Kamis, 12 Maret 2015

Pitutur Adi Luhur

Di dalam masyarakat kerap beredar sebuah wacana. Konon, menurut wacana itu, orang Jawa dinilai tergolong suku bangsa yang memiliki budaya yang tinggi. Salah satu ujudnya adalah dimilikinya seperangkat nilai filosofis yang kuhur, yang tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai-nilai filosofis itu tersebar dalam berbagai ungkapan lisan dalam bentuk paribasan, bebasan, saloka, dan sejenisnya yang dilafalkan dalam ujud tembang, geguritan, parikan, dan sebagainya.
Sayang, zaman sekarang banyak orang yang tidak mengetahui ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran luhur itu, terlebih kaum muda, tak terkecuali kaum muda Jawa.
Stella Maris mencoba merekam dan menyuguhkannya, dengan harapan semoga bisa menjadi bahan berharga untuk disejajarkan dengan nilai-nilai lain yang tumbuh dan berkembang pada zaman ini yang  menawarkan nilai-nilai yang bernuansakan materialistik,
hedonik dan dangkal.
Berikit beberapa ungkapan tersebut:



1.     Abang-abang lambe
Abang berarti merah. Lambe berarti bibir. Secara harfiah abang-abang lambe bisa diterjemahkan menjadi ‘semerah bibir’; bagaikan merah bibir. Tidak merah yang sebenarnya. Bahkan, seandainya pun bibir itu dipoles dengan pemoles bibir (lips-stick), tetap saja bibir itu tidak akan berwarna merah benar, sebab begitu pemoles bibir itu luntur, bibir akan kembali berwarna merah pucat. Kembali ke warna semula, kemerah-merahan. Warna merah pemoles bibir itu hanya sesaat.
Ungkapan ini dikenakan terhadap orang yang dengan mudah mengucapkan janji, tetapi dengan mudah pula dia melupakan atau mengingkarinya. Dalam dunia politik, misalnya, seorang tokoh partai dengan mudahnya mengobral janji, bahwa dirinya akan berbuat semaksimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Tetapi, begitu dia terpilih, usai pemilihan umum, dia lupa akan apa yang belum lama dia ucapkan atau janjikan kepada massa pemilihnya. Dia lebih sibuk dengan perjuangan untuk memakmurkan diri sendiri. Orang Jawa menyebut orang yang demikian ini sebagai abang-abang lambe.Orang yang tidak konsekuen pada janjinya.

2.     Abot sanggane
Ada semacam asumsi bahwa wanita cantik itu ‘mahal harganya’, sebab untuk menjaga kecantikannya dia harus membutuhkan banyak uang untuk membeli pakaian, perlengkapan untuk rias dan perawatan wajah (make up), serta aksesoris lain untuk menunjang penampilan. ‘Harga mahal’ itu semakin tinggi manakala wanita itu memiliki selera tinggi. Karena selera tinggi maka barang-barang yang dibelinya pun pasti barang-barang bermerek yang berharga mahal.
            Pria mana yang tidak ingin memiliki isteri cantik? Tetapi, kalau tuntutannya sedemikian tinggi, barangkali tidak banyak pria yang tergerak hatinya untuk mendekati, apalagi meminangnya. Pria-pria yang berniat mendelati wanita cantik itu harus berpikir ulang barang dua-tiga kali. Sebab, konsekuensinya, terutama konsekuensi untuk mencukupi kebutuhan untuk menunjang penampilan agar tetap tampak cantik itu dirasa berat. Tidak banyak pria yang sanggup mencukupi tuntutannya. Mereka lantas mengurungkan niat untuk mempersunting wanita cantik ini, sebab,  Abot sanggane”, (berat bebannya; berat konsekuensinya) begitu mereka berdalih.
Catatan:
abot     : berat
sangga : topang; à menyangga = menyangga, menopang.

3.     Abot telak karo anak
Orang tua, sebagai rekanan Tuhan menciptakan manusia baru, anak, memiliki tugas  untuk merawat, memelihara, serta menumbuhkembangkan anak agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang mandiri. Tugas mulia ini terucapkan dalam janji ketika pasangan calon suami isteri mengikrarkan diri untuk menikah, serta secara inklusif termeteraikan dalam diri para orang tua tatkala mereka dikarunia anak. Maka, adalah wajar kalau orang tua berusaha keras agar tugas mulia ini bisa dipenuhi. Untuk itulah orang tua bekerja atau berusaha mencari nafkah agar kebutuhan anak mereka  akan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan terlebih pendidkannya  tercukupi. Bahkan tidak jarang dari antara para orang tua bersedia untuk bekerja lebih keras lagi. Semua itu mereka lakukan semata-mata demi anak yang mereka cintai. Mereka bersedia berkorban demi anak-anak yang dititipkan Tuhan kepada mereka.
Namun, kadang-kadang ada orang tua yang lebih memikirkan diri sendiri. Mereka, bukan hanya tidak mau bekerja untuk anak-anak mereka, melainkan lebih memikirkan atau mengutamakan diri sendiri. Segala hasil dari kerja mereka, sebagian besar atau  bahkan semua, untuk memenuhi kebutuhan atau kesenangan mereka sendiri, terutama untuk memenuhi kesenangan akan makan. Orang tua yang demikian dikatakan sebagai orang yang abot telak karo anak. Lebih berat kesenangannya sendiri dengan menikmati makanan yang enak  daripada memenuhi kebutuhan anaknya, terutama kebutuhan akan biaya pendidikan.
Catatan:
abot     : berat
telak     : mulut (simbol kerakusan)

4.     Adang angliwet
Kejahatan, kapan pun dan di mana pun, memang harus ditumpas; harus dihancurkan. Namun dalam menumpas kejahatan itu tidak jarang orang, pemerintah atau lembaga yang berwenang, melakukannya secara berlebihan. Misalnya, seluruh kekuatan pasukan, darat, udara dan laut, dikerahkan untuk menumpas sebuah kelompok pemberontak yang hanya terdiri dari sekitar 25 orang. Tindakan ini jelas berlebihan. Ibarat orang sudah adang (menanak nasi dengan cara tertentu) masih menanak nasi lagi dengan cara yang lain. Bisa dibayangkan, nasi yang tersedia bisa berlebih, sehingga tidak termakan semua alias tersisa.
Adang angliwet atau adang ngliwet adalah ungkapan untuk mengatakan ihwal suatu tindakan yang berlebihan, suatu tindakan yang tidak efisien atau tidak proporsional.

5.     Adedamar tanggal sepisan kapurnaman

6.     Adeg-adeg kanteb
Seorang anak kecil yang baru mulai belajar berjalan, yang jalannya masih tertatih-tatih, dikatakan baru adeg-adeg kanteb. Dalam proses belajar berjalan itu tentu saja dia sering jatuh, sering kanteb (jatuh dengan posisi duduk).  Namun, karena instingnya untuk bisa berjalan tegak kuat sekali, dia berusaha untuk berdiri kembali, kemudian melanjutkan usahanya berjalan. Dan akhirnya dia sungguh bisa berjalan.
 Ungkapan adeg-adeg kanteb   dikenakan terhadap seseorang, misalnya pelajar calon guru, yang setelah mendapatkan teori mengajar, berusaha mempraktekkan teorinya dengan mengajar di depan kelas. Sebagai seorang calon guru, tentu saja dia masih canggung, kerap keliru mengucapkan kata, atau urutan pengajarannya tidak runtut. Dalam situasi dan kondisi demikian dia masih membutuhkan banyak saran, kritik, atau teguran yang membangun, agar praktek mengajarnya semakin lancar dan mantap. Orang lain yang menyaksikan tatkala dia mengajar harus cukup memaklumi atas segala kekurangannya, karena dia baru adeg-adeg kanteb, yang secara harfiah berarti ‘berdiri-berdiri mantap’.
Benarlah apa yang disinyalir oleh sebuah pepatah: ‘alah bisa karena biasa’, atau ‘kegagalan adalah sebuah pelajaran yang amat berharga’. Untuk ‘bisa’ atau ‘berhasil’ orang harus berani memulai, berani mencoba dan berani gagal. Hanya dengan cara demikian pada akhirnya dia akan berhasil. Entah dalam usaha, dalam berorganisasi, atau dalam menuntut ilmu keberanian untuk mencoba dan mencoba sangat diperlukan. Pengalaman akan membuat seseorang semakin hari semakin maju dan mantap dalam hidup. Sebab, kata para bijak, pengalaman merupakan guru yang terbaik.


7.     Adigang adigung  adiguna
Ungkapan adigang,  adigung,  adiguna digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong. Keangkuhan dan kesombongannya sangat luar biasa, di luar batas kewajaran.
            Adigang artinya suka menyombongkan kekuatan, kekuasaan, jabatan, pangkat kewenangan , atau ororitas. Sikap ini teraktualisasikan dalam bentuk tindakan yang otoriter, sewenang-wenang, main hakim sendiri. Orang yang memiliki sifat adigang menempatkan dirinya sebagai kekuatan tunggal tak tertandingi. Dia menganggap sebagai yang paling berkuasa. Segala ucapannya minta diperlakukan sebagai undang-undang. Orang lain yang berusaha untuk tampil sebagai pesaing dianggapnya sebagai musuh yang harus disingkirkan. Bahkan, kalau mungkin, dihabisi.
            Adigung adalah sifat yang menyombongkan kekayaan, harta, martabat, atau harga diri. Orang yang adigung mengukur segala sesuatu berdasar uang atau materi. Dengan uang dia beranggapan bahwa segalanya bisa dibereskan. Segala sesutau bisa dibeli dengan uang, sebab uang atau harta adalah raja. Orang lain yang tidak memiliki uang atau harta dinilainya sebagai kecil, tidak berarti, bagai sampah yang tidak berguna sama sekali.
            Adiguna adalah sifat yang dikenakan terhadap orang yang menyombongkan ilmu atau kepandaian yang dia miliki. Orang yang memiliki sifat adiguna menganggap dirinya sebagai orang yang paling pandai. Orang lain dinilainya bodoh, atau setidaknya di bawah kemampuan atau kepandaiannya.
            Generasi muda dianjurkan agar menjauhkan diri dari sifat-sifat tidak terpuji ini. Nasehat yang diberikan kepada mereka: Aja adigang, adigung, adiguna. Kalau mereka bisa menjauhi sifat-sifat ini maka mereka akan tumbuh berkembang menjadi orang yang arif lagi bijaksana.

8.     Adi luhung
            Ungkapan ini bermakna nilai-nilai yang bagus, tinggi, luhur atau agung – yang biasa dikenakan terhadap seni, baik seni arsitektur, seni musik, seni tari, seni pentas/panggung, seni rupa, dan sebagainya. Harapannya agar orang Jawa menghargai, menjunjung tinggi, memraktekannya dalam hidup – dengan berlaku atau  bertindak yang elegan, berbudi pekerti yang luhur – sebagaimana digambarkan oleh produk-produk seni itu.


9.     Adoh ratu cedhak watu
Adoh ratu cedhak watu; jauh dari raja dekat dengan batu. Kalimat ini merupakan ungkapan hati seorang desa untuk merendah, menyatakan sikap andhap asor. Sebagai orang yang tinggal di desa (atau bahkan barangkali di pegunungan), yang identik jauh dari raja atau keraton (yang kala itu diidentikkan dengan pusat pemerintahan dan peradaban), mereka merasa diri sebagai orang yang serba ketinggalan dalam segala hal, dibanding dengan warga masyarakat lain yang tinggal di dekat raja, di dekat keraton alias di kota. Lewat ungkapan adoh ratu cedhak watu seakan mereka ingin mengatakan bahwa diri mereka adalah warga masyarakat ‘kelas dua’.
Tentu saja ungkapan ini lebih bersifat basa-basi, sebab dalam kenyataan tidak sedikit orang desa yang justru lebih unggul dibanding dengan orang  kota, terlebih dalam hal spiritualitas, dalam hal ulah rohani, ulah jiwa serta etiket atau tata krama. Kebanyakan orang desa juga tidak kalah unggul dibanding dengan orang kota, terlebih dalam hal memelihara tradisi nenek moyang, karena mereka tidak atau belum terkontaminasi oleh budaya-budaya manca. Jadi sebenarnya ungkapan adoh ratu cedhak watu lebih sebagai wujud untuk menaati nasehat agar orang tidak mengunggulkan diri, tidak menyombongkan diri atau menganggap diri paling hebat di hadapan orang lain. Ungkapan lain: Adoh ratu cerak watu.


10.            Adol ayu
Adol berarti menjual; ayu artinya cantik. Adol ayu berarti menjual kecantikan atau menjual tampang. Adalah hal yang lazim seorang wanita senang mempercantik diri, baik dengan busana maupun dengan rias wajah, atau aksesoris lain. Semua itu dilakukan, seturut kodrat kewanitaannya, disadari atau tidak disadari, untuk menarik orang lain, khususnya lawan jenis. Namun, kalau usaha menarik perhatian itu agak berlebihan, seakan dibuat-buat, dia dikatakan adol ayu.
Adol ayu juga bisa dikenakan terhadap seorang peragawati yang melenggang -lenggok di cat walk untuk memamerkan busana, atau seorang wanita muda yang menjadi model iklan, atau menjadi penjaja sesuatu produk (sales promotion girl), atau penerima tamu (waitress) di sebuah bar atau restaurant. Mereka adalah wanita-wanita yang bekerja dengan cara menjual kecantikan atau adol ayu.


Catatan:
Ungkapan-ungkapan selengkapnya dapat dibaca pada buku "Pitutur Adi Luhur", terbitan Yayasan Pustaka Nusatama. Buku yang berisi 1111 ungkapan ihwal filosofi hidup dan ajaran moral orang Jawa ini dihimpun dan dipersembahakn kepada oara pemerhati budaya Jawa oleh St.S.Tartono. Buku ini dapat diperoleh beberapa toko buku antara lain di Toko Buku Gramedia.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar