Di dalam masyarakat kerap beredar sebuah wacana. Konon, menurut wacana itu, orang Jawa dinilai tergolong suku bangsa yang memiliki budaya yang tinggi. Salah satu ujudnya adalah dimilikinya seperangkat nilai filosofis yang kuhur, yang tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai-nilai filosofis itu tersebar dalam berbagai ungkapan lisan dalam bentuk paribasan, bebasan, saloka, dan sejenisnya yang dilafalkan dalam ujud tembang, geguritan, parikan, dan sebagainya.
Sayang, zaman sekarang banyak orang yang tidak mengetahui ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran luhur itu, terlebih kaum muda, tak terkecuali kaum muda Jawa.
Stella Maris mencoba merekam dan menyuguhkannya, dengan harapan semoga bisa menjadi bahan berharga untuk disejajarkan dengan nilai-nilai lain yang tumbuh dan berkembang pada zaman ini yang menawarkan nilai-nilai yang bernuansakan materialistik,
hedonik dan dangkal.
Berikit beberapa ungkapan tersebut:
1.
Abang-abang lambe
Abang berarti merah. Lambe berarti
bibir. Secara harfiah abang-abang lambe bisa diterjemahkan menjadi
‘semerah bibir’; bagaikan merah bibir. Tidak merah yang sebenarnya. Bahkan,
seandainya pun bibir itu dipoles dengan pemoles bibir (lips-stick),
tetap saja bibir itu tidak akan berwarna merah benar, sebab begitu pemoles
bibir itu luntur, bibir akan kembali berwarna merah pucat. Kembali ke warna semula,
kemerah-merahan. Warna merah pemoles bibir itu hanya sesaat.
Ungkapan ini dikenakan terhadap orang
yang dengan mudah mengucapkan janji, tetapi dengan mudah pula dia melupakan
atau mengingkarinya. Dalam dunia politik, misalnya, seorang tokoh partai dengan
mudahnya mengobral janji, bahwa dirinya akan berbuat semaksimal mungkin bagi
kesejahteraan rakyat. Tetapi, begitu dia terpilih, usai pemilihan umum, dia
lupa akan apa yang belum lama dia ucapkan atau janjikan kepada massa
pemilihnya. Dia lebih sibuk dengan perjuangan untuk memakmurkan diri sendiri.
Orang Jawa menyebut orang yang demikian ini sebagai abang-abang lambe.Orang
yang tidak konsekuen pada janjinya.
2. Abot sanggane
Ada semacam asumsi bahwa wanita cantik itu ‘mahal
harganya’, sebab untuk menjaga kecantikannya dia harus membutuhkan banyak uang
untuk membeli pakaian, perlengkapan untuk rias dan perawatan wajah (make up),
serta aksesoris lain untuk menunjang penampilan. ‘Harga mahal’ itu semakin
tinggi manakala wanita itu memiliki selera tinggi. Karena selera tinggi maka
barang-barang yang dibelinya pun pasti barang-barang bermerek yang berharga
mahal.
Pria mana yang tidak ingin memiliki
isteri cantik? Tetapi, kalau tuntutannya sedemikian tinggi, barangkali tidak
banyak pria yang tergerak hatinya untuk mendekati, apalagi meminangnya.
Pria-pria yang berniat mendelati wanita cantik itu harus berpikir ulang barang
dua-tiga kali. Sebab, konsekuensinya, terutama konsekuensi untuk mencukupi
kebutuhan untuk menunjang penampilan agar tetap tampak cantik itu dirasa berat.
Tidak banyak pria yang sanggup mencukupi tuntutannya. Mereka lantas mengurungkan
niat untuk mempersunting wanita cantik ini, sebab, “Abot sanggane”, (berat bebannya;
berat konsekuensinya) begitu mereka berdalih.
Catatan:
abot : berat
sangga : topang; à menyangga = menyangga, menopang.
3. Abot telak karo anak
Orang tua, sebagai rekanan Tuhan menciptakan manusia baru,
anak, memiliki tugas untuk merawat,
memelihara, serta menumbuhkembangkan anak agar tumbuh menjadi manusia dewasa
yang mandiri. Tugas mulia ini terucapkan dalam janji ketika pasangan calon
suami isteri mengikrarkan diri untuk menikah, serta secara inklusif
termeteraikan dalam diri para orang tua tatkala mereka dikarunia anak. Maka,
adalah wajar kalau orang tua berusaha keras agar tugas mulia ini bisa dipenuhi.
Untuk itulah orang tua bekerja atau berusaha mencari nafkah agar kebutuhan anak
mereka akan sandang, pangan, papan,
kesehatan, dan terlebih pendidkannya tercukupi. Bahkan tidak jarang dari antara
para orang tua bersedia untuk bekerja lebih keras lagi. Semua itu mereka lakukan semata-mata
demi anak yang mereka cintai. Mereka bersedia berkorban demi anak-anak yang
dititipkan Tuhan kepada mereka.
Namun, kadang-kadang ada orang tua
yang lebih memikirkan diri sendiri. Mereka, bukan hanya tidak mau bekerja untuk
anak-anak mereka, melainkan lebih memikirkan atau mengutamakan diri sendiri. Segala
hasil dari kerja mereka, sebagian besar atau
bahkan semua, untuk memenuhi kebutuhan atau kesenangan mereka sendiri,
terutama untuk memenuhi kesenangan akan makan. Orang tua yang demikian
dikatakan sebagai orang yang abot telak karo anak. Lebih berat kesenangannya
sendiri dengan menikmati makanan yang enak daripada memenuhi kebutuhan anaknya, terutama
kebutuhan akan biaya pendidikan.
Catatan:
abot : berat
telak : mulut (simbol kerakusan)
4. Adang angliwet
Kejahatan, kapan pun dan di mana pun, memang harus
ditumpas; harus dihancurkan. Namun dalam menumpas kejahatan itu tidak jarang
orang, pemerintah atau lembaga yang berwenang, melakukannya secara berlebihan.
Misalnya, seluruh kekuatan pasukan, darat, udara dan laut, dikerahkan untuk
menumpas sebuah kelompok pemberontak yang hanya terdiri dari sekitar 25 orang.
Tindakan ini jelas berlebihan. Ibarat orang sudah adang (menanak nasi
dengan cara tertentu) masih menanak nasi lagi dengan cara yang lain. Bisa
dibayangkan, nasi yang tersedia bisa berlebih, sehingga tidak termakan semua
alias tersisa.
Adang angliwet atau adang
ngliwet adalah ungkapan untuk mengatakan ihwal suatu tindakan yang
berlebihan, suatu tindakan yang tidak efisien atau tidak proporsional.
5. Adedamar tanggal sepisan kapurnaman
6. Adeg-adeg kanteb
Seorang anak kecil yang baru mulai belajar berjalan, yang
jalannya masih tertatih-tatih, dikatakan baru adeg-adeg kanteb. Dalam proses belajar berjalan itu
tentu saja dia sering jatuh, sering kanteb (jatuh dengan posisi duduk). Namun, karena instingnya untuk bisa berjalan
tegak kuat sekali, dia berusaha untuk berdiri kembali, kemudian melanjutkan
usahanya berjalan. Dan akhirnya dia sungguh bisa berjalan.
Ungkapan adeg-adeg kanteb dikenakan terhadap seseorang, misalnya pelajar
calon guru, yang setelah mendapatkan teori mengajar, berusaha mempraktekkan
teorinya dengan mengajar di depan kelas. Sebagai seorang calon guru, tentu saja
dia masih canggung, kerap keliru mengucapkan kata, atau urutan pengajarannya
tidak runtut. Dalam situasi dan kondisi demikian dia masih membutuhkan banyak
saran, kritik, atau teguran yang membangun, agar praktek mengajarnya semakin
lancar dan mantap. Orang lain yang menyaksikan tatkala dia mengajar harus cukup
memaklumi atas segala kekurangannya, karena dia baru adeg-adeg kanteb, yang
secara harfiah berarti ‘berdiri-berdiri mantap’.
Benarlah apa yang disinyalir oleh
sebuah pepatah: ‘alah bisa karena biasa’, atau ‘kegagalan adalah sebuah
pelajaran yang amat berharga’. Untuk ‘bisa’ atau ‘berhasil’ orang harus berani
memulai, berani mencoba dan berani gagal. Hanya dengan cara demikian pada
akhirnya dia akan berhasil. Entah dalam usaha, dalam berorganisasi, atau dalam
menuntut ilmu keberanian untuk mencoba dan mencoba sangat diperlukan. Pengalaman
akan membuat seseorang semakin hari semakin maju dan mantap dalam hidup. Sebab, kata para bijak, pengalaman merupakan guru yang
terbaik.
7. Adigang adigung adiguna
Ungkapan adigang,
adigung, adiguna digunakan
untuk menggambarkan seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong.
Keangkuhan dan kesombongannya sangat luar biasa, di luar batas kewajaran.
Adigang artinya suka
menyombongkan kekuatan, kekuasaan, jabatan, pangkat kewenangan , atau ororitas.
Sikap ini teraktualisasikan dalam bentuk tindakan yang otoriter,
sewenang-wenang, main hakim sendiri. Orang yang memiliki sifat adigang menempatkan
dirinya sebagai kekuatan tunggal tak tertandingi. Dia menganggap sebagai yang
paling berkuasa. Segala ucapannya minta diperlakukan sebagai undang-undang.
Orang lain yang berusaha untuk tampil sebagai pesaing dianggapnya sebagai musuh
yang harus disingkirkan. Bahkan, kalau mungkin, dihabisi.
Adigung adalah sifat yang
menyombongkan kekayaan, harta, martabat, atau harga diri. Orang yang adigung
mengukur segala sesuatu berdasar uang atau materi. Dengan uang dia
beranggapan bahwa segalanya bisa dibereskan. Segala sesutau bisa dibeli dengan
uang, sebab uang atau harta adalah raja. Orang lain yang tidak memiliki uang
atau harta dinilainya sebagai kecil, tidak berarti, bagai sampah yang tidak
berguna sama sekali.
Adiguna adalah sifat yang
dikenakan terhadap orang yang menyombongkan ilmu atau kepandaian yang dia
miliki. Orang yang memiliki sifat adiguna menganggap dirinya sebagai
orang yang paling pandai. Orang lain dinilainya bodoh, atau setidaknya di bawah
kemampuan atau kepandaiannya.
Generasi muda dianjurkan agar
menjauhkan diri dari sifat-sifat tidak terpuji ini. Nasehat yang diberikan
kepada mereka: Aja adigang, adigung, adiguna. Kalau mereka bisa menjauhi
sifat-sifat ini maka mereka akan tumbuh berkembang menjadi orang yang arif lagi
bijaksana.
8. Adi luhung
Ungkapan ini bermakna nilai-nilai
yang bagus, tinggi, luhur atau agung – yang biasa dikenakan terhadap seni, baik
seni arsitektur, seni musik, seni tari, seni pentas/panggung, seni rupa, dan
sebagainya. Harapannya agar orang Jawa menghargai, menjunjung tinggi,
memraktekannya dalam hidup – dengan berlaku atau bertindak yang elegan, berbudi pekerti yang
luhur – sebagaimana digambarkan oleh produk-produk seni itu.
9. Adoh ratu cedhak watu
Adoh ratu cedhak watu; jauh
dari raja dekat dengan batu. Kalimat ini merupakan ungkapan hati seorang desa
untuk merendah, menyatakan sikap andhap asor. Sebagai orang yang tinggal
di desa (atau bahkan barangkali di pegunungan), yang identik jauh dari raja
atau keraton (yang kala itu diidentikkan dengan pusat pemerintahan dan
peradaban), mereka merasa diri sebagai orang yang serba ketinggalan dalam
segala hal, dibanding dengan warga masyarakat lain yang tinggal di dekat raja,
di dekat keraton alias di kota. Lewat ungkapan adoh ratu cedhak watu seakan
mereka ingin mengatakan bahwa diri mereka adalah warga masyarakat ‘kelas dua’.
Tentu saja ungkapan ini lebih bersifat basa-basi, sebab
dalam kenyataan tidak sedikit orang desa yang justru lebih unggul dibanding
dengan orang kota, terlebih dalam hal spiritualitas,
dalam hal ulah rohani, ulah jiwa serta etiket atau tata krama. Kebanyakan orang
desa juga tidak kalah unggul dibanding dengan orang kota, terlebih dalam hal
memelihara tradisi nenek moyang, karena mereka tidak atau belum terkontaminasi
oleh budaya-budaya manca. Jadi sebenarnya ungkapan adoh ratu cedhak watu lebih
sebagai wujud untuk menaati nasehat agar orang tidak mengunggulkan diri, tidak
menyombongkan diri atau menganggap diri paling hebat di hadapan orang lain. Ungkapan lain: Adoh ratu cerak
watu.
10.
Adol ayu
Adol berarti menjual; ayu
artinya cantik. Adol ayu berarti menjual kecantikan atau menjual
tampang. Adalah hal yang lazim seorang wanita senang mempercantik diri, baik
dengan busana maupun dengan rias wajah, atau aksesoris lain. Semua itu
dilakukan, seturut kodrat kewanitaannya, disadari atau tidak disadari, untuk
menarik orang lain, khususnya lawan jenis. Namun, kalau usaha menarik perhatian
itu agak berlebihan, seakan dibuat-buat, dia dikatakan adol ayu.
Adol ayu juga bisa
dikenakan terhadap seorang peragawati yang melenggang -lenggok di cat walk untuk
memamerkan busana, atau seorang wanita muda yang menjadi model iklan, atau
menjadi penjaja sesuatu produk (sales promotion girl), atau penerima
tamu (waitress) di sebuah bar atau restaurant. Mereka adalah wanita-wanita yang
bekerja dengan cara menjual kecantikan atau adol ayu.
Catatan:
Ungkapan-ungkapan selengkapnya dapat dibaca pada buku "Pitutur Adi Luhur", terbitan Yayasan Pustaka Nusatama. Buku yang berisi 1111 ungkapan ihwal filosofi hidup dan ajaran moral orang Jawa ini dihimpun dan dipersembahakn kepada oara pemerhati budaya Jawa oleh St.S.Tartono. Buku ini dapat diperoleh beberapa toko buku antara lain di Toko Buku Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar