Jumat, 20 Maret 2015

Yogyakarta Memang Istimewa II











Yogyakarta
Memang Istimewa

*



Mengenal Yogyakarta
Lebih Jauh
Lewat Nama-Nama Jalan dan Tempat


*


Foto-foto dan ilustrasi dikerjakan oleh:
Bingkai Fotografi
( Fotografer: Yohanes Sigit Dwi Saputro; Nikolaus Wijanarko)

<>

Prawacana
(prolog)

            Hari Selasa, 10 Oktober 2012, bagi warga Yogyakarta menjadi hari yang istimewa, bahkan teramat istimewa. Betapa tidak? Pada hari itu berlangsung sebuah peristiwa besar yang bakal turut mewarnai sejarah,  bukan saja bagi warga Yogyakarta, melainkan juga bagi segenap bangsa Indonesia. Pada hari itu berlangsung sebuah peristiwa besar, yakni pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah peristiwa historis yang memuncaki perjuangan panjang para kawula Ngayogyakarta Hadiningrat - yang tiada henti-hentinya menyuarakan aspirasi mereka  agar keberadaan Yogyakarta, baik secara de facto maupun de iure, diakui sebagai sebuah daerah yang memang layak menyandang predikat istimewa.
            Tentu  saja bukan hanya istimewa lantaran memperoleh previlegi politik, yang memungkinkan pengangkatan gubernur dan wakil gubernur tidak melalui mekanisme pemilihan, tetapi melalui mekanisme penetapan, melainkan  terlebih karena memiliki latar belakang sejarah serta budaya yang khas, tiada duanya, alias istimewa. Keistimewaan itu dicita-citakan bisa menjadi sumbangan berharga bagi  bangsa  dan negara yang juga tidak kalah istimewanya yakni Indonesia.
            Sejatinya keistimewaan Yogyakarta, sebagai sebuah entitas yang berada di tengah-tengah entitas-entitas lain  sehingga membentuk sebuah mozaik indah tiada tara: Indoensia, sudah disandang sejak lama. Sebutan  D.I.Y. sebagai akronim dari Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah melekat pada wilayah “bekas” Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak wilayah kerajaan  yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX ini menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) kala itu bukan hanya terucap secara lisan melainkan sudah termeteraikan secara literer pada berbagai media tulis,  baik berujud surat pribadi, surat dinas, maupun media cetak yang bersifat publik.
Lewat kata “istimewa” yang melekat pada kata Yogyakarta kiranya ingin diungkapkan ihwal sebuah etnis, budaya, seni, bahasa, sastra, gaya atau filosofi hidup, dan sebagainya – yang lain daripada yang lain. Maka, kalau kemudian ada pengakuan secara yuridis formal oleh pemerintah pusat (melalui Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta), sesungguhnya hal itu adalah sebuah penegasan akan apa yang senyatanya selama ini  telah hidup di tengah-tengah warga atau masyarakat Yogyakarta. Jadi, pengakuan itu sejatinya tidak terlalu istimewa, sebab Yogyakarta sejak semula memang sudah istimewa.
Artikel ini terinspirasi oleh fakta-fakta historis-sosiologis semacam itu. Karenanya suguhan yang ditampilkan jauh dari alasan-alasan atau muatan-muatan politis, melainkan semata-mata karena pertimbangan kultural. Lewat suguhan yang ditampilkan secara literer dan visual diharapkan pembaca dapat menarik benang merah yang menghubungkan masa kini dengan masa lampau sembari merasakan serta menikmati keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, pada akhirnya, dapat berucap takjub: Sungguh! Yogyakarta Memang Istimewa.




Purwa Wacana
(pendahuluan)


            Ada sebuah lirik tembang tradisional Jawa yang hingga pada tahun enampuluhan cukup akrab di telinga orang-orang Yogya, serta kerap dinyanyikan. Lirik tembang dalam irama Pocung itu selengkapnya berbunyi:

Bapak Pocung, pasar Mlathi kidul Dhenggung
Kricak lor negara, pasar gedhe loring loji
Menggok ngetan kesasar neng Gondamanan



(terjemahan bebas)
Bapak Pocung, pasar Mlati terletak di sebelah selatan Denggung
Kricak berada di sebelah utara kota,
Pasar besar (pasar pusat) ada di sebelah utara gedung besar
Berbelok ke arah timur tersesat (maksudnya sampai) di (jalan/kawasan) Gondamanan.


            Lewat lirik ini si penggubah tembang, dengan gaya santai dan menyenangkan,  berniat mengajak orang untuk menelusuri sudut-sudut kota atau wilayah Yogyakarta. Kalau tembang itu diajarkan kepada seorang anak si penggubah seakan ingin memaparkan sebuah gambar imajiner ihwal sebuah wilayah di Yogyakarta. Jika kemudian gambar imajiner itu digoreskan dengan sebuah grip (alat tulis tempo dulu yang berfungsi sebagai pensil), atau pensil, atau ballpoint – pada sebuah sabak (media untuk media untuk menulis tempo dulu), atau pada selembar kertas, maka jadilah sebuah peta atau denah. Jadi, lewat tembang itu si penggubah (yang kemudian diwakili oleh si penembang) ingin mengajarkan  ilmu bumi atau geografi sederhana ihwal sejengkal wilayah di Yogyakarta yang seyogyanya diketahui oleh para belia dan penduduk Yogyakarta pada umumnya.
tokoh, melainkan
Jelas kiranya tembang yang berisi pelajaran tentang peta wilayah Yogyakarta itu tidak bakal dimengerti atau tidak berarti bagi anak muda atau penduduk kota lain. Bagi orang Jakarta, misalnya, tembang itu akan terasa asing, kecuali kalau dia berasal dari Yogyakarta, atau pernah tinggal cukup lama di Yogyakarta sehingga sungguh mengenal seluk-beluk atau liku-liku wilayah Yogyakarta.
Tidak terlalu keliru kiranya kalau tembang berirama Pocung - salah sebuah produk budaya/seni  Jawa - ini dikatakan sebagai salah satu hal yang membuat Yogyakarta menjadi istimewa. Bukan lantaran irama tembangnya hebat, atau liriknya sedemikian dalam sehingga menyentuh sanubari, melainkan semata karena kandungan isinya sungguh mengena, sungguh khas, sungguh istimewa, manakala diterapkan bagi Yogyakarta. Hal demikian kiranya juga berlaku bagi tembang-tembang berirama lain. Bahkan juga tembang modern berirama kroncong bertajuk ‘Putri Mataram’ yang bertutur ihwal sosok ideal wanita Yogyakarta berdasar kaidah-kaidah etika Jawa.
Keistimewaan semacam itu tersebar dalam segala seluk beluk hidup warga Yogyakarta. Keistimewaan semacam itu merasuk ke dalam berbagai aspek hidup orang Yogya atau warga Yogyakarta antara lain dalam: filosofi, ajaran moral, tata krama atau etiket, budaya, seni, bahasa, atau apa pun – terutama yang bercirikan tradisional, atau mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Maka, tidak mengherankan kalau dalam hal bahasa atau dalam hal bertutur kata, misalnya, orang Yogya mempunyai dialek serta khazanah kata yang khas atau berbeda dengan orang dari daerah lain. Orang Yogya, misalnya,  memiliki kosa kata khas je (yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun) untuk memberikan tekanan, atau aksen, atau nuansa bahasa yang khas; sementara orang Sala (yang secara salah kaprah dilafalkan menjadi Solo) memiliki kosa kata khas no, yang senada dengan je, sebagaimana orang Madura mempunyai kosa kata senada yakni taiye.
Dalam hal busana tradisional warga Yogyakarta mempunyai model atau gaya yang khas, alias istimewa. Surjan, beskap, blangkon, corak batik, keris   adalah sebagian dari busana  pria yang khas, yang berbeda dengan busana dari daerah lain, bahkan dengan gaya Surakarta atau Sala, meski sesama kerajaan Jawa yang mempunyai akar sejarah yang sama. Kekhasan itu juga bisa dikatakan sebagai sebuah keistimewaan, sebab bukan hanya gaya, atau model, atau pernik-perniknya yang khas,  melainkan juga filosofi yang melatarbelakangi gaya atau model itu. Di dunia fesyen orang mengenal kekhasan batik Yogyakarta yang didominasi oleh corak latar putih (berlatarbelakangkan warna putih), yang berbeda dengan batik Surakarta, batik Pekalongan, batik Lasem, batik Banyumasan, atau batik Madura, dan  sebagainya.
Demikian juga halnya di bidang seni. Di bidang seni tari, seni pewayangan, seni karawitan, misalnya, orang Yogyakarta mempunyai gaya yang juga khas. Maka tidak mengherankan kalau kemudian dikenal ada seni tari, seni pewayangan atau pedalangan, atau seni karawitan gaya Yogyakarta – yang khas alias istimewa – yang berbeda dengan gaya Surakarta. Kalau toh kedua daerah ini sama-sama memiliki seni panggung berujud wayang wong (wayang yang dimainkan oleh orang, bukan orang-orangan yang terbuat dari kulit), tetap saja berbeda. Di Yogyakarta wayang wong ini disebut langendriyan dan langen mandra wanara, dengan tampilan yang lebih menekankan dialog dengan tembang atau dengan nada dan lirik yang puitis (semacam opera),  sementara di Surakarta lebih dikenal wayang wong dengan tampilan bergaya teatrikal modern dengan dialog-dialog yang lugas.
Keistimewaan lain dari Yogyakarta, yang tersebar di seluruh sudut-sudut  kota atau wilayah adalah nama-nama tempat (jalan, kampung, daerah, lembaga, gedung, dll) dengan nama yang khas. Kekhasan itu tercermin dari cara penamaan yang  juga khas. Dahulu, orang Yogya tidak memberi nama jalan atau daerah secara simbolik sebagai kenangan, atau penghormatan, terhadap seseorang
langsung menunjuk pada seorang tokoh, atau sekelompok orang, atau fungsi/karya  suatu kelompok masyarakat.  Caranya, dengan memberikan imbuhan berupa akhiran:  an di belakang nama tokoh, pekerjaan, atau sekelompok orang tersebut.  Maka jadilah nama, misalnya, Gondakusuman (dari kata Gondakusuma + akhiran an  à Gondakusuma-an à Gondakusuman) untuk menamai suatu wilayah yang ditinggali oleh seorang bangsawan bernama Gondakusuma beserta kerabat dan para abdi yang bekerja padanya, dan orang-orang lain yang ngindhung atau magersari di tanah milik si bangsawan.
Atau, jadilah nama Tukangan, (tukang + an à Tukangan)  karena wilayah itu dihuni atau menjadi wilayah konsentrasi para tukang. Atas inisiatif dan kebijakan raja (Sultan) para tukang diberi tempat khusus agar mereka mudah dicari, atau agar terjadi interaksi yang saling memberdayakan di antara mereka. Sementara itu, kendati juga termasuk tukang, namun karena pekerjaaannya lebih spesifik, misalnya tukang emas, ditempatkan di suatu areal tersendiri yang disebut Kemasan. (Catatan: kemasan juga bisa berarti hal ihwal seputar emas). Atau, jlagra, tukang yang bekerja membuat peralatan dari batu, antara lain nisan, dikumpulkan di suatu lokasi yang disebut Jlagran (Jlagra + an à Jlagran).. Sementara itu, kawasan yang dihuni oleh mayoritas etnis Cina dinamakan Pecinan (Pe-cina + an à Pecinan)..
Penamaan dengan cara demikian rasanya sungguh enak, serta mengena karena mengandung nilai historis dan sosiologis yang mendalam, serta mampu memberikan nuansa tersendiri bagi keistimewaan Yogyakarta.  Nama-nama itu lantas terasa hidup, fungsional, serta membumi. Nama-nama itu khas dari daerah setempat, bukan barang asing yang diusung dari luar lantas ditempelkan sehingga terkesan imitasi.
Sesungguhnya, nama Bidara Cina untuk menamai suatu kawasan tertentu di Jakarta  yang dihuni oleh sekelompok etnis Tionghoa, misalnya, rasanya lebih pas, lebih kena , bagi warga setempat, daripada apabila kawasan itu, dinamakan Jalan Diponegoro. Meski harus diakui Pangeran Diponegoro adalah nama sosok atau figur pahlawan besar. Namun nama Bidara Cina, terasa lebih bermakna karena mempunyai relasi historis-sosiologis yang kental dengan warga penghuninya.
Demikian pula halnya dengan nama Gandhekan, di Yogyakarta, jauh lebih pas untuk menyebut kawasan atau kampung yang dahulu dihuni oleh utusan raja yang dalam budaya Jawa disebut gandhek/gandhik, daripada kalau kawasan atau kampung itu dinamakan Kampung Kartini, misalnya. Nama yang disebut terakhir ini akan terasa hambar sebab tidak ada ikatan historis – sosiologis dengan warga kampung yang bersangkutan. Meski mereka sangat mengagumi R.A. Kartini, sosok pahlawan nasional di bidang emansipasi itu.
Kala itu penamaan suatu tempat, kampung  atau jalan, biasanya juga dihubungkan dengan suatu harapan, cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai bersama. Nama Ngayogyakarta Hadiningrat (yang sekarang lazim dilafalkan menjadi Yogyakarta) mengandung cita-cita semoga kerajaan atau wilayah yang dibangun oleh bangsawan yang luhur (Hadiningrat) itu pantas (Nga- yogya) menjadi daerah yang ramai (karta) - dalam arti makmur dan sejahtera. Sementara itu stadion utama (kala itu) dinamakan Kridhasana (diindonesiakan menjadi Kridosono) sebab merupakan tempat (sana, sasana) bagi berlatih (kridha). Jalan yang menuju ke tempat berlatih dinamakan Margakridhangga artinya jalan menuju atau ke arah tempat berlatih. (Catatan: nama jalan ini sekarang berubah menjadi Jalan Achmad Jazuli).                
Menilik data-data historis-sosiologis seperti di atas, maka sejatinya mempertahankan nama Gandhekan, Beskalan, Pajeksan, dan/atau nama-nama jalan atau wilayah lain tempo doeloe di Yogyakarta yang khas itu, adalah sebuah tindakan yang arif. Dan, kalau dimungkinkan, mengembalikan nama-nama baru ke nama-nama asli/semula, adalah sungguh tepat dan terpuji. Sesungguhnya tindakan  inilah yang layak disebut sebagai kearifan lokal yang searif-arifnya. Dengan demikian Yogyakarta menjadi sungguh-sungguh khas, berbeda dengan kota mana pun, alias istimewa.
Nama-nama itu, yang mencirikan Yogyakarta sehingga menjadi khas atau istimewa seakan bisa bertutur ihwal sebuah wangsa dan masa yang sungguh mempunyai kaitan historis yang kental Karenanya, bagi yang berminat dengan sungguh mencermatinya,  kekhasan atau keistimewaan demikian pada gilirannya akan bisa menjadi sarana pembelajaran akan masa silam yang menjadi alas bagi masa kini dan masa depan. Dengan perkataan lain generasi kini dan mendatang bisa tidak kehilangan akar budayanya. Kalau bangsa Jepang bangga dengan nama-nama Hirosima, Nagasaki, dan sebagainya; serta bangsa Amerika, demi rasa hormat terhadap bangsa pribumi, tetap memakai nama-nama seperti Minesota, Utah, Iowa, Oklahoma – dan sebagainya,  yang dipungut dari budaya Indian, adalah sudah pada tempatnya kalau warga Yogyakarta juga bangga dengan nama-nama lokal seperti Klitren, Beskalan, Ketandhan, Bausasran, Bintaran, Gondamanan, dan sebagainya. Nama-nama lokal itu sejatinya sungguh berakar pada sejarah serta tata kehidupan masyarakat yang konkret, dan karenanya sungguh tidak kalah bermakna dengan nama-nama baru yang pada umumnya diciptakan dengan pertimbangan-pertimbangan politis sesaat atas dasar kebijakan rezim yang berkuasa.
Dilatarbelakangi oleh semangat mencintai serta bangga atas budaya lokal semacam itulah mengapa artikel ini dihadirkan. Bagi para kalangan tua semoga bisa menjadi semacam sarana bernostalgia. Sementara, bagi kalangan muda, mudah-mudahan bisa menjadi sarana pembelajaran akan sejarah masa silam serta bisa memetik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk tujuan-tujuan itu tulisan ini sengaja ditampilkan tidak semata dalam wujud literer – yang pada umumnya terkesan berat atau melelahkan, namun dipadu dengan suguhan visual yang memadai, sehingga terkesan menghibur.  Semoga bermanfaat.


Catatan:
1. Bapak Pocung = kata ini sebenarnya tidak bisa diterjemahkan. Kata ini biasa digunakan untuk menggantikan sebuah istilah, atau untuk menggantikan subyek yang dipersoalkan, atau dirahasiakan untuk ditebak, atau untuk dijelaskan. Kira-kira sepadan dengan kata ‘anu’
2. loji = sebutan untuk menyebut bangunan besar berdinding tembok, yang bagus, yang umumnya
ditinggali oleh orang Belanda atau bangsawan. Sementara rumah-rumah penduduk pada waktu itu
pada umumnya berdinding gedheg (anyman bambu) atau papan, atau ‘kotangan’ (setengag tembok setengah papan/gedheg). Di dalam tembang ini kata ‘loji’ digunakan untuk menyebut Benteng Vredeberg, tempat tinggal para prajurit Belanda. Benteng ini terletak di sebelah Timur Laut perempatan jalan Titik Nol Kota Yogyakarta (sampai sekarang benteng ini masih ada). Dari perempatan ini jika berjalan ke arah timur orang akan sampai di jalan atau wilayah yang disebut Gondamanan (sekarang: Jl. Brigjen Katamso).
3. Desa Mlati dan Desa Denggung, yang terletak di utara kota Yogyakarta, sampai sekarang masih ada Kata ‘negara’ , dulu, oleh orang-orang yang tinggal di desa, biasa digunakan untuk menyebut kota atau kraton, atau pusat kerajaan. Kata ‘negara’ biasa dilawankan dengan kata ‘desa’, sehingga muncul istilah ‘wong negara’ atau ‘orang kota’ – yang berkonotasi: baik, maju, modern, dsb dengan istilah ‘wong desa’ – ‘orang desa’ - yang berkonotasi: buruk, ketinggalan, dan kuno.





Kraton Yogyakarta

            Tatkala membicarakan ihwal Kota Yogyakarta kita tidak bisa membicarakannya tanpa menyebut atau membicarakan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang lazim disebut  Kraton Yogyakarta. Sebab, bukan hanya karena kata Yogyakarta berasal dari nama kerajaan ini, melainkan terlebih karena kraton merupakan jiwa atau roh dari segenap hal yang dihidupi oleh rakyat Yogyakarta. Kraton Yogyakarta merupakan sebuah titik pangkal,  mata air, atau benih bagi lahirnya sebuah kota, sebuah propinsi, atau sebuah entitas yang bernama Yogyakarta.
            Kraton bukan sekadar tempat tinggal raja dan keluarganya, serta pusat pemerintahan (dahulu), melainkan adalah  jantung serta nafas kehidupan bagi segenap kawula Ngayogyakarta Hadiningrat – yang mengakui raja bukan hanya selaku kepala pemerintahan, melainkan terlebih sebagai payung (songsong agung) bagi segenap rakyat yang diyakini mampu memberikan perlindungan (dari tindak ketidakadilan) serta  keteduhan hati (dari berbagai keresahan dan ketidakpastian hidup), serta sebagai panutan.
            Kraton adalah pusat budaya – yang mengejawantah dalam bentuk berbagai seni, antara lain seni tari, seni musik (tembang, karawitan, dll), seni panggung (wayang kulit, wayang orang, dll), bahasa, dan lain-lain. Kraton juga menjadi kiblat dalam banyak hal, baik yang bersifat material - seperti busana atau fesyen, makanan atau kuliner, arsitektur, dll, maupun yang bersifat spiritual - semisal etika, nilai-nilai moral, atau tata krama,  serta filosofi hidup dan tradisi-tradisi yang berkenaan dengan daur hidup.
            Ungkapan “Adoh ratu cedhak watu” , yang secara harfiah berarti: jauh dari raja, dekat dengan batu, misalnya, bermakna sebagai sebuah pengakuan dengan nada merendah atau rendah hati, bahwa orang yang tinggal di desa (dekat batu atau dekat gunung) itu memiliki tata krama yang lebih rendah atau kurang tepat jika dibandingkan dengan orang yang tinggal atau berada di dekat raja alias di kota atau di dekat pusat nilai-nilai hidup atau etika. Ungkapan ini juga bisa dimaknai sebagai sebuah pengandaian bahwa orang yang tinggal dekat raja, atau dekat dengan nilai-nilai budaya, selayaknyalah kalau mempunyai sikap batin/rohani (antara lain pemikiran, budi pekerti, dll) dan sikap jasmani (antara lain tata krama, unggah-ungguh, etiket, dll) yang lebih terpuji dibandingkan dengan orang yang tinggal dekat batu/gunung alias di desa yang jauh dari nilai-nilai budaya. Intinya, ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa dalam hal nilai, baik secara spiritual maupun secara material, bagi warga Yogyakarta kraton merupakan kiblat.
            Ihwal tradisi yang berkenaan dengan daur hidup, upacara perkawinan tradisional, misalnya, mulai dari pernik-pernik perlengkapan atau ubarampe sampai dengan tata laksana upacara  yang berlaku di kraton, juga menjadi kiblat atau pola yang diikuti oleh segenap warga Yogyakarta. Meski, dengan berbagai macam pertimbangan, dilakukan penyesuaian atau penyederhanaan di sana sini. Berdasarkan fakta-fakta semacam itulah maka seyogyanya paparan ihwal keistimewaan Yogyakarta dimulai dari kraton.
             Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dalam perkembangan sejarahnya menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam keseharian lazim diucapkan Yogyakarta), semula adalah sebuah kerajaan. Kerajaan ini didirikan sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) – yang menyepakati untuk memecah kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Surakarta)  dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta).  Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan/Sunan Pakubuwono II,  dinobatkan sebagai raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama ingkang Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat.


(fotoà repro dari lukisan: Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwana I,
Hamengkubuwana II, III, IV, V, Vi, VII, VIII, IX, X. à sebisa mungkin à foto dari lukisan Hamengkubuwana

Logo: Ha-Ba


            Setelah dinobatkan sebagai raja dengan wilayah kekuasaan meliputi, antara lain: Bagelen, Bumigede, Kedu, Yogyakarta, Ponjong, Sukawati, Bajanegara, Cirebon, Grobogan, Kartasura, Kuwu, Madiun, Magetan, Majakerta, Ngawi,  Pacitan, Sela, Tulungagung dan Wanasari, Pangeran Mangkubumi lantas membangun kraton sebagai tempat tinggal raja dan keluarga, serta  pusat pemerintahannya. Dengan perhitungan yang masak dan cermat, berdasarkan pertimbangan letak dan kontur tanah,  dipilihnya daerah yang strategis serta aman dari bahaya banjir. Untuk tujuan itu dia melaksanakan babad alas (membuka hutan) yang terletak di daerah Bering. Alas atau daerah ini terletak  di antara dua sungai besar: Winanga dan Code.  Dalam tata ruang yang dirancangnya di daerah bekas alas Bering itu kelak dibangun sebuah pusat perekonomian, sebuah pasar,     yang kemudian – merujuk pada nama asal daerah itu - diberi nama Beringharja, artinya: (alas) Bering yang ramai atau yang memberi kesejahteraan atau kemakmuran bagi banyak orang. Sementara itu keraton (dalam bahasa Jawa juga disebut kedhaton), sebagai pusat pemerintahan dan tempat tingggal raja dan keluarganya dibangun sekitar seribu meter di selatan bekas  alas Bering.


Pasar Beringharjo




            Tata ruang yang dirancang oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I,  juga didasarkan pada filosofi keblat papat lima pancer. Menurut filosofi ini kraton atau pusat pemerintahan terletak di tengah, sebagai titik pusat, yang dikelilingi oleh empat penjuru mata angin yang direpresentasikan oleh gunung (utara, mewakili unsur pertanian), pasar (timur,  mewakili unsur perekonomian), laut (selatan, mewakili unsur perdagangan), serta masjid (barat, mewakili unsur kerohanian).
            Filosofi keblat papat lima pancer juga diterapkan dalam organisasi pemerintahan. Raja, sebagai pemegang kekuasaan pusat, dibantu oleh empat orang bupati yang berkedudukan di empat penjuru mata angin,  yakni: utara (Bupati Sleman), timur (Bupati Wonosari), selatan (Bupati Bantul), serta barat (Bupati Kulon Progo).
            Selain mendasarkan pada filosofi keblat papat lima pancer dalam mendesain pusat kerajaannya Pangeran Mangkubumi tidak sekadar memperhitungkan unsur-unsur matematis dengan memasukkan parameter yang bersifat fisik-material, seperti: lansekap, kontur, jenis tanah, dan sebagainya,   melainkan  juga mempertimbangkan unsur-unsur non fisik-spiritual. Dalam pemikiran dan penghayatannya sebagai orang Jawa – yang dikenal memiliki kepekaan batin yang mendalam - kraton bukanlah bangunan yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal  yang ada di sekitarnya. Kraton berada di dan oleh hal-hal yang melingkupinya, baik secara fisik-material maupun secara non fisik-spiritual. Itulah sebabnya Pangeran Mangkubumi meletakkan kraton yang dibangunnya berada di antara dua unsur alam, yakni: Gunung Merapi (utara) dan Samudera Hindia (selatan) – yang diyakini memiliki  kekuatan, baik secara fisik-metarial maupun secara non fisik-spiritual - yang teramat besar. Dengan menempatkan kraton di antara dua kekuatan besar ini seakan dia berharap agar kraton mendapatkan tuah atau berkah (ngalap berkah) dari kekuatan gaib yang dimiliki oleh dua unsur alam ini.
            Pemikiran dan penghayatan ini diaplikasikan dengan cara menempatkan kraton berada pada  satu garis imajiner lurus dengan kedua unsur alam tersebut. Jika ditarik dengan garis   tampak bahwa : Tugu, Pangurakan,  Alun-Alun Lor, Pagelaran, Sitinggil (utara), Kraton Dalam, Sitinggil (selatan), Plengkung Gading, dan Krapyak, berada pada satu garis  lurus. Dan, ujung dari kedua garis lurus itu adalah Gunung Merapi (utara) serta Samudera Hindia atau Segara Kidul (selatan).  Sementara itu Pasar Gedhe Beringharjo, representasi kegiatan fisik (ekonomi) berada di sebelah timur garis, dan masjid, representasi kegiatan non fisik (rohani, spiritual) berada di sebelah barat garis.



(ilustrasi denah kraton yang berada pada  satu garis lurus dengan Gunung Merapi – Laut Selatan)



  1. Gunung Merapi,
  2.  
  1. Jalan Mangkubumi/Malioboro/Pasar Beringharjo/Titik Nol/Pangurakan/Alun-alun Lor/Pagelaran
  2. Alun-alun Kidul/Ringin Kurung Kidul/Plengkung Gadhing
  3. Krapyak



            Menurut kosmologi Jawa jagad  (alam) ini terbagi atas  tiga bagian, yakni jagad dhuwur (alam atas), jagad tengah (alam tengah) dan jagad ngisor (alam bawah). Alam atas  dihuni oleh paraa dewa,  alam tengah dihuni oleh manusia, sedang alam bawah dihuni oleh kekuatan atau roh jahat. Masing-masing alam terbagi lagi menjadi tiga bagian sehingga jika dijumlah semuanya menjadi tujuh  bagian, tiga bagian atas, satu bagian tengah dan tiga bagian bawah. Seturut konsep kosmologi Jawa ini Pangeran Mangkubumi merancang komplek kraton atas  tujuh bagian. Bagian-bagian itu, dimulai dari depan ke belakang,  adalah:
1.      Alun-alun Lor, mulai dari Pangurakan/Pamurakan sampai ke Sitingggil Lor;
2.      Keben atau Kemandhungan Lor;
3.      Sri Manganti –( ketiganya merepresentasikan jagad dhuwur atau alam atas);
4.      Kedhaton atau Pusat Kraton – merepresentasikan jagad tengah/madya atau alam tengah;
5.      Kemagangan;
6.      Kemandhungan Kidul;
7.      Alun-alun Kidul, dari Sitinggil Kidul sampai ke Plengkung Gadhing – (ke tiga bagian yang disebut belakangan ini merepresentasikan jagad ngisor atau alam bawah).


(ilustrasi bagian-bagian kraton berdasarkan kosmologi Jawa)


Selain itu Pangeran Mangkubumi juga merancang kraton berdasarkan prinsip konsentrik, yakni dari  kraton – sebagai titik pusat melebar ke luar,  sehinggga kraton dan lingkungannya bagaikan kawasan yang berlapis-lapis. Semua ada lima lapisan. Ke lima lapisan itu adalah:

1.      Lapisan kelima, lapisan terluar, terdiri dari: Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di Alun-alun Lor terdapat bangunan, antara lain: Mesjid Gedhe, Pekapalan, Pagelaran dan Pasar Gedhe. Ke empatnya membentuk satu kesatuan yang lazim disebut Catur Gatra Tunggal  (empat bentuk atau empat bangunan yang menyatu). Sementara itu di Alun-alun Kidul terdapat kandhang gajah. Bangunan lain yang termasuk lapisan terluar adalah kepatihan  (sebagai sekretariat atau sarana birokrasi), serta beteng (sebagai sarana pertahanan yang mengitari seluruh bagian kraton). Untuk masuk ke kraton ada sembilan pintu masuk atau gerbang, yakni: Gerbang Pamurakan (depan), Gerbang Brajanala, Gerbang Srimanganti, Gerbang Danapradapa, Gerbang Kemagangan, Gerbang Gadhung Mlathi, Gerbang Kemandhungan, Gerbang Gadhing, dan Gerbang Tarub Agung.
Sementara itu pada benteng yang mengelilingi kraton terdapat lima pintu yang disebut Plengkung, yaitu:
Plengkung Gadhing/Nirbaya (Selatan),
Plengkung Wijilan/Tarunasura (Timur Laut),
Plengkung Madyasura (Timur), yang juga disebut Plengkung Buntet,
Plengkung Jagabaya (Barat Daya), dan
Plengkung Jagasura (Barat)


2.      Lapisan keempat terdiri atas Sitinggil Lor dan Sitinggil  Kidul. Di Sitinggil  Lor terdapat Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur Tangkil, yang biasa digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan upacara kenegaraan. Sedang Sitinggil Kidul digunakan sebagai tempat untuk melihat latihan para prajurit yang dilaksanaakan  di Alun-alun Kidul. Masing-masing Sitinggil dikelilingi oleh jalan yang disebut Supit Urang atau Pamengkang.

3.      Lapisan ketiga berupa Plataran Kemandhungan Lor dan Plataran Kemandhungan Kidul. Kawasan ini merupakan area transisi untuk menuju ke pusat kraton. Di Plataran Kemandhungan Lor terdapat Bangsal Pancaniti – yang digunakan oleh sultan untuk mengadili perkara khusus yang ditangani raja. Kedua plataran ini juga berfungsi sebagai area para abdi dalem (abdi raja) untuk menghadap raja.

4.      Lapisan kedua terdiri atas: Plataran Sri Manganti - dengan Bangsal Sri Manganti, sebagai ruang tunggu untuk  menghadap raja, dan Bangsal Trajumas. Di lapisan kedua ini juga terdapat Plataran Kemagangan dengan Bangsal Kemagangan.

5.      Lapisan pusat atau terdalam adalah Kedhaton yang terdiri atas Tratag, Pendhapa dan Pringgitan Dalem



(Ilustrasi berdasarkan prinsip konsentrik)



Foto-foto:
  1. Pintu masuk ke pusat kraton; arca di kiri kanan pintu masuk; Tratag; Pendhapa, Pringgitan Dalem;
  2. Plataran Sri Manganti à Bangsal Sri Manganti; Bangsal Trajumas; Plataran Kemagangan à Bangsal Kemagangan
  3. Plataran Kemandhungan; Bangsal Pancaniti;
  4. Sitinggil; Bangsal Witana; Bangsal  Manguntur Tangkil; à upacara kenegaraan; pemandangaan dilihat dari (jendela/pintu) Sitingggil Kidul (melihat latihan prajurit); Supit Urang/Pamengkang
  5. Kepatihan;  Pekapalan; Masjid Besar;  Kandhang Gajah

Salah sebuah bastion yang masih tersisa. Bangunan yang merupakan sepotong tembok benteng yang terletak di barat-laut kraton merupakan satu dari tiga bastion yang masih ada.



Pada benteng Kraton Yogyakarta terdapat lima pintu gerbang yang terletak di  timur (gerbang Madyasura), Timur-laut (gerbang Taunasura atau lazim disebut Pelngkung Wijilan),  barat (gerbang  telah hancur. Pintu gerbang yang terletak di bagian selatan, gerbang Nirbaya, atau yang lazim disebut Plengkung Gading, merupakan satu-satunya pintu gerbang yang masih tersisa.




Nama-Nama nan Istimewa


Tugu Pal Putih
            Bangunan yang berstatus sebagai monumen ini dibangun sekitar tahun 1755-1756 pada masa  pemerintahan  Sultan Hamengku Buwana I, pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.  Monumen yang berbentuk tiang bulat-panjang (gilig) dengan batu bundar (golong) di atasnya – sehinggga disebut tugu Golong Gilig – berada di tengah-tengah sebuah perempatan yang menghubungkan keempat tempat penting. Ke empat tempat yang amat bermakna bagi kraton Yogyakarta itu, menganut  filosofi keblat papat lima pancer,  mewakili empat penjuru mata angin.
            Bangunan tugu yang berujud golong-gilig mengandung makna sebagai: ‘tekad yang kokoh-teguh-kuat’ rakyat Yogyakarta untuk membangun-memelihara-mempertahankan wilayahnya. Juga, sebagai lambang ‘menyatunya raja dengan rakyat’ yang lazim diungkapkan dengan semboyan Manungggaling kawula Gusti.
            Dari tugu  ini dibuatlah  jalan lurus ke utara menuju ke Gunung Merapi lewat bukit Turgo. Gunung Merapi, dalam filosofi Jawa, dipercaya mempunyai kekuatan besar, baik secara gaib maupun secara sekular,  yang  mempengaruhi kehidupan rakyat Yogyakarta. Gunung Merapi diyakini, baik secara spiritual maupun secara material, menjadi sumber kehidupan, menjadi berkat, bagi warga Yogyakarta. Karenanya layak kiranya kalau Gunung Merapi diperlakukan dengan takzim. Untuk itu dipandang perlu sultan mengangkat seorang juru kunci. Seorang juru kunci bukan sekadar sebagai karyawan penjaga gunung – yang bertugas untuk mengingatkan penduduk agar tidak merusak lingkungan, melainkan terlebih sebagai ‘abdi dalem’ yang bertugas sebagai  pemegang kekuasaan spiritual. Kepadanya dibebankan tugas memimpin upacara/ritual labuhan yang diselengggarakan oleh raja pada waktu-waktu tertentu, antara lain hari tingalan dalem (hari kelahiran raja), atau hari jumenengan (hari ulang tahun raja naik takhta). Sebagai penghargaan dari raja seorang si juru kunci diberi pangkat (antara lain bekel, atau  lurah) serta nama khusus yang berkenaan dengan tugas yang diembannya, yakni: Suraksa Harga, artinya: penjaga gunung yang baik. Beberapa waktu yang lalu, sebelum Gunung Merapi meletus pada 27 Mei 2006 jabatan sebagai juru kunci Gunung Merapi diemban  oleh Mbah Marijan.
Ke selatan ada jalan lurus menuju  istana. Jalan lurus ini berhenti di Alun-Alun Lor dan Pagelaran, kemudian disambung keluar dari Alun-Alun Kidul luruh menuju ke Segara Kidul atau Laut Selatan melalui Panggung Krapyak.
 Sebagaimana halnya dengan Gunung Merapi yang diyakini memiliki kekuatan gaib, demikian pula Laut Selatan. Namun, sedikit berbeda dengan Gunung Merapi yang lebih banyak dipercaya memberikan berkat, Laut Selatan justru lebih banyak dipercaya memiliki kekuatan yang bernuansa buruk atau memberikan malapetaka. Tidak mengherankan kalau di kawasan -yang secara mitologis dipercaya sebagai kerajaan yang diperintah oleh Kanjeng  Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) ditemui banyak larangan atau tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar oleh mereka yang berkunjung ke sana. Intinya sebenarnya sama, yakni Laut Selatan juga harus diperlakukan dengan takzim, namun bukan dengan anjuran melainkan dengan larangan-larangan, sehingga segi magis atau kegaiban semakin kuat. Untuk itu Sultan juga mengangkat seorang abdi dalem  yang bertindak sebagai  juru kunci. Dia juga diberi pangkat dan nama yang setara dengan abdi dalem juru kunci Gunung Merapi yang tugasnya tidak jauh berbeda dengan juru kunci Gunung Merapi.
Dari perempatan tugu Golong Gilig ini ada dua jalan lagi, yang satu ke arah timur, yang satunya lagi ke arah barat. Ke arah timur jalan dari perempataan tugu Golong Gilig itu lurus (maksudnya asal tidak beralih jalan) sampai di depan Pagelaran kraton Surakarta. Sementara,  ke barat, jalan dari perempatan tugu itu menuju ke perbukitan Menoreh, tempat kerajaan Mataram kuno dahulu berdiri. Lewat keberadaan dua jalan ini sepertinya Pangeran Mangkubumi ingin menegaskan sekaligus mengakui  asal mula takhta yang didudukinya.
Ke arah timur ada sepenggal jalan yang bernama Gondalayu, artinya: bau kematian. Tentu saja nama yang bisa membuat orang merinding ini menimbulkan pertanyaan: apa maksudnya? Selidik punya selidik, ternyata jalan dari perempatan Tugu ke arah timur menuju ke Kraton Surakarta, selain dimaksudkan sebagai sarana transportasi dan komunikasi antara kedua kraton, Yogyakarta dengan Surakarta, juga dirancang sebagai jalan bagi iring-iringan jenazah manakala ada raja atau kerabat raja Surakarta yang wafat. Iring-iringan jenazah yang bakal menuju ke komplek makam raja-raja Mataram ini melewati penggalan jalan di timur tugu. Itulah alasannya mengapa jalan itu dinamakan Gondalayu, bau kematian. Namun, dengan dalih untuk memberikan penghormatan kepada salah seorang pahlawan bangsa, yang pernah berkiprah di Yogyakaarta dan sekitarnya,  jalan Gondalayu * sekarang berubah menjadi Jalan Jendral Sudirman.  

Karena jarak dari Surakarta ke Yogyakarta cukup jauh, sekitar 75KM, di tengah perjalanan iring-iringan jenazah perlu beristirahat sejenak. Ada  satu tempat yang dijadikan semacam pangkalan tetap untuk beritirahat, atau untuk nggantung laku. Tempat itu, di sebelah barat kota Klaten, ditumbuhi oleh sebuah pohon bendha yang besar. Di tempat inilah iring-iringan jenazah beristirahat sejenak untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke Imagiri lewat Yogyakarta. Tempat pohon bendha yang digunakan untuk nggantung laku, yang terletak di tepi barat kota Klaten, ini disebut Bendha Gantungan.

Sayang sekali ujud tugu Golong Gilig yang aslinya setinggi 25 meter itu sekarang tidak lagi bisa disaksikan. Pada 10 Juni 1867  gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya merobohkan tugu yang bersejarah ini, serta meratakannya dengan tanah. Untuk waktu yang cukup  lama perempatan bekas tugu dibiarkan kosong. Pada zaman pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII  oleh Pemerintah Hindia Belanda dibangunlah tugu baru sebagaimana ujudnya sekarang yang diberi nama De  Witt Paal atau  Tugu Pal Putih (karena warnanya yang serba putih). Sayang sekali, kendati secara arsitektural tetap bergaya Jawa, serta mengandung nilai-nilai atau filosofi Jawa – dengan simbol-simbol yang melekat padanya, tugu baru setinggi 15 meter ini bukan lagi hasil karya cipta warga Yogyakarta, melainkan karya orang Belanda. Perancangnya seorang Belanda bernama JWSW van Brussel, pegawai pada Opzichter van Waterstaat (sekarang Dinas Pekerjaan Umum/DPU). Tidak mengherankan kalau pada bagian prasasti justru tercantum beberapa nama orang Belanda yang turut terlibat dalam  renovasi tugu yang berbentuk  persegi ini. Bahkan ada simbol yang yang oleh sementara orang dianggap kontroversial yakni: bintang Daud. Simbol ini diduga muncul karena pada zaman itu tengah berkembang sebuah gerakan ‘Mason Merdeka’ – yang memberi angin bagi tumbuhnya kesadaran akan kebebasan. Kecuali Sultan Hamengku Buwono VIII, beberapa tokoh lain seperti: RAS Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, Paku Alam VIII, RMAA Tjokroadikoesoemo, dr Radjiman Wedyodiningrat, serta beberapa pengurus Boedi Oetomo -  konon terbilang sebagai pengikut  gerakan ini.
Terlepas dari semua anggapan kotroversial itu bagaimana pun tugu baru, Tugu Pal Putih,  yang menggantikan tugu Golong Gilig yang telah sirna itu - sekarang sudah menjadi salah satu ikon yang kuat bagi kota Yogyakarta. Keberadaannya cukup fenomenal. Bahkan bagi orang-orang tertentu, orang luar yang pernah tinggal di Yogyakarta, keberadaan Tugu ini menggoreskan  kenangan emosional  yang cukup mendalam. Bagi mereka dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya berlaku kaidah: Yogyakarta tanpa Tugu, ibarat sayur  tanpa garam. Hambar!

Tugu, sebagaimana ujudnya sekarang, merupakan hasil renovasi atas tugu serupa buatan Belanda.
Renovasi terakhir dilaksanakan pada 18 Desember 2012.

  1. Tugu Golong Gilig (skets)
  2. Tugu Pal Putih (asli buatan Belanda)


Margautama
Margautama. Marga berarti jalan; utama artinya uatama, bisa berarti secara harfiah:  "jalan utama",  mainstreet, yakni jalan besar yang memiliki cabang jalan-jalan kecil. Atau, jalan yang paling besar dibandingkan dengan jalan-jalan lain di suatu daerah/kota. Namun juga bisa berarti secara  filosofis sebagai  "jalan keutamaan". Maknanya, jalan yang diharapkan mampu mengingatkan orang, khususnya warga Yogyakarta, agar sepanjang hidup senantiasa berjalan di jalan keutamaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan, serta mengarahkan diri ke keutamaan, agar dengan demikian layak dijuluki sebagai insan utama. Jalan ini membujur ke arah utara-selatan sepanjang sekitar 1000 meter dari Tugu Pal Putih sampai  palang  kereta api yang lazim disebut teteg sepur. Jalan ini sempat berubah nama menjadi Jalan Pangeran Mangkubumi untuk mengenang pendiri Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Di tepi sebelah timur jalan ini terdapat kantor redaksi Kedaulatan Rakyat - sebuah surat kabar harian yang terbit pada zaman kemerdekaan, serta bekas hotel TUGU - yang pada zaman kolonial dikenal sebagai tempat berkumpulnya kaum elite.

Maliabara
Dari sekian jalan yang ada di Yogyakarta Maliabara (Malioboro) merupakan jalan yang paling terkenal. Nama jalan yang panjangnya hanya sekitar 500 meter membujur dari arah utara ke selatan, dari teteg sepur sampai di perempatan selatan kepatihan, ini bahkan bukan hanya menjadi buah tutur di tataran nasional melainkan juga sampai ke mancanegara. Kalau orang berkunjung ke Yogyakarta rasanya belum merasa sreg di hati kalau belum menjejakkan kaki di Maliabara. Mengapa demikian? Tidak begitu jelas. Barangkali tidak bakal ada orang yang bisa menjelaskannya dengan gamblang dan memuaskan, apalagi penjelasan yang ilmiah akademis. Barangkali, karena Jalan Maliabara menjadi sentra bisnis, terlebih bisnis batik dan kerajinan khas Yogya. Apapun penjelasannya, yang pasti, (jalan) Maliabara harus diakui mempunyai daya magnet yang kuat bagi setiap orang yang datang di Yogyakarta. Itu faktanya.
Apa makna nama Maliabara (Malioboro), dan bagaimana sejarahnya sehinga nama ini bisa menjadi sedemikian melegenda? Ada beberapa pakar bahasa dan sejarah yang mencoba menjawab serta menguraikannya, sehingga muncul beberapa versi.
a. Versi Pertama:
    Menurut versi ini Maliabara dipungut dari kata: "Malika Bara". Kata ini adalah aba-aba yang diucapkan oleh seorang komandan kesatuan militer (bregada) yang ditujukan kepada anak buahnya agar mereka bersiap diri atau mengangkat senjata. Kira-kira senada dengan aba-aba pada kesatuan militer zaman sekarang: "Siap.....grak!", atau "Angkat senjata...grak!".
b. Versi kedua:
    Menurut pakar bahasa nama Maliabara (Malioboro) berasal dari Bahasa Sansekerta, yang berarti untaian atau rangkaian bunga. Konon dahulu, tatkala keraton menyelenggarakan perhelatan besar (berkenaan dengan upacara perkawinan salah seorang putra raja, atau tatkala diselenggarakan penobatan raja)  sepanjang jalan ini dihias dengan  rangkaian bunga. Karena satu-satunya jalan yang dihias dengan bunga-bunga yang wangi dan mempesona, tak pelak kalau jalan ini menjadi ajang tumpah ruahnya warga Yogyakarta. Hari-hari perhelatan semacam itu menjadi momen yang sangat dinanti-nanti oleh segenap warga yang amat respek terhadap raja mereka. Tradisi semacam ini rupa-rupanya berlanjut sampai sekarang. Pada hari-hari tertentu seperti: Hari Jadi kota Yogyakarta, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), perkawinan agung kerabat kraton, dan sebagainya, Jalan Maliabara tidak pernah tidak menjadi ajang warga kota untuk melampiaskan antusiasme terhadap kota mereka. 
c. Versi ketiga:
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata Maliabara (Malioboro) berasal dari nama seorang jenderal Inggris, Marlborough,  yang pernah tinggal di Yogyakarta. Namun tidak sedikit yang menyangkal pendapat ini. Sebab, menurut data sejarah, nama Maliabara (Malioboro) konon sudah ada sebelum pengede pasukan Inggris yang berhasil menjebol benteng kraton sebelah timur-laut dan tenggara.

Margamulya
Margamulya berarti "jalan mulia". Maknanya, sebuah petuah, nasehat atau ajaran agar dalam menjalani hidup seseorang hendaknya lebih mengutamakan atau mengejar kemuliaan, yakni hidup yang terpuji karena perilaku yang baik. Jalan yang membujur arah utara-selatan, kelanjutan dari Jalan Maliabara ini, dari perempatan selatan kepatihan sampai titik nol kilometer, karena kondisi politik sesaat, pernah diganti  namanya menjadi Jalan Ahmad Yani. Beberapa bangunan cagar budaya berada di tepi kanan-kiri jalan ini, antara lain: Pasar Beringharja, gereja kristen GPIB, sebuah menara sirene, sebuah jam listrik kuno zaman kolonial Belanda - yang hingga kini masih berfungsi, benteng Vredeburg, serta Gedung Agung.

Benteng Vrede atau Vredeburg
           Dengan dalih demi menjaga keamanan - meski sebenarnya dimaksudkan untuk mengawasi dan memata-matai keraton, pemerintah kolonial Belanda, yang diwakili oleh Nicolaas Harting,  meminta Sultang Hamenku Buwana I membangunkan sebuah benteng. Memenuhi permintaan ini pada 1760 Sultan HB I membangun sebuah komplek di sebelah utara, di luar tembok keraton. Semula komplek yang dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dan diperkuat oleh tiang-tiang bambu dan glugu (kayu pohon kelapa). Bangunan-bangunan di dalamnya yang berfungsi sebagai barak militer terbuat dari kayu. bambu dan beratapkan ilalang. Sebagaimana benteng pada umumnya di keempat sisi benteng ini terdapat gardu jaga atau bastion. Gardu-gardu jaga ini diberi nama: Jaya Wisesa, Jaya Purusa, Jaya Prakosaningprang dan Jaya Prayitna. 
          


Pamurakan atau Pangurakan
            Pada zaman kerajaan dahulu lazim ada tradisi berburu. Untuk mempraktekkan kemahiran memanah dan menombak serta menatar keberanian, para pangeran dan prajurit, pada waktu-waktu tertentu menyelenggarakan perburuan. Mereka berburu di hutan-hutan sekitar istana yang umumnya masih cukup lebat serta dihuni oleh banyak binatang buas.
            Setelah seharian berburu sore harinya mereka pulang. Sampai di ujung jalan yang menuju ke Alun-Alun Lor, di sekitar pintu gerbang utama, hasil perburuan itu  mereka purak (dipotong-potong untuk dibagikan). Tempat untuk murak (memotong-motong hewan hasil buruan) itu disebut Pamurakan atau Pangurakan. Tempat ini, sepenggal jalan mulai dari titik nol ke selatan sampai ujung utara Alun-Alun Lor,  sekarang berganti nama menjadi Jalan Trikora.  Nama Jalan Trikora digunakan untuk mengenang peristiwa bersejarah yakni saat Bung Karno, presiden pertama RI,  berpidato di Alun-Alun Utara Yogyakarta  mengumandangkan instruksi bagi seluruh rakyat Indonesia  yang lazim disebut Trikora (Tri Komando Rakyat).
            Pamurakan adalah jalan utama-depan untuk masuk  ke kraton. Di jalan ini terdapat gerbang utama kraton, yakni Gerbang Pamurakan, yang ditandai oleh dua pilar di kiri kanan jalan. Gerbang utama ini, manakala Pemda Yogyaakarta menyelenggaarakan Pekan Raya Sekaten, dijadikaan pintu masuk  utama ke area pekan raya yang diselenggarakan setahun sekali di Alun-Alun Lor.
           

Foto:
-          Gerbang Alun-Alun Lor (dari arah titik nol)
-          tampak kedua pilar kiri-kanan, dll


Stasiun Tugu
            Meskipun bukan yang pertama, stasiun  kereta api Tugu boleh dibilang  merupakan  satu dari sekian stasiun kereta api tertua  di Indoensia. ( sezaman dengan stasiun Kelijen dan Tanggung - 10 Agustus 1967;  stasiun Lempuyangan - 1872; dan stasiun Solo Balapan - 1870); Sebagaimana halnya dengan stasiun-stasiun kereta api yang lain, stasiun yang dioperasikan pertama kali pada 2 Mei 1887, ini dibangun untuk menunjang kepentingan pemerintah Belanda, yakni demi lancarnya pengiriman hasil bumi, terutama gula, dari Yogyakarta (dan Jawa Tengah) ke negeri Belanda, khususnya,  dan Eropa, pada umumnya.   Terlepas dari motivasi tak terpuji di balik pembangunan stasiun bergaya kolonial modern dengan cirri art deco-nya yang kental ini - yang hanya menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, stasiun kereta api yang telah berusia sekitar 125 tahun ini sekarang menjadi salah satu bangunan warisan sejarah kebanggaan warga Yogyakarta. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya yang panjang stasiun kereta api ini juga memiliki andil yang pantas dicatat dengan tinta emas. Stasiun kereta api ini pernah menjadi ajang sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yakni saat menyambut kedatangan  kereta api yang mengangkut pemimpin bangsa, Soekarno dan Hatta, tatkala mereka meninggalkan Jakarta menuju ke ibukota yang baru yakni Yogyakarta. Karena menjadi ajang peristiwa besar ini satsiun Kereta api Tugu dijuluki sebagai Stasiun  Boyong Praja’.
            Bukan itu saja, stasiun kereta api yang juga mengadopsi arsitektur lokal berupa bangunan berbentuk joglo pada salah bagiannya, ini juga menorehkan peristiwa manis dalam sejarah perjuangan bangsa. Peristiwa manis itu  terekam dalam lagu nan merdu ‘Sepasang Mata Bola’ karya Ismail Marzuki yang melegenda. Di stasiun kereta api ini pula pernah berseliweran gerbong penumpang kayu bertuliskan semboyan heroik ‘Hidup Ataoe Mati’.
            Stasiun kereta api yang dioperasikan pertama kali  oleh Staats Spoorwegen (SS) ini diberi nama STASIUN TUGU. Jelas, nama ini diadopsi dari bangunan tugu sebagai monumen Kraton Yogyakarta yang berada tidak jauh dari tempat stasiun kereta api ini. Dahulu stasiun Tugu mempunyai dua percabangan, yakni ke Bantul- Palbapang (ke selatan) dan ke Magelang-Parakan (ke utara). Sayang, seiring perkembangan zaman, ke dua percabangan ini justru tidak berkembang. Sebaliknya, dengan berbagai pertimbangan ekonomis, ke dua jalur yang pernah berjasa sebagai sarana transportasi bagi pelajar, karyawan dan pedagang yang berniat mengadu nasib di kota, terpaksa ditutup karena tidak mampu bersaing dengan moda transportasi lain yakni sepeda motor dan bus yang semakin mudah didapat dan semakin banyak jumlahnya. Apa boleh buat kiprah  sepoer troethoek atau sepoer kluthoek – julukan untuk sarana transportasi rakyat yang populer kala itu -  pada sekitar tahun 1960-an harus berakhir. Dengan ikhlas dia harus pergi untuk selamanya sembari membawa kenangan istimewa dari para penumpang yang pernah menikmati  jasanya. Seiring dengan kepergiannya ungkapan ‘ireng-ireng nek sepur, akeh sing ngenteni’* pun lenyap sudah. Generasi sekarang juga tidak lagi mengenal tebak-tebakan yang terekam dalam tembang Pocung: berikut ini:

            Bapak Pocung, dudu mega  dudu mendhung **
             Dawa kaya ula ancik-ancik wesi miring
            Lunga teka  si pocung ngumbar suwara.

            Namun, untuk melayani penumpang yang bepergian ke arah barat (Jakarta, dll), serta ke timur (Surabaya,  dll), Stasiun Tugu masih berperan aktif hingga sekarang. Bahkan boleh dibilang sebagai stasiun kereta api paling aktif untuk kawasan Jawa Tengah bagian  selatan.




Catatan:
(*) terjemahan bebas:
 hitam-hitam  lokomotiv,
 meskipun legam tetapi banyak yang menanti.
                Ungkapan ini, dengan nada menghibur, ditujukan kepada seorang gadis yang berkulit hitam manis agar dia tetap percaya diri. Meskipun kulitnya hitam si penghibur meyakinkan kepada si gadis bahwa akan tetap banyak jejaka yang menghampirinya, bagaikan lokomotiv (lokomotiv zaman dulu, yang digerakkan dengan mesin uap, ujudnya hitam legam karena terbuat dari baja tanpa dicat) , meskipun hitam legam, tetap ditunggu oleh banyak orang (calon penumpang).

(**)  terjemahan bebas:  
Bapak Pocung (maksudnya si anu – benda yang harus ditebak)
bukan awan bukan mendung
Panjang bagai ular, berdiri di atas besi baja miring
Manakala pergi atau datang (si anu) selalu bersuara (maksudnya 
membunyikan  isyarat/tanda)
        Jawaban dari tebakan ini adalah: kereta api, yang dalam bahasa Jawa disebut sepur (dari Bahasa Belanda spoor)


-          Foto loko yang dimuseumkan;


Stasiun TUGU 

Hotel Tugu
-          Hotel tertua (?), nama asli?
-          Sirene
-          Lambang gengsi tinggi kaum elite tempo dulu


Hotel Tugu sebagaimana ujudnya sekarang.
Hotel Tugu merupakan hotel tua yang turut mengisi sejarah kota Yogyakarta. 
Pada zamannya hotel ini tergolong tempat bkumpulnya kaum elite.
Bangunan yang tergolong warisan budaya ini sekarang tidak lagi berfungsi sebagai hotel.
Ciri khas bangunan ini adalah sbuah sirene yang bertengger di salah satu puncak gedung. 
Pada zaman perang kemerdekaan sirene ini berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada warga kota manakala ada serangan dari Belanda.


Kleringan


Kewek alias Kerkweg
            Sekarang bernama Jalan Abubakar Ali. Ini nama resmi dan tertulis dalam peta Yogyakarta sebagai ganti nama Jalan Margakridhangga yang mungkin didengar terasa amat lokal. Tetapi, bagi penduduk di sekitar jalan ini, terlebih generasi tua, ada nama lain yang lebih lokal lagi, atau tepatnya lebih membumi, yakni Kewek. Bagi yang belum mahfum barangkali dikira jalan ini sebagai area untuk kiprah gadis-gadis yang genit. Sebab kewek dalam bahasa Jawa berarti genit atau seksi.
            Bukan itu. Kewek adalah pelafalan oleh lidah Jawa dari kata Kerkweg (Belanda) yang berarti ‘jalan gereja’, karena di ujung jalan ini terdapat sebuah gereja yakni Gereja Katolik Santo Antonius yang lazim disebut Gereja Kotabaru. Bagi orang yang tinggal di ‘kota lama’, yakni Malioboro dan sekitarnya, yang akan menuju ke gereja ini, mereka harus melewati jalan ini serta menyebrangi sebuah jembatan yang di berada ujung lain jalan ini. Dengan lafal Jawa yang kental jembatan ini lantas disebut Kreteg Kewek. Maksudnya jembatan di jalan (ke/menuju) gereja. Pelafalan demikian, kata-kata dari Bahasa Belanda yang diucapkan oleh lidah awam Jawa sehingga terbentuk kata baru,   juga terjadi terhadap beberapa jalan atau tempat lain di Yogyakarta, misalnya: Kerkop (dari kata kerk hof yang berarti komplek pemakanan, untuk menyebut kuburan Belanda yang sebagian telah dibongkar dan sekarang dijadikan kawasan hiburan Pura Wisata), mBebel (dari kata , Kleringan, Kemetiran, mBeji, Pathuk, dll.

Foto:
-          Jembatatan di dekat tugu Adi Pura, sebelah selatan jembatan KA;
-          Bule/ Romo berjalan ke arah G. Kotabaru (?)
-          Lain-lain.



Pathuk

Beji --> dilafalkan: mBeji


Gemblakan
        Orang Jawa mempunyai perbendaharaan kata yang lengkap untuk menyebut profesi atau pekerjaan seseorang. Tempat tinggal atau kampung yang dihuni oleh sebagian besar orang yang berprofesi sama, misalnya tukang, disebut Tukangan. Untuk membentuk nama tempat tinggal atau kampung mereka  tingggal  menambahkan imbuhan (akhiran) an. Serta,  menurut kaidah pembentukan kata, kalau perlu, menambahkan awalan ka/ke atau pa/pe, seturut  tata bahasa. Jadilah,  misalnya: Patehan (pa-teh-an), yang berarti tempat tinggal  para juru teh alias orang yang tugasnya membuat minuman teh untuk disajikan kepada raja,  kerabat raja serta orang-orang yang bekerja di lingkungan kraton atau untuk  para tamu dalam suatu helatan kerajaan..
            Sementara itu para gemblak, yakni orang-orang yang berprofesi sebagai juru atau tukang membuat atau berbisnis  barang-barang kerajinan serta perlengkapan rumah tangga yang berbahan dasar kuningan, tinggal di kampung yang disebut Gemblakan. Kampung ini terletak  di sebelah selatan kampung Tukangan. Sekarang nama Gemblakan tidak lagi lazim disebut,  sebab sebagian besar penduduk  kampung ini tidak lagi berprofesi sebagai gemblak. Satu-satunya yang yang masih tersisa adalah Firma Gandi, pengusaha yang berisnis alat-alat penimbang yang bandul penimbangnya terbuat dari kuningan.
Catatan: Jalan Gemblakan sekarang berganti nama menjadi Jalan Mas Suharto. Nama ini didedikasikan sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Mas Suharto - yang dikenal sebagai orang yang berjasa bagi berdirinya sebuah lembaga yang bergerak di bidang pos dan telekomunikasi.

Pengok
            Orang Jawa, demikian juga Bahasa Jawa, memiliki kelenturan yang luar. Dari benda, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, dari suasana hati atau suasana sekitar, dari warna, dari bunyi, dan lain-lain, bisa terbentuk kata baru yang diterima oleh banyak orang sebagai sebuah nama yang sahih.
Nama Pengok, misalnya. Kata ‘pengok’ yang digunakan sebagai nama bagi kawasan yang terletak di sebelah timur-laut stasiun kereta api Lempuyangan ini – ternyata tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Jawa  atau Bahusastra Basa Jawa. Selidik punya selidik, konon nama Pengok  terbentuk dari kata mbengok yang berarti berteriak.
Di kawasan ini terdapat sebuah bengkel besar  kereta api. Karyawannya sudah barang tentu banyak sekali. Ratusan, bahkan bisa jadi ribuan orang. Bengkel besar ini mempunyai sebuah sirene besar yang berperan sebagai penanda jam kerja, kapan karyawan harus memulai kerja, kapan beristirahat, dan kapan mereka harus mengakhiri pekerjaan alias  pulang. Pada jam-jam itulah sirene besar yang bersuara keras – sehingga suaranya terdengar di area sekitarnya - dibunyikan. Sedemikian kerasnya  suara sirene itu sampai-sampai orang di sekitar tempat itu mengatakan bahwa sirene itu sedang  ‘berteriak’  alias mbengok. Dari kata mbengok atau pambengok  (alat yang mengeluarkan suara  keras) inilah mengapa kawasan ini dinamakan Pengok.
Namun, tidak sedikit orang yang tidak sependapat dengan argumen demikian, serta mengatakan bahwa telaah demikian hanyalah berdasar ilmu othak athik gathuk. Sayangnya, mereka pun tidak bisa menjelaskan dari mana kata Pengok berasal. Jadi, mana yang benar? Keduanya sama-sama tidak bisa menyodorkan argumen historis-filosofis untuk  mendukung pendapatnya. Faktanya nama Pengok telah terlanjur melekat dalam hati warga Yogyakarta. Meski sepenggal jalan yang menuju ke Bengkel Yasa sempat diganti dengan nama Jalan Koesbini, sebagai penghormatan terhadap Koesbini - seorang pakar musik yang berjasa besar dalam dunia pendidikan musik di Indonesia, tetap saja sebutan Pengok meluncur dari mulut-mulut ‘warga pribumi’ Yogyakarta.



Foto:
-          bengkel yasa KA
-          kawasan yang teduh oleh pohon kenari
-          nama Jalan Koesbini




Klitren
            Sekitar dua kilometer di sebelah timur stasiun Tugu terdapat stasiun Lempuyangan. Stasiun yang lebih tua dibanding dengan stasiun Tugu ini sejak semula memang dirancang sebagai stasiun barang. Di stasiun inilah barang-barang dari dan ke kota Yogyakarta dimuat dan dibongkar. Untuk menunjang kegiatan bongkar-muat barang di sekitar stasiun dibangunlah banyak gudang penyimpanan barang, baik milik perusahaan kereta api, maupun milik kongsi dagang tertentu. Karena fungsinya yang demikian ini stasiun Lempuyangan menjadi stasiun yang sibuk. Kegiatan bongkar-muat barang yang dilakukan  bukan saja membuat stasiun Lempuyangan menjadi ramai, melainkan juga membuka peluang bagi banyak orang untuk mendapatkan nafkah dengan bekerja sebagai  buruh angkut.
            Orang Belanda menyebut para buruh angkut ini koeli train, maksudnya buruh angkut kereta api. Lama-lama sebutan koeli train ini melekat erat serta seakan menjadi semacam nama suatu profesi. Barangkali, demi pertimbangan efisiensi waktu, tenaga dan keuangan, para buruh angkut,  para koeli train , ini umumnya lantas mencari tempat tinggal yang tidak jauh dari gudang-gudang atau dari stasiun Lempuyangan, tempat mereka bekerja. Kebetulan di sebelaj timur stasiun Lempuyangan terdapat kampung. Di kampung inilah para buruh angkut itu berdiam serta membentuk sebuah komunitas, komunitas para koeli train.
            Sebutan koeli train lama kelamaan bergeser tidak hanya digunakan untuk menyebut para buruh angkut, melainkan juga kampung di mana mereka tinggal. Kampung yang mereka huni dalam lafal sehari-hari disebut sebagai Kampung Koeli Train. Lagi-lagi, entah karena tergesa-gesa, atau karena ketidakmampuan mengucapkan kata-kata Belanda dengan fasih, nama Koeli Train,,,,,, Koelitrain..., oleh lidah orang Jawa lantas menjadi Klitren.




Foto|
-          buruh angkut barang di gudang/gerbong
-          dll?



Pasar Kembang
            Orang yang dengan seksama menyimak nama jalan ini, khususnya wisatawan, barangkali akan bertanya-tanya: mana pasar yang menjual  bunga? Sepertinya tidak ada. Lantas mengapa dinamakan Jalan Pasar Kembang? Pertanyaan bernada penasaran itu memang benar. Di tepi atau kawasan jalan ini tidak ada pasar bunga. Tetapi, itu sekarang. Dahulu, sampai dengan tahun 1970-an, di atas tanah yang sekarang menjadi Hotel Batik  (? CEK!), memang benar ada pasar. Pasar bunga alias pasar kembang.
            Komoditas utama yang dijual adalah bunga, baik bunga tabur untuk ziarah, maupun bunga segar untuk krans dan buket. Sejak tahun 1980-an, demi penataan kawasan, pasar kios-kios bunga segar direlokasi ke utara Hotel Garuda (sekarang menjadi lahan parlir bus wisatawan), sementara kios yang berjualan bunga ziarah masih tetap  tinggal. Seiring dengan penataan kawasan berikutnya kios-kios bunga segar pun direlokasi lagi dan dipindahkan ke Jalan Amad  Zajuli, sebelah timur Kali Code, hingga sekarang. Tidak lama kemudian pasar bunga ziarah pun tergusur, karena lahan tempat pasar itu berada diminta kembali oleh  keluarga pemilik tanah, dan di atasnya dibangun Hotel Batik Palace (sekarang menjadi Hotel  ..... )
            Sementara itu, apa pun yang terjadi, jalan yang terlanjur fenomenal itu tetap menyandang nama: Jalan Pasar Kembang. Sayang, nama yang punya sejarah panjang ini, sekarang keraps diplesetkan menjadi Sarkem, kependekan dari Pa-sarkem-bang, namun berkonotasi negatif.
            Meski bukan menjadi nama resmi kawasan yang kini bertebaran hotel, losmen dan penginapan ini dahulu juga sering disebut Balokan. Nama ini berarti tempat atau areal tumpukan  balok atau gelodongan kayu jati utuh. Kayu jati gelodongan ini ditumpuk di sebelah selatan statisun Tugu setelah diturunkan dari kereta api. Sayang, nama yang semestinya netral itu, kareena di areal ini kerap dijadikan sebagai media traksaksi seks, nama Balokan juga berkonotasi negatif. Beruntung, seiring dengan penataan dan pemanfaatan Stasiun Tugu menjadi stasiun penumpang, sehingga penumpukan balok-balok jati tidak lagi dilakukan di tempat ini, nama Balokan pun hilang ditelan perubahan zaman.


Foto:
Papan nama Jl.  PasarKembang.


Kepatihan Danurejan
            Menganut pola konsentrik kepatihan berada pada lingkaran terluar. Berdasarkan pola ini agaknya Pangeran Mangkubumi berniat menempatkan kepatihan  (tempat tinggal patih, bukan wilayah yang dikepalai oleh patih) sebagai sebuah sekretariat atau sebagai   prasarana birokrasi dan administrasi. Sepertinya Pangeran Mangkubumi ingin memisahkan segala urusan kerajaan/kenegaraan dengan urusan yang bersifat privat atau keluarga.
            Patih atau pepatih dalem  terakhir yang diangkat oleh Sultan Hamengkubuwana ... adalah .... Danureja. Itulah sebabnya kediaman dan kawasan tempat tingggalnya  dinamakan Kepatihan Danurejan. Kawasan ini sekarang menjadi Kecamatan Danurejan, sedang komplek tempat tinggalnya dijadikan Komplek Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kendati sudah tidak ada lagi jabatan patih, atau komplek ini sudah tidak ditinggali oleh seorang patih, namun kawasan yang terletak di tepi Jalan Malioboro ini sampai sekarang masih menyandang sebutan kepatihan, bukan gubernuran. Padahal sehari-hari Sultan Hamengku Buwono X, sebagai Gubernur Propinsi Daerah Istimaewa Yogyakarta, berkantor di sini.
           


Pintu gerbang komplek kepatihan (tempat tinggal patih, wakil raja). Sekarang menjadi pusat pemerintahan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bangsal kepatihan

Gandhekan
            Dalam mengurus banyal hal ihwal kerajaannya seorang raja tidak harus melakukannya sendiri. Banyak pejabat kerajaan yang menjadi kepanjangan tangannya. Demikian juga dalam hal menyampaikan sesuatu hal atau barang kepada raja lain atau rekan sekerja dari kerajaan lain. Demikian pula halnya dengan sultan. Untuk hal-hal demikian sultan bisa mengutus seseorang yang memang memangku jabatan sebagai duta, sebagai utusan raja atau sebagai  gandhek. Dia pasti bukan sembarang orang yang asal mau dan bisa diutus, melainkan seorang yang sungguh mumpuni (ahli dan menguasasi benar) dalam hal bahasa, tutur kata, serta tata krama. Sebab apa yang dia laksanakan adalah membawakan diri dari oraang yang mengutusnya, yakni seorang raja.
            Sebagaimana halnya abdi dalem yang mendapatkan tempat  tinggal khusus, seorang gandhek juga mendapatkan tempat tinggal khusus, semacam ‘rumah dinas’. Karena jabatananya itu tempat tinggal dan kawasan tinggalnya dinamakan Gandhekan, artinya tempat tinggal utusan raja. Di Yogyakarta, karena pernah ada dua orang gandhek, maka ada dua kampung yang menyandang nama Gandhekan, yakni Gandhekan Lor dan Gandhekan Kidul.

Foto:
Rumah gandhek (?)
           

Pajeksan
            Dalam sistem monarki kekuasaan eksekutif,  legislatif dan yudikatif berada dalam satu tangan yaitu raja (atau apa pun sebutannya: kaisar, sultan,  sunan, ratu, atau pangeran). Kalau toh ada orang yang bertugas  atau menjabat di bidang perundang-undangan, atau di bidang peradilan, mereka sekadar sebagai pemberi bantuan berupa masukan atau nasehat bagi raja agar keputusan yang akan diambil raja sungguh tepat dan bijaksana.
            Di kraton Yogyakarta ada pengageng yang memberikan pertimbangan kepada sultan dalam hal membuat dan melaksanakan  paugeran (undang-undang), baik yang berlaku bagi kerabat kraton (khususnya dalam hal suksesi), maupun yang berlaku bagi segenap kawula (rakyat).
            Di bidang peradilan ada pejabat yang disebut jeksa. Sebagaimana halnya pejabat kerajaan lain dia tingggal di kawasan khusus. Kawasan atau kampung tempat tinggalnya dinamakan Pajeksan.

Foto:
- Rumah bekas jeksa (lacak!)



Beskalan
            Beskal? --> Beskalan.




Ketandhan
            Kesadaran bahwa negara hanya bisa hidup atau menjalankan fungsinya dengan baik manakala didukung oleh warganya lewat pajak yang dibayarkan rupanya sudah ada sejak zaman kerajaan dulu. Hanya sistem dan ujud pajaknya saja yang berbeda. Setiap negara mempunyai petugas khusus di bidang ini. Demikian pula halnya dengan Yogyakarta yang kala itu berstatus sebagai kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
            Di Yogyakarta pejabat yang bertugas mengurus dan/atau menarik pajak disebut tandha. Tugas  sebagai pengurus atau penarik pajak, sebagai tandha, biasanya bisa diketahui dari nama yang disandangnya, misalnya: Tandharaharja,   (artinya petugas pajak yang makmur atau sejahtera), Tandhamiharja (petugas pajak yang berharap bisa selamat atau sejahtera), atau Tandhawinata (artinya petugas penata pajak), Tandhawijaya (petugas  pajak yang sukses atau berhasil menjalankan tugasnya), dan sebagainya.  Nama-nama ini umumnya merupakan peparing dalem, maksudnya pemberian dari sultan pada saat yang bersangkutan diangkat/dilantik sebagai tandha. Nama yang diberikan oleh sultan itu sebagai semacam pengukuhan agar diketahui umum, sebab tugas yang dijabatnya berkenaan dengan uang rakyat.
            Tempat tinggal petugas pajak, tandha, dinamaakan Ketandhan. Kawasan ini sekarang berubah menjadi kawasan pertokoan emas atau kemasan. (bukan nama,  melainkan sebutan yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari di antara orang-orang yang sering berhubungan dengan bisnis emas). Sebutan lain untuk kawasan ini adalah Pecinan, karena sebagian besar warga yang tinggal di kawasan ini adalah keluarga dari etnis Cina. Beberapa bangunan berarsitektur khas Cina yang berada di kawasan ini dilindungi oleh undang-undang dan dinyatakan sebagai cagar budaya.
            Gandhekan,  Pajeksan,  Ketandhan, Beskalan  , dahulu boleh  dibilang sebagai kawasan elit karena berada dekat dengan pusat pemerintahan kerajaan, yaitu Kepatihan Danurejan.

Foto:
- Komplek pertokoan emas di Ketandhan.
- Kegiatan orang yang bertransaksi emas di komplek ini.
- Rumah bekas tandha (lacak!);
- Rumah Cina yang dilindungi sebagai cagar budaya.


Kumetiran/Kemetiran

Badran


Jlagran à jlagra= pengrajin barang-barang dari batu
       


Beringharjo
            Beringharjo. Artinya alas (hutan) atau kawasan (yang bernama) Bering, yang dicita-citakan menjadi sejahtera atau membuat orang di sekitarnya menjadi sejahtera, menjadi harjo atau rejo.  Harapan itu ternyata sungguh terlaksana.  Kawasan bekas hutan itu benar-benar  tumbuh menjadi kawasan atau bahkan pusat bisnis bagi warga Yogyakarta dengan sebutan  Pasar Gedhe Beringharjo. Kendati bermunculan pasar-pasar modern berlebel mal atau super market kawasan bisnis yang dikategorikan pasar tradisional ini hingga kini tetap memancarkan pamornya. Banyak wisatawan, baik lokal  maupun mancanegara,  yang tetap menjadikan pasar Beringharjo sebagai salah satu titik tujuan wisatanya. Agaknya, nuansa ketradisonalan pasar yang dibangun pada ...... oleh arsitek ................. tidak bakal bisa ditemui di mana pun, apalagi di pasar-pasar modern. Aroma filosofis-sosiologis-kulturalnya yang terasa kental, antara lain dengan terjadinya komunikasi yang humanis di antara pembeli dan penjual -  membuat orang merasa tidak  mudah untuk melupakannya. Meski harus berjubel tetap saja orang dengan senang hati mau datang ke Beringharjo.




Pasar Beringharjo.

Tambahkan foto kegiatan di dalam pasar
Gedung Agung


 Gedung Agung




Titik Nol Kilometer
            Tempat istimewa, atau fenomenal lain di Yogyakarta, adalah titik temu empat jalan utama di Yogyakarta, yakni: Jalan Kyai Ahmad Dahlan (dulu Ngabeyan), Jalan Trikora (dulu Pamurakan), Jalan Pangeran Senopati (dulu Setjadiningratan), dan Jalan Margamulya. Di tengah-tengah perempatan jalan ini terdapat titik imajiner yang lazim disebut Titik Nol Kilometer. Dari titik inilah jarak tempat/kota dari Yogyakarta diukur.
            Titik Nol  Kilometer menjadi istimewa bukan saja karena dikelilingi oleh bangunan-bangunan bersejarah – yang tentu saja istimewa, seperti: gedung kuno Bank Indonesia, gedung kuno Kantor Pos, gedung kuno Bank BNI, Monumen Serangan Oemoem Satoe Maret, serta Benteng Vrede (Vredeburg), melainkan karena tempat ini sedemikian strategis sehingga kerap sekali digunakan untuk menggelar demonstrasi atau helatan seni (misalnya: performance art)  oleh pihak mana pun. Sepertinya tradisi pepe yang dahulu dilakukaan di tengah-tengah Alun-Alun Lor telah bermetamorfose menjadi demo berpanas-panas (yang juga berarti pepe)  di tengah-tengah perempatan jalan. Substansinya sama, yakni agar apa yang diekspresikan bisa dilihat – bukan saja oleh raja, atau pejabat kraton, tetapi  oleh segenap warga masyarakat Yogyakarta - bahkan oleh seluruh warga dunia, sebab ulah para demonstran ini pasti tidak luput dari liputan para awak media.
            Sebelum tampak dalam ujudnya sekarang Titik Nol Kilometer pernah berujud  bunderan dengan air mancur. Karenanya dahulu orang menyebut kawasan ini  dengan nama Bunderan atau Air Mancur. Demi pertimbangan agar arus kendaraan yang melewati perempatan besar ini bisa berjalan lancar bunderan yang pernah melegenda itu dibongkar. Jadilah Titik Nol Kilometer dalam ujudnya seperti sekarang.

Foto:
-          Orang berdiri tegak tetat di titik nol membawa bendera Merah Putih (diperagakan oleh model);
-          Demonstrasi di titik nol
-          Atau kegiatan lain (?)


Alun-Alun Lor
            Secara garis besar susunan (lay out atau tata letak) rumah orang Jawa umumnya terdiri atas: halaman depan (plataran) dengan regol (pintu gerbang), ruang tamu (pendhapa), ruang induk (dalem), ruang belakang (pengkeran), dan halaman belakang (kebonan). Variasinya bermacam-macam tergantung tingkat sosial-ekonomi yang bersangkutan. Pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial-ekonomi seseorang semakin besar dan lengkap pula rumahnya.  
             Alun-Alun Lor, adalah plataran atau halaman depan  kraton atau rumah raja. Tempat ini, sebagaimana plataran pada umumnya, berfungsi sebagai ajang berbagai kegiatan yang berkenaan dengan agenda atau kalender kegiatan kraton, antara lain: Grebeg, baik Grebeg Mulud atau Sekaten, maupun Grebeg Kurban; serta kegiatan lain bernuansa keagamaan atau tardisional yang bersifat publik. Seturut perkembangan jaman tanah lapang seluas sekitar 4 sampai 6 hektar ini biasa digunakan untuk ajang berolah raga, upacara kenegaraan, maupun kegiatan promosi atau pameran.
            Ada hal  yang menarik ihwal plataran kraton yang disebut Alun-Alun Lor ini. Selain sebagai pra sarana bagi raja untuk menyebarluaskan titah ternyata tempat ini juga bisa digunakan oleh kawula (rakyat) untuk menyampaikan aspirasinya kepada raja dengan  pepe.  Tradisi yang boleh dibilang merupakan benih demokrasi ini dilakukan dengan  cara duduk bersila berpanas-panas  di tengah alun-alun. Dengan cara demikian orang yang melakukan pepe berharap  dilihat oleh abdi dalem kemudian disampaikan kepada raja. Lantas, tatkala sang raja menghampirinya, dia dapat menyampaikan ihwal tuntutan atau aspirasinya. Terlepas apakah raja berkenan mengabulkan aspirasinya atau tidak, pepe agaknya bisa  dibilang sebagai model demonstrasi damai a la Yogyakarta, yang intinya tidak jauh berbeda dengan orasi. Sebuah orasi sunyi, sesuai karakter orang Jawa yang ora seneng rame (tidak suka ramai – dalam arti tidak suka bertengkar)..
           
Foto:
Orang berpakaian tradisional Jawa – sedang pepe di tengah-tengah alun-alun (back ground: pagelaran)

           

Jalan Ibu Ruswa
            Dari Gerbang ....... (sebelah timur Alun-Alun Lor) ke arah timur, terdapat nama jalan yang ‘tidak lazim’. Dikatakan ‘tidak lazim’, pertama, karena ruas jalan ini  kira-kira hanya sepanjang seratus meter. Kedua, menggunakan nama seorang ibu/wanita yang tidak populer atau  tidak tercatat dalam sejarah nasional, sebagaimana pahlawan wanita pada umumnya. Namun,  bagi sultan, dan warga yang tingggal  di sekitar jalan ini, nama Ibu Ruswa sangat berarti. Dia adalah seorang ibu yang merelakan rumahnya dijadikan dapur umum bagi para gerilyawan. Andil besar yang tak tercatat dalam sejarah Indonesia ini patut kiranya dihargai. Untuk  mengenang dan mematerikan jasa besar  Ibu Ruswa itulah sultan Hamengku Buwana .... berkenan mengabadikannya menjadi nama jalan yang terletak tidak jauh dari rumahnya  yang terletak di kawasan Yudanegaran.



Foto:
-          Papan nama jalan
-          Foto  Ibu Ruswa (telusuri lewat keluarga/tetangga, kalau mungkin)

           

Wijilan
            Tidak  jauh dari Jalan Ibu Ruswa terdapat bangunan kokoh berbentuk lorong yang melengkung. Karena bentuknya yang melengkung itulah maka bangunan kokoh ini disebut plengkung.  Plengkung  merupakan  pintu  keluar-masuk  dari dan ke dalam beteng. 
Karena terletak di Jalan Wijilan, maka plengkung ini dinamakan Plengkung Wijilan, yang berarti: bangunan melengkung untuk keluar. Wijil, dari kata Mijil, berarti keluar. Dikatakan sebagai ‘pintu keluar’, agaknya  karena Sultan kerap menggunakan plengkung ini tatkala keluar dari kraton. Barangkali demi efisiensi, karena jalannya lebih memintas, atau karena harus keluar dengan cara sesidheman (sembunyi-sembunyi demi keamanan).
Plengkung Wijilan dahulu dijaga oleh prajurit-prajurit muda yang gagah berani. Itulah sebabnya bangunan yang dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwana I, yang relatif masih utuh ini juga dinamakan Plengkung Tarunasura. Kawasan  yang - dahulu barangkali dikenal sebagai daerah sangar, karena dijaga prajurit-prajurit yang tegap – bagai korps ‘baret merah’, sekarang berubah menjadi kawasan kuliner khas Yogyakarta, gudheg,  yang nyaman dan memesona.

Plengkung Wijilan


Sana Budaya
            Di sebelah barat Pamurakan (Jalan Trikora) terdapat sebuah museum. Museum yang didirikan pada tahun  ..... oleh ...... ini , sesuai namanya: Sana Budaya, artinya: tempat (benda) budaya, dimaksudkan lebih sebagai tempat menyimpan benda-benda budaya khas Yogyakarta yang bernilai  tinggi. Dari benda-benda budaya yang tersimpan di museum ini orang bisa melacak sebagian masa silam Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Foto:
Museum Sana Budaya (dari luar, detil-detil dalam, etc)


Gerjen (?)


Ringin Kurung
            Alun-Alun Lor dikelilingi oleh tanaman keras  sebagai peneduh berupa pohon beringin. Sementara itu di tengah-tengah alun-alun ada dua pohon beringin yang diistimewakan. Pohon beringin, yang berada di kiri-kanan jalan yang membelah alun-alun ini dipagari tembok, karenanya disebut Ringin Kurung, ini dipersonifikasikan sebagai Kyai .................(sebelah barat) dan Kyai ...........(sebelah timur). Ringin Kurung, pohon yang besar dan rindang yang mampu memberikan kesejukan/kenyamanan bagi yang berteduh di bawahnya, dalam filosofi Jawa dimaksudkan sebagai simbol kewibawaan raja yang mampu  memberikan pengayoman kepada rakyatnya.

Foto:
Kedua pohon beringin yang berada di tengah-tengah alun-alun



Pekapalan
            Di tepi alun-alun, di sela-sela pohon-pohon beringin peneduh, terdapat beberapa bangunan. Beberapa di antaranya berbentuk perahu/kapal. Itulah sebabnya deretan bangunan ini dinamakan Pekapalan. Bangunan-bangunan ini dimaksudkan sebagai ..................

Foto:
Rumah berbentuk kapal

Mesjid Gedhe
            Orang Jawa, sesuai ajaran dan teladan para leluhurnya, umumnya bertipe sebagai makhluk yang lebih mengedepankan kehidupan rohani atau spiritual. Filosofi hidup serta tindak-tanduk, tingkah laku sehari-hari yang direpresentasikan antara lain dalam wujud tutur kata, atau dalam seni, senantiasa diwarnai oleh sikap kerohanian yang tinggi. Sebutan-sebutan yang biasa  dikenakan terhadap Tuhan, seperti:  Kang Akarya Jagad, Purwaning Dumadi, Sing Gawe Urip,  menunjukkan betapa dalamnya pengakuan terhadap Dat Yang Mahatinggi itu. Pengakuan itu juga terungkap dalam ungkapan-ungkapan, antara lain: manungsa mono mung wayang saupamane, sadrema nglakoni; urip mung mampir ngombe; narima ing pandum; Gusti ora sare; dan sebagainya.
            Raja, sebagai panutan dalam hal hidup kerohanian, memandang perlu untuk menempatkan diri sebagai ‘yang terdepan, sebagai pemuka, atau sebagai pemimpin dalam hidup keagamaan’. Setidaknya peran dalam keagamaannya sangat besar. Kraton pun menjadi kiblat bagi berbagai upacara keagamaan. Apa yang dibuat oleh kraton, dibuat juga oleh rakyat. Tentu saja dengan penyesuaian di sana-sini seturut kemampuan masing-masing.
            Seturut zaman, tatkala Agama Hindu, Buddha  dan kepercayaan lokal dihidupi oleh rakyat suatu kerajaan, kraton pun tidak luput dari peran sebagai wadah bagi semua tradisi keagamaan, atau lebih tepat tradisi kerohanian yang ada. Tidak mengherankan kalau tradisi-tradisi itu bersimbiose sedemikian rupa sehingga tidak lagi jelas batas antara tradisi keagamaan yang satu dengan yang lain. Tradisi-tardisi kerohanian itu bahkan sebagian besar telah bermetanorfosa menjadi tradisi-tardisi budaya. Praktek yang berlangsung sedemikian mulus dari waktu ke waktu ini pada akhirnya membentuk warga Yogyakarta menjadi insan-insan yang toleran.  Kraton boleh dibilang menjadi pendorong, serta turut menjadi pelaku   yang aktif.
            Tatkala Agama Islam berhasil masuk ke dalam kraton, serta mampu menempatkan diri sebagai ‘semacam agama resmi’ kraton, tidak dengan serta merta bisa meniadakan tradisi-tradisi budaya  yang sebelumnya telah berabad-abad hidup subur di kalangan  kraton dan di dalam masyarakat itu. Maka, bisa  dimengerti kalau raja kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, meski bergelar Sayyidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawi,  tidak memberlakukan adagium (Latin)...................................................... (Agama negara mengikuti agama yang dipeluk rajanya). Sultan tetap teguh bertindak selaku pengayom bagi semua warga/rakyatnya, apa pun agama atau kepercayaan  mereka.
            Untuk menegaskan gelar selaku pemuka agama itu maka diangunlah sebuah masjid besar di kawasan kraton yang lazim disebut Mesjid Gedhe, atau Masjid Agung.  Masjid Agung dibangun di sebelah kiri (barat) kraton, sementara Pasar Gedhe, diletakkan di sebelah kanan (timur)  kraton. Posisi demikian mengandaikan bahwa secara filosofis raja/sultan dalam mengemban amanatnya sebagai pemimpin negara, hendaknya  memperhatikan kebutuhan rohani dan jasmani rakyatnya secara seimbang.

Foto:
Masjid Agung + plus pernik-perniknya

Kauman
            Di belakang Mesjid Gedhe (Masjid Besar) terdapat sebuah kampung atau kawasan yang dinamakan Kauman. Kampng atau kawasan ini disediakan bagi kaum dan keluarganya, yakni abdi dalem kraton yang bertugas memimpin ibadat yang diselenggarakan di Mesjid Gedhe.

Foto:
-          Kaum/Imam masjid sekarang
-          Pintu gang Kampung Kauman.

Pagelaran
            Secara harfiah Pagelaran berarti: tempat untuk menggelar (tikar) – agar bisa digunakan untuk menyelenggarakan pertemuan (hajatan, slametan, rapat, temu warga, temu trah/keluarga, pertunjukan kesenian, dll) yang dihadiri  oleh banyak orang untuk membicarakan hal-hal yang penting dan bersifat publik/umum agar bisa diketahui atau dinikmati oleh banyak orang (seluruh warga atau angggota keluarga).
            Sebagai bangunan yang terdepan dari komplek kraton yang langsung bersentuhan dengan alun-alun, bagian lain dari komplek kraton yang bersifat publik,  pagelaran dimaksudkan untuk tujuan-tujuan itu. Di tempat ini - pada hari-hari tertentu, antara lain  tingalan dalem (hari ulang tahun raja), atau jumenengan dalem (hari peringatan penobatan raja), atau hari besar kerajaan lainnya - diselenggarakan berbagai kegiatan yang bisa dihadiri oleh segenap kawula (rakyat). Kegiatan-kegiatan itu pada umumnya lebih bersifat seremonial.
            Pada zaman kemerdekaan, sebagai salah satu ujud kesetiaan Sultan pada Negara Kesatuan Republik  Indonesia serta dukungannya untuk turut memajukan pendidikan bangsanya , Pagelaran dan dalem Mangkubumen dipinjamkan kepada Universitas Gadjah Mada sebagai ajang kegiatan perkuliahan. Universitas  Gadjah Mada, yang saat itu belum memiliki kampus sendiri, memanfaatkan pagelaran untuk Fakultas Hukum. Sementara itu dalem Mangkubumen untuk Rumah Sakit Akademik dan Fakultas Kedokteran. Kegiatan ini berlangsung sampai Universitas Gadjah Mada berpindah ke kampus barunya di Bulaksumur.
           
Foto:
Pagelaran; plus  sudut-sudut yang menarik

Sitinggil
            Di belakang Pagelaran, atau sebelah selatan Pagelaran, terdapat bangunan lain. Bangunan ini didirikan di atas  tanah yang ditinggikan,  karena itu dinamakan Siti Hinggil yang lazim dilafalkan Sitinggil. Berbeda dengan Pagelaran, yang terbuka bagi rakyat pada umumnya, Sitinggil lebih dimaksudkan sebagai tempat pertemuan bagi para nara praja, yakni pejabat-pejabat kerajaan, dengan sultan.

Foto:
-          Sitingggil
-          - Takhta sultan di tengah-tengah

Supit Urang
            Supit Urang adalah nama tembok tinggi yang mengelilingi Sitinggil. Nama Supit Urang digunakan karena bentuk  tembok ini melingkar dengan bagian depan yang terbuka sehinggga membentuk huruf U,  atau seperti udang yang sedang memasang supit-nya untuk melawan musuh.


Foto:
Tembok Supit Urang

Beteng Baluwerti



Kemandhungan
            Ada dua halaman/tempat yang dinamakan Kemandhungan, yaitu: Kemandhungan Lor (Kemandhungan Utara) dan Kemandungan Kidul (Kemandungan Selatan). Kemandhungan, dari kata ke-mandhung-an, berarti: ................... . Kedua halaman/tempat ii fungsinya sama,  yakni sebagai sarana transit sebelum orang memasuki kraton. Kemndhungan Lor berhubungaan dengan pintu depan, sementara Kemandhungan Kidul berhubungan dengan pintu belakang.  Di kedua halaman ini orang/tamu yang akan menemui  sultan atau kerabatnya menunggu sampai sultan atau kerabatnya siap menerima mereka.

Foto:
?????????


Bangsal Pancaniti
            Bangsal artinya ruang, kamar, atau bangunan. Bangunan ini umumnya  bukan sebagai tempat tingggal,  melainkan untuk beberapa  kegiatan khusus,  misalnya untuk kegiatan kesenian (tari, musik, dll), penataran atau pelatihan, atau semacam untuk  kantor.
            Pancaniti berarti lima teliti atau lima  telaah dalam raangka suatu pengadilan. Jadi, Bangsal Pancaniti bisa diartikan: ruang atau kantor untuk meneliti lima perkara, atau lima kali teliti. Maksudnya perkara yang harus ditelah atau diteliti dengan seksama.  Kuasa untuk meneliti yang dilangsungkan di Bangsal Pancaniti merupakan hak prerogatif sultan. Maka perkara yang diadili terutama adalah perkara yang teramat penting, misalnya perkara makar terhadap raja. Sementara untuk perkaraa-perkara lain biasanya dilaksanakan di tempat lain dan ditangani oleh petugas peradilan, antara lain jeksa (jaksa).


Bangsal Winata
            ...........................

Keben
            Halaman di belakang Sitinggil, di depan Gerbang ......... , dinamakan Plataran Keben. Nama Keben diambil  dari nama pohon besar yang tumbuh/ditanam di halaman tersebut, yakni pohon Keben. Buah pohon ini, bulat dengan empat buah sirip, menjadi inspirasi bagi model kuluk (topi makhkota) sultan.

Foto:
Pohon Keben (in  sight: buah keben)
Topi mahkota sultan.

Kemagangan
            Sesuai namanya, ke-magang-an, tempat ini merupakan kawasan bagi para warga Yogyakarta yang berminat untuk melamar atau magang menjadi abdi dalem atau bekerja melayani raja dan keluarganya. Di sini para magang diterima oleh pejabat kraton yang ditugasi khusus untuk  meneliti, menyeleksi serta melatih para magang sampai mereka dinyatakan lolos dan diangkat menjadi abdi dalem.
            Kawasan ini terdiri dari halaman luas yang disebut Plataran Kemagangan dan bangunan yang berfungsi sebagai kantor yang dinamakan Bangsal Kemagangan.


Foto:
Bangsal Kemagangan plus halamannya à is sight: abdi dalaam yang ada di bangsal.


Habirandha
            Di sebelah barat Pagelaran terdapat bangunan yang dihuni para abdi dalem. Para abdi dalem ini bertugas di bidang seni, khususnya seni pedhalangan, yakni manajemen dan olah seni wayang, khususnya wayang kulit. Mereka bertanggung jawab nguri-uri (menjaga dan memelihara dengan cermat) demi lestarinya seni pedhalangan dengan menyelenggarakan kursus pedhalangan gaya Yogyakarta di bawah naungan Yayasan Habirandha. Alumni Habirandha umumnya menjadi dhalang profesional,  pambiwara (pembawa acara atau master ceremony berbahasa Jawa). Tidak sedikit alumni Habirandha yang  menjadikan ilmu pedhalangan yang mereka peroleh sekadar sebagai pemerkaya diri di bidang bahasa atau sastra Jawa.



Musikanan
            Bukan hanya seni karawitan atau musik tradisional  Jawa yang mendapat tempat di kraton Yogyakarta. Musik Barat pun tidak luput dari perhatian sultan. Abdi dalem kraton yang berminat di bidang seni musik pentatonik pun mendapat tempat yang layak. Selain diberi kesempatan untuk memainkan, mengolah serta mengembangkan musik pentatonik, mereka juga diberi tempat tingggal khusus. Kawasan ini, yang terletak di sebelah timur Pagelaran,  dinamakan Musikanan. Konon kakek  Idris Sardi merupakan salah seorang abdi dalem di bidang seni musik ini. Tidak mengehrankan kalau Idris Sardi juga punya minat besar di bidang musik pentatonik dan tumbuh menjadi seorang musisi besar, khususnya sebagai violis yang ulung.


Ratawijayan
            Pada zaman kerajaan kereta yang ditarik  kuda merupakan moda transportasi yang lazim. Moda tranportasi yang tersedia untuk kalangan umum, dan sehari-hari berlalu-lalang di jalan angkutan penumpang  umum – di Yogyakarta – disebut andhong atau dhokar.
            Sultan, dan juga pejabat kerajaan lainnya, mempunyai sarana transportasi sendiri yang bersifat pribadi. Meski ujudnya juga kereta yang ditarik kuda tunggangan -  yang lebih bagus, baik kualitas maupun modelnya,  kereta tungangan sultan atau pejabat kerajaan dinamakan  kreta atau rata. Kereta-kereta ini biasanya dibuat secara khusus, dengan desain dan kualitas yang prima,  atau merupakan hadiah dari kerajaan lain sebagai cinderamata.
            Karena sifat pribadinya kereta-kereta itu umumnya diberi nama. Kereta milik  sultan Hamengku Buwana ... diberi nama Kyai ................. dan Kyai .................  Ada kereta yang biasa digunakan sehari-hari oleh sultan, manakala sultan pergi ke kepatihan atau ke suatu tempat lain, layaknya mobil  sekarang. Namun ada pula kereta yang hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu untuk upacara yang bersifat seremonial,  misalnya, untuk mengarak atau kirab pengantin pangeran atau putri kraton.
            Sebagaimana mobil membutuhkan garasi, demikian pula halnya kereta-kereta kerajaan ini. Kereta-kereta ini dikandangkan di suatu tempat khusus yang diberi nama Ratawijayan. Kereta-kereta kerajaan ini dijaga dan dirawat oleh abdi dalem yang ditugasi khusus untuk mengurus secara teknis maupun secara spiritual. Secara teknis para abdi dalem ini mengurus agar kereta-kereta ini sewaktu-waktu dapat digunakan dengan baik. Sementara,  secara spiritual, setahun sekali mereka bertugas memandikannya dengan ritual khusus. Ritual memandikan kereta sudah sejak  lama menjadi agenda tetap kraton. Ritual, yang oleh warga Yogyakarta  dipandang sebagai kesempatan untuk ngalap berkah (menadah berkat)  itu, kini juga menjadi agenda pariwisata.
Catatan: rata = kereta; wijaya = menang; ....an menyatakan tempat. Ratawijayan = tempat kereta kemanangan


Foto:
-          Kereta-kereta raja
-          : Kyai ....;  Kyai ....,   Kyai ....
-          Abdi dalem sedang merawat kereta
-          Upacara memandikan kereta


Gamelan
            Para abdi dalem yang bertugas di Ratawijayan hanya mengerjakan hal-hal teknis yang berkenaan dengan kereta. Mereka tidak bertugas untuk  mengurus kuda. Ada abdi dalem yang bertugas khusus mengurus kuda dan perlengkapannya. Para abdi dalem ini disebut gamel. Tugas yang berkenaan dengan kuda yang mereka lakukan antara lain: memberi makan,  memandikan serta membersihkan bulu, serta – pada waktu-waktu tertentu – mengganti telapak/sepatu kuda, dan merawat perlengkapan kuda.
            Para abdi dalem gamel, karena tugasnya bersifat taktis, harus senantiasa berada di tempat, maka mereka ditempatkan di suatu tempat khusus agar senantiasa siaga manakala ada tugas mendadak. Kawasan tempat tingggal  mereka dinamakan Gamelan. Sampai sekarang kawasan itu tetap disebut Kampung Gamelan, meski penghuninya bukan lagi para abdi dalem gamel.

Catatan:
  1. Gamelan = tempat tinggal abdi dalem gamel, yang bertugas merawat kuda atau nggamel. Nama kampung Gamelan lazim dilafalkan ngGamelan agar jelas bahwa yang dimaksudkan adalah: tempat/kawasan/kampung para gamel, bukan perangkat musik tradisional Jawa.
  2. gamelan = seperangkat alat musik tradisional Jawa. Orang yang memainkan alat gamelan atau pemain gamelan disebut pangrawit atau niyaga. Kegiatan memainkan gamelan disebut mangrawit atau ngrawit atau nabuh gamelan, bukan nggamel.

Monumen/patung gamel di mulut kampung Gamelan



Taman Sari


Sompilan


Patehan


Alun-Alun Kidul
            Kalau Alun-Alun Lor lebih dimaksudkan sebagai kawasan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan kraton yang bersifat publik, Alun-Alun Kidul lebih dimaksudkan sebagai area untuk berlatih bagi para prajurit kerajaan, seperti: latihan menunggang kuda, latihan memanah, latihan menombak, latihan perang, serta berbagai kegiatan untuk meningkatkan kedisiplinan dan kemampuan prajurit.
            Sementara para prajurit berlatih Sultan dan beberapa pejabat kerajaan yang berwenang menyaksikan ulah keprajuritan ini dari Sitinggil. Secara diam-diam Sultan dan pejabat kerajaan, melalui jendela-jendela yang terbuka di Sitinggil,  dapat menilai kemampuan para prajurit – baik secara kelompok maupun secara individual.
            Sekarang, tatkala status kerajaan sudah tidak ada, prajurit kerajaan pun berubah fungsi. Mereka tidak lagi sebagai ‘angkatan bersenjata’ atau ‘angkatan perang’, yang bertugas di bidang pertahanan dan keamanan negara, melainkan lebih sebagai kesatuan pengawal tradisi serta pelestari budaya Jawa.  Tugas mereka adalah tampil sebagai brigade (bregada) dalam upacara-upacara tradisional, seperti: berdefile saat diselenggarakan upacara seremonial oleh kraton, mengarak gunungan pada waktu diselenggarakan  grebeg, dll.
            Alun-Alun Kidul sekarang tidak lagi sebagai ajang latihan prajurit kraton, melainkan menjadi area yang bernilai rekreatif dan ekonomis bagi warga sekitarnya. Sementara itu Sitinggil, yang menyandang nama Gedung ‘Dwi Sata Warsa’ (artinya: Dua Ratus Tahun, sebagai peringatan dua ratus tahun usia Kraton Yogyakarta), bukan lagi menjadi ‘tempat pengintai’ untuk menyaksikan dan menilai para prajurit kerajaan tatkala mereka berlatih, tetapi sebagai ajang pentas seni, antara lain pagelaran wayang kulit.


Foto:
-          Alun-Alun Kidul;
-          Gedung Dwi Sata Warsa;
-          Kegiatan ekonomis: jualan klithikan, angkringan,  
-          becak malam, lomba memasuki sela-sela ringin kurung; dll


Ambarukma
            Secara harfiah Ambarukma berarti emas yang berbau (harum) atau bau harum emas, atau emas murni. Komplek yang terletak di pinggir kota, di tepi jalan menuju ke arah Surakarta, ini dimaksudkan sebagai pesanggrahan, tempat tingggal sementara raja dan keluarganya saat mereka berekreasi menikmati liburan. Kini, komplek peristirahatan yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwana ...itu tingggal menyisakan bangunan induk dan pendapa. Sementara sebagian besar bangunan lain telah dirobohkan dan di atas tanah bekas bangunan telah didirikan bangunan modern yakni  Hotel ................. serta mal Ambarukma Plaza.

Foto:
Pendapa Ambarukma

Ambarketawang

Sayidan
        Nama Sayidan, sebuah kampung di tepi barat jembatan ..... yang melintang di atas Sungai Code,  berkaitan erat dengan kata sayid yang berarti tuan atau orang Arab keturunan Nabi Muhammad saw. Di kampung ini dahulu memang pernah tinggal sebuah keluarga Arab. Keluarga ini oleh penduduk setempat dikenal sebagai sayid. Oleh karena itu kampung tempat mereka tinggal lantas disebut sebagai Sayidan.

- Rumah bekas tempat tinggal keluarga sayid

Benteng Vrede atau Vredeburg



Prajurit  Kraton dan kawasan tinggal  mereka.
            Tidak berbeda dengan  kerajaan lain di seantero dunia yang memiliki kesatuan militer atau angkatan perang, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga mempunyai pasukan atau kesatuan militer. Pasukan ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan raja dan keluarganya, serta untuk  menjaga keamanan negara dari serangan musuh  dan memelihara ketertiban umum. Untuk maksud itu Sultan Hamengku Buwana I membentuk kesatuan-kesatuan militer. Kesatuan militer yang lazim disebut bregada ini terdiri dari kesatuan infanteri dan kavaleri. Pada zaman itu kesatuan-kesatuan yang sudah menggunbakan senjata api (bedhil) dan meriam (mriyem). Ada 13 kesatuan (dalam Bahasa Jawa disebut:  bregada),  yakni: Somaatmaja, Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Jager, Langenastra, Surakarsa dan  Bugis.  Pada zamannya kesatuan-kesatuan militer ini dikenal sebagai angkatan bersenjata yang kuat. Hal ini tampak dari kemampuan mereka mengimbangi kekuatan angkatan bersenjata Inggris yang menyerang Yogyakarta di bawah komdando Jenderal Gillespie, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II dan Sultan Hamengku Buwana III.
            Sayang, barangkali karena jumlah  persenjataan yang tidak seimbang, pasukan Kraton Yogyakarta itu – kendati sudah memberikan perlawanan yang heroik, akhirnya harus menyerah kalah kepada Inggris. Peperangan ini diakhiri dengan   perjanjian yang ditandatangani oleh Raffles dan Sultan Hamengku Buwana III. Dalam perjanjian itu disepakati untuk mengurangi jumlah personil dan jumlah persenjataan pasukan Yogyakarta. Kraton Yogyakarta hanya dibenarkan untuk memiliki pasukan yang bertugas sebagai pengawal sultan serta menjaga kraton. Akibatnya pasukan ini semakin lemah serta tidak lagi mempunyai kekuatan sebagai penyerang.
            Tahun 1942, tatkala Belanda menyerah kalah kepada Jepang, kesatuan-kesatuan militer Kraton Yogyakarta ini  dibubarkan oleh Jepang.  Tahun 1970, tatkala situasi sudah kondusif, kesatuan-kesatuan prajurit kraton ini dihidupkan kembali. Namun  kesatuan ini tidak lagi bertugas di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), melainkan di bidang budaya dengan  menjadi penjaga atau pemelihara adat atau tradisi. Mereka membantu raja dan kerabatnya - selaku pemangku adat - demi terawat dan lestarinya tradisi atau adat yang berlangsung di lingkungan keraton yang diwariskan oleh pendahulu dan peletak dasar kerajaan. Adat atau tradisi itu umumnya berkenaan dengan hajatan-hajatan yang dilaksanakan oleh raja dan kerabatanya di seputar daur hidup, upacara kerajaan, serta upacara keagamaan. Barangkali karena pertimbangan-pertimbangan teknis tiga kesatuan, yakni: Jager, Langenastra dan Somaatmaja belum diaktifkan kembali. Dengan demikian sampai saat ini  Kraton Yogyakarta  tinggal memiliki sepuluh kesatuan.
Sebagaimaana halnya kesatuan militer yang tinggal atau ditempatkan di tangsi atau barak, semula kesatuan-kesaatuan prajurit kraton ini, demi efektivitas tugas, juga ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu. Hanya saja mereka tidak tingggal di tangsi atau barak melainkan di suatu kawasan tertentu. Kawasan ini, yang pada kemudian hari  berkembang menjadi kampung, dinamakan seturut nama kesatuan yang menghuni.  Maka lahirlah nama-nama tempat/kampung: Langenastran (artinya tempat tinggal kesatuan Langenastra), Mantrijeron, Surakarsan, Somaaatmajan, Ketanggungan, Patangpuluhan, Wirabrajan, Jagakaryan, Nyutran, Dhaengan, Jageran, Bugisan, dan Prawirataman.
Berikut nama kesepuluh kampung yang semula menjadi markas kesatuan-kesatuan kraton tersebut:



Wirabrajan


Kampung Wirabrajan merupakan markas bagi kesatuan prajurit  Wirabraja. Kesatuan ini terdairi dari 4 perwira berpangkat Panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 2 orang pembawa duaja atau bendera kesatuan. Komandan pasukan ini berpangkat bupati. Pakaian yang dikenakan:  Topi Centhung (berbentuk seperti kepompong), warna merah, destar (ikat kepala) berwarna wulung (ungu), baju dalam lengan panjang berwarna putih, beskap baju luar berwarna merah, lonthong (ikat pinggang dalam)  kain bermotif cindhe dominasi warna merah, kamus (ikat pinggang luar) berwarna hitam, sayak (kain penutup dari pinggang sampai di atas lutut) berwarna putih, serta celana Panji (celana yang mempunyai panjang sebatas lutut) berwarna merah, sepatu fantopel warna hitam dengan kaos kaki berwarna putih. Karena prajurit ini berpakaian serba merah , serta memakai topi berbentukcenthung atau  lombokan (berbentuk seperti lombok) yang bernama Kudhup Turi, maka kesatuan ini lebih dikenal dengan sebutan  Prajurit Lombok Abang. Persenjataannya berupa bedil dan memakai keris dengan kerangka bermotif branggah.
Bendera kesatuan bernama: GULA KLAPA. Bendera ini berujud kain dasar putih, dengan gambar bintang warna merah yang terletak di tengah, serta  pada ke empat sudutnya diberi hiasan ‘kukon’ (bentuknya seperti kuku). Kecuali bendera kesatuan prajurit ini juga mempunyai  dua duaja, yakni: Kanjeng Kyai Santri dan Kanjeng Kyai Slamet. Ciri lain dari kesatuan ini adalah mars prajurit. Kesatuan ini mempunyai dua mars prajurit, yakni: Mares RETADHEDHALI dan Mares DHAYUNGAN. Mares RETADHADHALI  digunakan untuk mengiringi kesatuan ini tatkala mereka berjalan dengan irama lambat serta  dengan gaya tertentu, sedangkan Mares DHAYUNGAN, digunakan untuk mengiringi kesatuan ini tatkala mereka berbaris dengan irama cepat.
Pada zaman dahulu, Prajurit Wirabraja selalu berada di garis terdepan dalam setiap pertempuran. Karena pertimbangan tradisi ini pada masa sekarang pun dalam berbagai upacara adat kesatuan atau  bregada ini selalu diposisikan di barisan paling depan. Selain ciri-ciri tersebur ciri lain lagi dari kesatuan ini adalah nama-nama diri para prajurit. Setiap anggota kesatuan  ini selalu menyandang nama  Braja”. Misalnya: Brajanala, Brajadhenta, Brajawinata, Brajanegara; Brajadipura, Brajawiguna, Brajapuspita, Brajawijaya  dan sebagainya.
 Prajurit Wirabraja atau Lombok Abang

Dhaengan
 
             Seturut namanya, Kampung Dhaengan adalah markas  prajurit Dhaeng. Pasukan Dhaeng yang berasal dari Makasar ini merupakan bentuk nyata kerja sama antara Kerajaan di Sulawesi selatan dengan Kerajaan Mataram. Ciri-ciri  prajurit Dhaheng:  baju dan celana panjang putih dengan strip merah pada bagian dada dan samping celana, topi berbentuk mancungan berwarna hitam dengan hiasan bulu ayam warna merah putih. Bendera pasukan Dhaeng bernama Bahning Sari, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Jatimulya atau Dhoyok. Perangkat musik Pasukan Dhaheng  terdiri dar: tambur, seruling, bende, ketipung, pui-pui dan kecer. Lagu yang didendangkan bernama Ondhal-andhil dan Kenaba. Senjata yang melengkapi prajurit Dhaheng adalah senapan api dan tombak. Ciri lain dari prajurit Dhaeng adalah nama mereka yang khas.. Prajurit Dhaeng selalu memakai kata ‘Niti’ di depan nama mereka, misalnya: Nitidipura, Nitipraja, Nitiwijaya, Nitipura, Nitinagara, dan sebagainya.
Pasukan Dhaeng terdiri atas empat orang perwira berpangkat panji, delapan bintara berpangkat sersan, tujuh puluh dua orang prajurit serta  seorang pembawa duaja. Bendera mereka dinamakan BAHMING SARI.  Bendera ini berwarna dasar putih, dengan gambar plenthong  (bohlamp) berwarna merah yang terletak di tengah. 


 Prajurit Dhaeng

Patangpuluhan
 
         
   Urutan berikutnya, di belakang Prajurit Dhaheng, terdapat  Bregada Prajurit yang bernama Patangpuluh. Seturut namanya bregada  atau kesatuan ini semula terdiri dari 40 orang. Pada jaman kejayaan kerajaan dahulu para prajurit ini adalah kesatuan yang dikenal memiliki keberanian dan ketangguhan luar biasa, serta  sangat diandalkan di medan pertempuran. Barangkali bisa disejajarkan dengan pasukan khusus semisal Komando Pasukan Khusus (Kopasus) pada jaman sekarang. Dari nama Patangpuluh inilah mengapa markas mereka, yang pada kemudian hari berubah menjadi kampung, dinamakan Kampung Patangpuluhan.
Prajurit Patangpuluh mengenakan seragam berbentuk sikepan dengan corak lurik khas Patangpuluh, celana pendek merah. Di luar celana panjang putih, rompi berwarna merah, sepatu lars hitam serta tutup kepala berbentuk songkok berwarna hitam. Benderanya bernama Cakragora, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Korps musik Bregada Prajurit Patangpuluh dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling dan terompet yang melagukan Mars Bulu-bulu dan Gendera. Bregada Prajurit Patangpuluh dipersenjatai dengan senapan api dan tombak. Ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata  Hima, misalnya: Himawan, Himaprawira, Himadiharja, Himawikrama, dan sebagainya.
            Sekarang bregada atau kesatuan Patangpuluh terdiri dari 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, dan 27 orang prajurit serta 1 orang pembawa bendera. Pakaian yang digunakan berujud: topi pacul gowang, destar wulung, sikepan lurik kemiri, rompi merah, lonthong merah, dan kamus berwarna hitam. Celana, atas berwarna merah bawah berwarna putih, beskap hitam. Mereka mengenakan  sepatu fantopel berwarna hitam dengan kaos kaki berwarna putih. Senjata  yang digunakan adalah bedil (senjata a[i l;aras panjang) serta  memakai keris branggah.
Bendera Kesatuan Patangpuluh bernama: CAKRANEGARA.  Bendera ini berwarna dasar hitam, dengan gambar bintang warna merah di tengah-tengah. Musik mereka bernama Mares GENDERA, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan lambat dan digayakan, sertra Mares BULU-BULU, untuk mengiringi pasukan tatkala berjalan cepat. 

Prajurit Patangpuluh 


Jagakaryan 
 
           Jagakaryan merupakan markas atau base camp kesatuan prajurit atau bregada prajurit  Jagakarya. Ciri Bregada Prajurit Jagakarya adalah:  seragam berbentuk sikepan dan celana bercorak lurik khas Jogokaryo dengan rompi kuning emas, sepatu pantopel hitam dengan kaos kaki biru tua serta topi hitam bersayap. Benderanya bernama Papasan, dengan dwaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Bregada ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling, dan terompet, yang melagukan Tameng Madura dan Slagunder. Bregada Prajurit Jogokaryo dilengkapi dengan senjata berupa senapan api dan tombak. Ciri lainnya, nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata  Parto. Misalnta: Partowijaya, Partaraharja, Partadimeja, Partadiningrat, Partawikrama, dan sebagainya.

           Kesatuan atau bregada Jagakaraya terdiri dari 4 orang perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 orang pembewa duaja. Seragam mereka terdari atas: topi hitam berbetuk tempelangan, seperti kapal terbalik;  destar wulung, rompi berwarna krem, beskap lurik lupat  berlapis merah, sayak lurik, lonthong merah, serta kamus hitam. Mereka bercelana panji lurik, berkaos kaki panjang, serta mengenakan sepatu pantopel hitam. Senjata mereka  berupa bedhil  serta memakai keris brangah. Bendera mereka bernama: PAPASAN. Bendera ini berujud: warna dasar hijau,  di tengah terdapat  gambar plenthong berwarna merah. Nama musik: Mares SLANGGUNDER, digunakan untuk jalan pelan dengan digayakan, sedangkan Mares TAMENGMADURA untuk mengiringi pasukan tatkala mereka berjalan cepat.
 Prajurit Jagakarya


Prawirataman

           Prawirataman adalah nama kampung yang dahulu merupakan markas kesatuan atau bregada prajurit Prawiratama.  Semula kesatuan ini  beranggotakan para prajurit yang memiliki kelebihan dibanding prajurit lainnya. Mereka, yang terdiri sekitar seribu orang, semula adalah anggota Laskar Mataram.  Pasukan inilah yang membantu Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran melawan Kompeni. Konon laskar ini senantiasa berhasil memenangi  setiap pertempuran dengan gemilang. Sebagai penghargaan atas prestasi kemiliteran mereka inilah kesatuan ini  dijuluki  Prawiratama, sebuah nama yang bermakna ‘perwira yang utama’.  Kesatuan atau bregada ini menggunakan seragam berbentuk sikepan berwarna hitam dipadu dengan celana pendek merah di luar celana panjang putih, sepatu lars hitam serta topi hitam berbentuk kerang. Benderanya bernama Geniraga atau Bantheng Ketaton, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Trisula. Ketika mengikuti upacara kesatuan ini dilengkapi dengan perangkat musik tambur, seruling dan terompet yang mengumandangkan lagu Pandeburg dan Mars Balang. Seenjata utama mereka adalah senapan api. Ciri khas kesatuan ini adalah nama para prajuritnya  selalu disertai dengan kata “Prawira”. Misalnya: Prawiradiharja, Prawirawijaya, Prawirakusuma, Prawiradimeja, Prawiratamtama, dan sebagainya.
          Kesatuan atau bregada Prawiratama terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 4 bintara berpangkat sersan, 72 orang prajurit dan seorang pembawa duaja. Pakaian yang dikenakan adalah topi hitam berbentuk mete, destar wulung, beskap hitam, baju dalam merah, sayak putih, lonthong merah, kamus hitam, serta celana atas berwarna merah  bawah berwarna putih. Mereka mengenakan beskap hitam, kaos kaki hitam. serta sepatu fantopel hitam. Senjata yang dikenakan  berupa bedil dan keris branggah.
Bendera kesatuan ini bernama GENIRAGA. Wujudnya: warna dasar hitam dengan  gambar plentong warna merah terletak di tengah-tengah. Musik mereka dinamakan Mares BALANG. Musik ini digunakan sebagai iringan tatkala pasukan berjalan pelan dengan digayakan; sedang  Mares PANDHEBRUG, digunakan untuk mengiringi tatkala pasukan berjalan  cepat.
Prajurit Prawiratama

Ketanggungan
 
             Kampung Ketanggungan  sebagaimana dikenal sekarang semula adalah markas kesatuan prajurit atau bregada Ketanggung. Para prajurit dalam kesatuan atau bregada ini pada jaman dahulu bertanggung jawab atas keamanan di lingkungan
keraton. Mereka juga bertugas selaku  penuntut perkara (barangkali senada dengan tugas kepolisian zaman sekarang selaku penyidik). Selain itu juga  berkewajiban mengawal Sultan pada saat beliau melakukan kunjungan ke luar keraton.
Seragam kesatuan atau bregada Ketanggung terdiri atas:   sikepan  (dengan corak lurik khas Ketanggung), serta celana pendek hitam di    luar celana panjang putih, sepatu lars hitam serta topi berbentuk mancungan berwarna hitam  dengan  hiasan  bulu-bulu ayam. Benderanya bernama Cakraswandana, dengan duaja bernama Kanjeng Kyai Nanggala. Korps musik kesatuan prajurit ini dilengkapi dengan seperangkat tambur, seruling, terompet dan bendhe. Dua lagu khas Ketanggung adalah  Bergola Milir atau Lintrik Emas dan Harjuno Mangsah atau Bima Kurda. Kesatuan rajurit Ketanggung dipersenjatai senapan api dengan bayonet terhunus dan tombak. Ciri khas prajurit Ketanggung antara lain juga pada nama mereka. Semua prajurit Ketanggung  memakai kata “Jaya” pada bagian depan nama mereka, misalnya: Jayasentika, Jayanegara, Jayadiharja, Jayawikrama, Jayakusuma, dan sebagainya.
            Kesatuan atau bregada Ketanggung terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 prajurit pembawa duaja. Mereka berseragam jas terbuka, baju dalam putih, mengenakan ikat kepala hitam, topi segi tiga, serta bersepatu lars panjang. Senjata yang digunakan adalah bedhil dengan bayonet terhunus dan mengenakan keris di pinggang.
Nama bendera: CAKRASEWANDANA. Ujudnya, dasar hitam bergambar bintang warna putih di tengah. Musik mereka dinamakan  Mares BERGALA  MILIR untuk berjalan pelan dan digayakan, serta Mares LINTRIK EMAS untuk berjalan cepat


 Prajurit Ketanggung



Mantrijeron
 
              Kesatuan atau bregada  Mantrijero terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Komandan pasukan ini berpangkat bupati. Seragamnya jas bukak dengan kain lurik bergaris hitam putih, berbaju dalam putih, bercelana putih, kaos kaki panjang putih dan bersepatu. Para prajurit Mantrijero mengenakan ikat kepala warna hitam dengan topi semacam songkok warna hitam. Markas mereka disebut Mantrijeron.
Persenjataannya berupa bedhil. Nama bendera Purnamasidi. Ujudnya: dasar hitam, tengah bergambar plentong warna putih. Nama musik Mares SLENGGANDIRI, untuk berjalan pelan dengan digayakan dan Mares PLANGKENAN (RESTOG), untuk berjalan cepat.

 Prajurit Mantrijero

Nyutran
 
             Kesatuan atau bregada Nyutra  bermarkas di Nyutran. Kesatuan ini terdiri atas 8 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 46 prajurit dan 2 orang pembawa duaja. Seragam yang dipakai berupa baju lengan pendek, celana dan dodot atau kampuh kain dengan motif bango tulak, tutup kepala memakai udheng gilig. Senjata yang mereka gunakan berupa bedhil dan tombak. Pada mulanya kesatuan ini tidak memakai alas kaki dan mempunyai dua seragam yang berbeda:  seragam yang satu berwarna hitam yang satunya lagi berwarna merah. Benderea kesatuan ini ada dua macam, yakni:  PODHANG NGISEP SARI  berujus: dasar kuning, di tengah ada gambar plenthong berwarna merah,  serta PADMA SRI KRESNA, berujud: dasar kuning, di tengah bergambar plenthong warna merah.
Musik kesatuan ini adalah: Mares MBAT-EMBAT PENJALIN, dengan iringan gamelan untuk memperagakan tarian tayungan, serta Mares, TAMTAMA BALIK, berjalan pelan dengan digayakan dan Mares SORENGPRANG untuk berjalan cepat.


 Prajurit Nyutro


Langenastran
Kendati kesatuan atau bregada prajurit Langenastra sekarang sudah tidak ada, namun markas mereka yang kini menjadi Kampung Langenastran masih tercatat dalam peta wilayah Kraton. Kampung yang terletak di dalam benteng kraton ini berada di sebelah timur Alun-Alun Kidul. Dahulu kesatuan yang bermarkas di kapung ini  bertugas sebagai pengawal sultan pada waktu upacara garebeg. Prajurit Langenastra merupakan prajurit tambahan yang dimasukkan ke dalam kesatuan prajurit Mantrijero. Karenanya atribut yang dipakai sama dengan prajurit Mantrijero, kecuali persenjataannya.  Senjata prajurit Langenastra bukan  berupa bedhil, sebagaimana halnya prajurit Mantrijero, melainkan sebilah pedang.

Surakarsan
 
            Kampung Surakarsan dahulu merupakan basis atau markas bagi kesatuan atau bregada  Surakarsa . Kesatuan ini terdiri atas seorang perwira berpangkat penewu, 64 prajurit dan seorang membawa duaja. Seragam mereka berupa baju lengan panjang berwarna putih dengan celana panjang dan kain bermotif gebyar. Mereka mengenakan  ikat kepala teleng kewengen (kain berwarna hitam di tengah putih dan di bagian tepinya bergaris-garis putih).
Prajurit Surakarsa  bertugas mengawal putra mahkota. Sekarang kesatuan ini  bertugas sebagai pengawal kehormatan sesajian gunungan pada upacara garebeg. Bendera mereka dinamakan PAREANOM. Bendera ini berujud: dasar hijau, di tengah bergambar plentong warna kuning. Nama musik: Mares PLANGKENAN

 Prajurit Surakarsa


Bugisan
Bugisan adalah nama kampung yang dikhususkan bagi tempat tinggal pasukan atau bregada Bugis. Nama kesatuan prajurit atau bregada ini merujuk  pada fakta bahwa segenap angggota pasukan terdiri dari orang-orang Bugis. Mereka adalah orang-orang Bugis pilihan yang dikirimkan ke Ngayogyakarta Hadiningrat oleh ..... raja ....... sebagai wujud nyata bantuan kepada Sultan Hamengku Buwana .. untuk memerangi Belanda.
Tugas kesatuan ini adalah mengawal seorang patih  dalam upacara garebeg dan upacara-upacara lainnya. Seragam pasukan ini  berupa jas tutup berwarna hitam, celana panjang hitam, serta mengenakan ikat kepala kain hitam dan topi hitam. Persenjataannya berupa tombak. Benderanya dinamakan WULANDADARI. Bendera ini berujud kain warna hitam, bergambarkan  plentong warna kuning di tengah-tengah. Musik pasukan ini disebut Mares ENDRALOKA.
Seturut perkembangan zaman, tatkala perlawanan kepada Belanda lebih bersifat diplomatis, kesatuan ini melemah dan akhirnya bubar. Sebagian anggota kesatuan ini kembali  pulang ke Makasar, sementara sebagian yang lain tetap tingggal di Yogyakarta serta berbaur dengan penduduk asli karena ikatan perkawinan atau pertalian budaya. Salah seorang keturunan dari  orang Bugis itu adalah dr. Wahidin Soedirahusada, seorang pahlawan nasional yang hingga wafatnya tinggal di Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Desa Mlati, Sleman.
Sekarang kampung Bugisan, yang terletak di bilangan tenggara keraton, lebih dikenal sebagai kampung seni. Di sini terdapat sekolah seni setingkat sekolah menengah atas, Sekolah Menengah Kejuruan: Jurusan Seni Tari, Jurusan Seni Rupa, dan Jurusan Seni Musik. 
 Prajurit Bugis


           

Krapyak (Kandhang Menjangan?)


Ambarketawang
            Sebelum berlangsung Perjanjian Giyanti (1755), selepas dari Surakarta – karena berselisih dengan kakaknya (Sunan Paku Buwana II) ihwal takhta, Pangeran Mangkubumi pergi ke arah barat. Sampai di dusun Gamping dia beristirahat. Di dusun ini dia membangun tempat tinggal sementara yang diberi nama Ambarketawang. Artinya, tempat untuk melihat sinar ( ke arah timur) -  dan berbau harum. Ihwal  nama Ambarketawang, ada yang menafsirkannya begini: sembari menghadap ke arah timur Pangeran Mangkubumi  melihat sinar yang cerah serta mencium bau yang harum. Di tempat itulah  dia bakal membangun kraton sebagai pusat kerajaan yang dicita-citakannya. Tempat itu adalah hutan/alas Bering yang,  usai Perjanjian Giyanti, dibabad serta di atasnya dibangun kraton baru, sebagai tempat tingggal raja dan pusat kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Foto:
Bekas kraton lama (Ambarketawang
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar