perkara (barangkali senada dengan tugas kepolisian zaman sekarang selaku penyidik). Selain itu juga berkewajiban mengawal Sultan pada saat beliau melakukan kunjungan ke luar keraton.
Seragam
kesatuan atau bregada Ketanggung terdiri atas:
sikepan (dengan corak lurik
khas Ketanggung), serta celana pendek hitam di luar celana panjang putih, sepatu lars
hitam serta topi berbentuk mancungan berwarna hitam dengan
hiasan bulu-bulu ayam. Benderanya
bernama Cakraswandana, dengan duaja
bernama Kanjeng Kyai Nanggala. Korps
musik kesatuan prajurit ini dilengkapi dengan seperangkat tambur, seruling,
terompet dan bendhe. Dua lagu khas
Ketanggung adalah Bergola Milir atau Lintrik
Emas dan Harjuno Mangsah atau Bima Kurda.
Kesatuan rajurit Ketanggung
dipersenjatai senapan api dengan bayonet terhunus dan tombak. Ciri khas
prajurit Ketanggung antara lain juga pada nama mereka. Semua prajurit
Ketanggung memakai kata “Jaya” pada bagian depan nama mereka,
misalnya: Jayasentika, Jayanegara, Jayadiharja,
Jayawikrama, Jayakusuma, dan sebagainya.
Kesatuan atau bregada Ketanggung terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 prajurit pembawa duaja. Mereka berseragam jas terbuka, baju dalam putih, mengenakan ikat kepala hitam, topi segi tiga, serta bersepatu lars panjang. Senjata yang digunakan adalah bedhil dengan bayonet terhunus dan mengenakan keris di pinggang.
Nama bendera: CAKRASEWANDANA. Ujudnya, dasar hitam bergambar bintang warna putih di tengah. Musik mereka dinamakan Mares BERGALA MILIR untuk berjalan pelan dan digayakan, serta Mares LINTRIK EMAS untuk berjalan cepat
Kesatuan atau bregada Ketanggung terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 prajurit pembawa duaja. Mereka berseragam jas terbuka, baju dalam putih, mengenakan ikat kepala hitam, topi segi tiga, serta bersepatu lars panjang. Senjata yang digunakan adalah bedhil dengan bayonet terhunus dan mengenakan keris di pinggang.
Nama bendera: CAKRASEWANDANA. Ujudnya, dasar hitam bergambar bintang warna putih di tengah. Musik mereka dinamakan Mares BERGALA MILIR untuk berjalan pelan dan digayakan, serta Mares LINTRIK EMAS untuk berjalan cepat
Prajurit Ketanggung
Mantrijeron
Kesatuan atau bregada Mantrijero terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Komandan pasukan ini berpangkat bupati. Seragamnya jas bukak dengan kain lurik bergaris hitam putih, berbaju dalam putih, bercelana putih, kaos kaki panjang putih dan bersepatu. Para prajurit Mantrijero mengenakan ikat kepala warna hitam dengan topi semacam songkok warna hitam. Markas mereka disebut Mantrijeron.
Persenjataannya berupa bedhil. Nama bendera Purnamasidi. Ujudnya: dasar hitam, tengah bergambar plentong warna putih. Nama musik Mares SLENGGANDIRI, untuk berjalan pelan dengan digayakan dan Mares PLANGKENAN (RESTOG), untuk berjalan cepat.
Kesatuan atau bregada Mantrijero terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Komandan pasukan ini berpangkat bupati. Seragamnya jas bukak dengan kain lurik bergaris hitam putih, berbaju dalam putih, bercelana putih, kaos kaki panjang putih dan bersepatu. Para prajurit Mantrijero mengenakan ikat kepala warna hitam dengan topi semacam songkok warna hitam. Markas mereka disebut Mantrijeron.
Persenjataannya berupa bedhil. Nama bendera Purnamasidi. Ujudnya: dasar hitam, tengah bergambar plentong warna putih. Nama musik Mares SLENGGANDIRI, untuk berjalan pelan dengan digayakan dan Mares PLANGKENAN (RESTOG), untuk berjalan cepat.
Prajurit Mantrijero
Nyutran
Kesatuan atau bregada Nyutra bermarkas di Nyutran. Kesatuan ini terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 46 prajurit dan 2 orang pembawa duaja. Seragam yang dipakai berupa baju lengan pendek, celana dan dodot atau kampuh kain dengan motif bango tulak, tutup kepala memakai udheng gilig. Senjata yang mereka gunakan berupa bedhil dan tombak. Pada mulanya kesatuan ini tidak memakai alas kaki dan mempunyai dua seragam yang berbeda: seragam yang satu berwarna hitam yang satunya lagi berwarna merah. Benderea kesatuan ini ada dua macam, yakni: PODHANG NGISEP SARI berujus: dasar kuning, di tengah ada gambar plenthong berwarna merah, serta PADMA SRI KRESNA, berujud: dasar kuning, di tengah bergambar plenthong warna merah.
Musik kesatuan ini adalah: Mares MBAT-EMBAT PENJALIN, dengan iringan gamelan untuk memperagakan tarian tayungan, serta Mares, TAMTAMA BALIK, berjalan pelan dengan digayakan dan Mares SORENGPRANG untuk berjalan cepat.
Kesatuan atau bregada Nyutra bermarkas di Nyutran. Kesatuan ini terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 46 prajurit dan 2 orang pembawa duaja. Seragam yang dipakai berupa baju lengan pendek, celana dan dodot atau kampuh kain dengan motif bango tulak, tutup kepala memakai udheng gilig. Senjata yang mereka gunakan berupa bedhil dan tombak. Pada mulanya kesatuan ini tidak memakai alas kaki dan mempunyai dua seragam yang berbeda: seragam yang satu berwarna hitam yang satunya lagi berwarna merah. Benderea kesatuan ini ada dua macam, yakni: PODHANG NGISEP SARI berujus: dasar kuning, di tengah ada gambar plenthong berwarna merah, serta PADMA SRI KRESNA, berujud: dasar kuning, di tengah bergambar plenthong warna merah.
Musik kesatuan ini adalah: Mares MBAT-EMBAT PENJALIN, dengan iringan gamelan untuk memperagakan tarian tayungan, serta Mares, TAMTAMA BALIK, berjalan pelan dengan digayakan dan Mares SORENGPRANG untuk berjalan cepat.
Prajurit Nyutro
Langenastran
Kendati
kesatuan atau bregada prajurit Langenastra
sekarang sudah tidak ada, namun markas mereka yang kini menjadi Kampung Langenastran masih tercatat dalam peta
wilayah Kraton. Kampung yang terletak di dalam benteng kraton ini berada di
sebelah timur Alun-Alun Kidul. Dahulu kesatuan yang bermarkas di kapung
ini bertugas sebagai pengawal sultan
pada waktu upacara garebeg. Prajurit Langenastra merupakan prajurit tambahan
yang dimasukkan ke dalam kesatuan prajurit Mantrijero.
Karenanya atribut yang dipakai sama dengan prajurit Mantrijero, kecuali
persenjataannya. Senjata prajurit
Langenastra bukan berupa bedhil, sebagaimana halnya prajurit
Mantrijero, melainkan sebilah pedang.
Surakarsan
Kampung Surakarsan dahulu merupakan basis atau markas bagi kesatuan atau bregada Surakarsa . Kesatuan ini terdiri atas seorang perwira berpangkat penewu, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Seragam mereka berupa baju lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang dan kain bermotif gebyar. Mereka mengenakan ikat kepala teleng kewengen (kain berwarna hitam di tengah putih dan di bagian tepinya bergaris-garis putih).
Kampung Surakarsan dahulu merupakan basis atau markas bagi kesatuan atau bregada Surakarsa . Kesatuan ini terdiri atas seorang perwira berpangkat penewu, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Seragam mereka berupa baju lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang dan kain bermotif gebyar. Mereka mengenakan ikat kepala teleng kewengen (kain berwarna hitam di tengah putih dan di bagian tepinya bergaris-garis putih).
Prajurit
Surakarsa bertugas mengawal putra
mahkota. Sekarang kesatuan ini bertugas
sebagai pengawal kehormatan sesajian gunungan pada upacara garebeg. Bendera mereka dinamakan PAREANOM. Bendera ini berujud: dasar hijau, di tengah bergambar
plentong warna kuning. Nama musik: Mares
PLANGKENAN
Prajurit Surakarsa
Bugisan
Bugisan adalah nama kampung yang dikhususkan bagi tempat tinggal
pasukan atau bregada Bugis. Nama
kesatuan prajurit atau bregada ini merujuk pada fakta bahwa segenap angggota pasukan
terdiri dari orang-orang Bugis. Mereka adalah orang-orang Bugis pilihan yang
dikirimkan ke Ngayogyakarta Hadiningrat oleh ..... raja ....... sebagai wujud
nyata bantuan kepada Sultan Hamengku Buwana .. untuk memerangi Belanda.
Tugas
kesatuan ini adalah mengawal seorang patih
dalam upacara garebeg dan upacara-upacara lainnya. Seragam pasukan ini berupa jas tutup berwarna hitam, celana
panjang hitam, serta mengenakan ikat kepala kain hitam dan topi hitam. Persenjataannya
berupa tombak. Benderanya dinamakan WULANDADARI.
Bendera ini berujud kain warna hitam, bergambarkan plentong warna kuning di tengah-tengah. Musik
pasukan ini disebut Mares ENDRALOKA.
Seturut
perkembangan zaman, tatkala perlawanan kepada Belanda lebih bersifat
diplomatis, kesatuan ini melemah dan akhirnya bubar. Sebagian anggota kesatuan
ini kembali pulang ke Makasar, sementara
sebagian yang lain tetap tingggal di Yogyakarta serta berbaur dengan penduduk
asli karena ikatan perkawinan atau pertalian budaya. Salah seorang keturunan
dari orang Bugis itu adalah dr. Wahidin
Soedirahusada, seorang pahlawan nasional yang hingga wafatnya tinggal di
Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Desa Mlati, Sleman.
Sekarang kampung
Bugisan, yang terletak di bilangan tenggara keraton, lebih dikenal sebagai
kampung seni. Di sini terdapat sekolah seni setingkat sekolah menengah atas, Sekolah
Menengah Kejuruan: Jurusan Seni Tari, Jurusan Seni Rupa, dan Jurusan Seni
Musik.
Prajurit Bugis
Krapyak (Kandhang Menjangan?)
Ambarketawang
Sebelum
berlangsung Perjanjian Giyanti (1755), selepas dari Surakarta – karena
berselisih dengan kakaknya (Sunan Paku Buwana II) ihwal takhta, Pangeran
Mangkubumi pergi ke arah barat. Sampai di dusun Gamping dia beristirahat. Di
dusun ini dia membangun tempat tinggal sementara yang diberi nama Ambarketawang. Artinya, tempat untuk
melihat sinar ( ke arah timur) - dan
berbau harum. Ihwal nama Ambarketawang, ada yang menafsirkannya
begini: sembari menghadap ke arah timur Pangeran Mangkubumi melihat sinar yang cerah serta mencium bau
yang harum. Di tempat itulah dia bakal
membangun kraton sebagai pusat kerajaan yang dicita-citakannya. Tempat itu
adalah hutan/alas Bering yang, usai
Perjanjian Giyanti, dibabad serta di
atasnya dibangun kraton baru, sebagai tempat tingggal raja dan pusat kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Foto:
Bekas kraton lama (Ambarketawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar